"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video call dengan istrinya.
"Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas?
"Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan."
Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya.
"Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya."
"Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!"
"W*'alaikumussalam. Muaahhh!"
Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan.
"Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti menatap bingung.
"Dari ATM."
"Maksudnya? Aku gak paham."
"My debit card was expired, Gus. Makanya kemarin gak punya uang. Bank kan, tutup hari Sabtu. Makanya tempo hari aku minta off di hari ini, supaya bisa ke bank untuk bikin kartu baru. Melly udah mendingan?" Johan mengeluarkan plastik berisi Wortel.
"Masih sama. Tapi, udah minum obat. Istriku hari ini pulang, Jo, mungkin udah di bandara." Gusti memotong bawang merah.
"Loh, bukannya besok?" Johan menoleh dengan kening mengerut.
"Seharusnya besok, tapi ada audit dalam beberapa hari ke depan katanya, jadi mereka buru-buru pulang hari ini. Jadi ya, batal dech jalan-jalan abis seminarnya."
Johan mengangguk paham sambil membersihkan sisik ikan Salam kesukaannya.
"Jo .... "
Johan berdehem. Gusti tidak kunjung berkata setelah beberapa detik, hingga Johan harus menagih apa yang akan Gusti bicarakan.
"Apa?"
"Perasaanmu udah baikan?" Gusti menatap Johan yang sedang memotong ikan menjadi empat bagian.
"Udah. Thanks ya, Gus."
"Aku juga pengin kamu bahagia, dengan punya keluarga baru. Kamu berhak untuk itu."
Gusti terkejut saat terciprat darah ikan di wajahnya. Dia melanjutkan sembari membersihkan darah itu dengan telapak tangan.
"Mulai belajar buka hati ya, Jo. Aku nggak bermaksud ceramahin kamu, tapi kamu juga harus ingat, bahwa umur nambah terus dan kamu juga belum punya anak. Mustahil kamu gak pengin punya anak kandungmu sendiri, kan?"
Johan terdiam dan termenung mendengar nasehat Gusti yang terdengar sangat dewasa kali ini. Tangan kanannya yang memegang pisau berhenti mendadak di udara.
Laki-laki itu tidak punya kata-kata untuk membantah perkataan Gusti. Pun ibunya juga menginginkan hal serupa. Tapi, hati Johan memang belum siap. Apakah harus dipaksa?
"Maaf ya, Jo, aku sama sekali gak berniat menyinggung perasaan kamu. Kita memang gak bisa mengubah masa lalu, tapi kita masih bisa mengubah masa depan. Menciptakan masa depan kita sendiri, masa depan seperti apa yang ingin kita jalani."
Johan melepas pisau dan mencuci ikan sebelum menyalakan kompor gas.
"Kalau memang perasaanmu seperti yang kamu bilang semalam, sebaiknya kamu mengambil posisi pasif. Terima perhatian dari lawan jenis yang tertarik padamu.
"Kalau aku nggak suka sama cewek itu?"
"Ya, gak usah diladeni. Maksudku, kalau ada perempuan yang membuat hatimu tertarik, dan dia juga perhatian sama kamu, ya kamu terima aja."
Gusti mengambil tomat, cabe merah, bawang putih, dan jahe dan daun salam dari kulkas, sebelum memotong sayur kangkung.
"Tapi, kamu juga harus ngomong dari awal kalau kamu sedang mengobati luka hati. Biar dia gak kecewa karena cintanya bertepuk sebelah tangan."
Johan hanya diam tidak membantah.
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu