Masuk penjara atau menjadi pelayan seorang CEO buta? Demi keselamatannya, Janice terpaksa memilih menjadi pelayan dari Edgard yang buta, tapi bukan sembarang pelayan, karena tugasnya yang sebenarnya adalah mencelakai Edgard agar keluarga pria itu mendapat warisan. Tanpa diduga, Edgard yang mengetahui kebusukan Janice malah memberi pelajaran dengan meniduri wanita itu. Janice yang melarikan diri pun hamil dan melahirkan dua anak kembar. Enam tahun kemudian, Janice tidak menyangka bahwa Edgard, pria buta yang dulu ia celakai ternyata menjadi CEO di tempatnya bekerja, tapi kali ini sang CEO sudah bisa melihat kembali. "Kau tidak mungkin lupa bagaimana aku mengambil keperawananmu kan?" "K-kau salah orang, Pak. Aku masih perawan!" "Masih perawan? Mari kita buktikan!Tidur denganku lagi seperti malam itu!" **
View More"Apa air mandiku sudah siap?"
"Eh, air mandi?" "Haruskah aku terus mengulangi pertanyaanku, Pelayan Bodoh? Apa air mandiku sudah siap?" bentak pria bernama Edgard yang baru saja masuk ke kamar mandi dengan bertelanjang dada itu. Janice sempat terpana melihat tubuh berotot milik pria itu, tapi ia buru-buru memalingkan wajahnya malu. "Ah, iya, Pak. Air mandinya sudah siap. Mari kubantu masuk ke dalam," jawab Janice gugup sambil melangkah mendekati pria itu dan berniat menuntunnya. Namun, Edgard menepis tangan Janice dengan kasar. "Apa yang kau lakukan, hah? Siapa yang mengijinkanmu menyentuhku?" "Eh, aku hanya mencoba membantu, Pak. Karena kau kan ... buta," jawab Janice ragu. "Brengsek! Sekalipun mataku buta, bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa pun! Jadi sekarang keluarlah karena aku mau mandi!" desis Edgard dengan tatapan yang lurus ke depan. Janice menelan salivanya gugup dan jantungnya berdebar begitu kencang sekarang, namun ia sama sekali tidak bergerak dan tetap berdiri di samping Edgard. Edgard yang merasakan keberadaan Janice di sana pun merasa makin kesal. "Mengapa kau masih di sini? Kubilang keluar! Apa yang kau tunggu? Apa kau mau melihatku mandi, hah? Dasar pelayan kurang ajar!" hardik Edgard geram. "Eh, tidak. Aku hanya mau membantumu. Biarkan aku membantumu, Pak," jawab Janice sambil kembali mencoba menyentuh tangan Edgard. Ini kesempatannya. Kesempatan Janice untuk menjalankan misinya. Ya, misi. Karena memang Janice bukan pelayan sembarangan. Malahan ia sama sekali bukan pelayan. Janice terpaksa melakukan ini karena ia dituduh mengambil uang perusahaan dan terancam dipenjara. Janice yakin ia dijebak, difitnah, dan dijadikan kambing hitam untuk alasan yang masih tidak jelas. Sampai saat seorang pria bengis, supervisor di perusahaannya menawarkan sebuah hal yang sangat absurd. Masuk penjara atau menjadi pelayan Pak Edgard, CEO perusahaan mereka yang buta karena kecelakaan mobil. Awalnya pilihan menjadi pelayan sang CEO terdengar mudah, namun semuanya menjadi rumit saat Janice ternyata mendapat tugas untuk mencelakai dan membunuh pria itu demi harta warisan. Tentu saja Janice menolaknya. Namun, saat polisi datang untuk menangkapnya, Janice pun tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya. Ia tidak boleh masuk penjara dan meninggalkan ibunya yang sedang sakit sendirian. Jantung Janice pun masih memacu tidak karuan saat akhirnya ia sudah menggenggam erat lengan Edgard. Sejak mengalami kecelakaan dan dinyatakan buta, temperamen Edgard memang katanya berubah drastis, Edgard menjadi pemarah dan terus mengamuk, bahkan tidak jarang Edgard menyerang para pelayan yang berusaha membantunya. Karena itulah, tidak ada satu pelayan pun yang tahan dengan sikap kasar pria itu dan Edgard juga membenci semua pelayan bodohnya itu, termasuk pelayan bodoh yang saat ini sudah begitu kurang ajar dan terus menyentuhnya. "Sudah kubilang jangan menyentuhku! Minggir!" Edgard yang begitu kesal pun lagi-lagi mengempaskan Janice dengan kasar. "Biar kubantu, Pak! Ini sudah tugasku!" "Singkirkan tanganmu dan keluar dari sini!" bentak Edgard lagi. "Tidak apa, Pak!"Janice bersikukuh. Untuk sesaat, suasana begitu tegang di sana. Janice yang memaksa menuntun Edgard ke bathtub agar ia bisa mencelakainya, sedangkan Edgard yang terus menepis tangan Janice dan mengusir wanita itu. Sampai akhirnya ada posisi yang pas untuk Janice. Persetan pria itu mau lumpuh, terbentur, atau meninggal sekalian, yang