"Namanya Janice Velma. Umurnya 29 tahun dan dia bekerja di admin produksi. Status belum menikah dan pengalaman kerja sebelumnya di luar kota."
"Tidak ada informasi tentang kehidupan pribadinya tapi ... nama Janice Velma pernah terdaftar sebagai karyawan finance di Orion Group enam tahun yang lalu." Mata Edgard pun membelalak mendengarnya. Orion Group adalah perusahaan milik keluarga Edgard yang masih berdiri sampai sekarang. Namun, dalam beberapa tahun ini, Edgard mendirikan perusahaan baru yang tidak kalah sukses, Emerald Group. "Di Orion? Dia pernah bekerja di Orion? Kau yakin itu Janice yang sama?" "Hmm, namanya sama, Bos. Tapi fotonya ... tidak ada arsip." Edgard mengeraskan rahangnya mendengar hal yang tidak ia sukai itu. "Lalu dia keluar sendiri atau dipecat? Kau tahu kan kalau ada karyawan yang sudah keluar dari salah satu perusahaanku, maka aku tidak akan mengijinkan dia bekerja lagi di perusahaanku yang lain," seru Edgard tegas. "Ah, iya, Bos. Pasti dia belum tahu kalau Orion dan Emerald sama-sama milikmu, Bos." "Lalu mengapa dia keluar, Jefry?" ulang Edgard tidak