penting Janice menyelesaikan misinya. Janice pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mendorong Edgard keras-keras agar pria itu jatuh. "Akhh, apa yang kau lakukan, Pelayan Brengsek?" Edgard yang kaget langsung memekik dan mencoba bertahan saat tubuhnya sudah terhuyung, tapi lantai kamar mandi yang licin membuatnya tergelincir. Refleks Edgard berpegangan erat pada tangan Janice sampai Janice ikut tertarik. "Akhhh!" pekik Janice kaget saat tubuhnya ikut melayang. Dan buk! "Auw! Sial!" Edgard memekik keras saat akhirnya ia jatuh terpelanting dengan kepala belakang yang terbentur keras ke lantai dan tubuh Janice sendiri terjatuh tepat di atas tubuhnya. "Auw, kau sengaja mendorongku, hah, Wanita Sialan?" "Eh, aku ... aku ...." Janice yang sudah begitu panik pun berusaha bangkit dari atas Edgard dan hal pertama yang ia pikirkan adalah bahwa ia harus kabur, namun sialnya Edgard menahan tangannya. "Mau ke mana kau?" "Akkh, lepaskan!" Refleks Janice memukul dan menendang Edgard hingga Edgard yang masih kesakitan pun melepaskan cengkeramannya di tangan Janice. "Oh, gawat, gawat!" Janice terus memekik panik saat akhirnya ia berhasil berdiri. Jantung Janice pun berdebar makin tidak karuan saat ia berlari dari kamar mandi menuju ke pintu kamar, namun tanpa diduga, mendadak rambutnya ditarik kasar sampai kepalanya mendongak. "Arrgghh!" "Kau sengaja melakukannya kan, Pelayan Brengsek?" "Tidak! Tidak, Pak! Aku tidak sengaja! Maafkan aku!" "Lalu mengapa kau lari, bukannya menolongku? Kau sengaja mencelakaiku kan? Kau mau membunuhku, hah?" bentak Edgard penuh amarah sambil menyeret tubuh Janice dan mengempaskannya dengan kasar ke ranjang. "Akkhh!" rintih Janice. Dengan cepat, Edgard melingkarkan tangan besarnya ke leher Janice lalu mencekiknya. "Katakan siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Menyamar menjadi pelayanku dan mencoba membunuhku?" bentak Edgard lagi. "Aku tidak ... lepaskan aku ... lepaskan aku!" pinta Janice dengan suara yang tercekik. "Masih berani berbohong? Katakan siapa yang menyuruhmu sebelum aku membunuhmu dengan tanganku sendiri!" ancam Edgard sambil mengeratkan tangannya di leher Janice. "Tidak ... uhuk ... lepaskan aku! Tolong ...." Janice berteriak dengan sisa tenaganya, tangan dan kakinya pun bergerak kesana kemari mencoba memukul Edgard, namun Edgard terus menahannya. "Dasar wanita brengsek! Sejak kecelakaan itu, aku sudah tahu kalau semua ini hanya rekayasa! Dan jangan harap aku akan melepaskanmu sebelum kau mengaku siapa yang menyuruhmu!" "Errgg, aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu ...," dusta Janice karena ia sudah berjanji untuk tidak buka mulut atau keselamatan ibunya terancam. Janice pun terus memukul tangan Edgard karena ia tidak bisa bernapas, namun Edgard malah semakin marah. "Tidak tahu? Kau pikir aku bisa dibodohi hanya karena aku buta, hah? Sekalipun aku buta, aku masih bisa melakukan banyak hal padamu, termasuk menyiksamu agar kau mau mengaku!" Janice hanya bisa menggeleng dengan wajahnya yang sudah memerah tercekik, namun ia bersikeras untuk tetap diam. Sampai Edgard pun makin geram. "Baiklah, kita lihat saja apa setelah ini kau masih tidak mau mengaku, Wanita Sialan!" Dengan penuh amarah, Edgard melepaskan tangannya dari leher Janice dan malah melucuti paksa baju Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!" Sambil terus terbatuk, Janice pun terus menepis tangan Edgard yang berusaha menyentuhnya. Posisinya yang benar-benar tersudut dan rasa takut yang teramat besar pun membuat Janice melupakan sejenak fakta bahwa pria itu buta. "Tidak, jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak tahu!" Air mata Janice mendadak bercucuran saat ia menyadari apa yang akan Edgard lakukan padanya. Ia pun terus meronta dan kembali memukuli Edgard, namun Edgard terlalu kuat. Tanpa perasaan, Edgard menahan kedua tangan Janice di atas kepala wanita itu. Edgard menindihnya dan menyentuh tubuh wanita itu dengan kurang ajar. Dengan tega, Edgard pun mendesak tubuh Janice, walaupun ia terus menggeram karena begitu sulit menembusnya. "Sial, tidak mungkin wanita jahat sepertimu masih perawan kan?" geramnya diikuti teriakan lirih dari Janice yang merasakan kesakitan luar biasa di bawah sana. **"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments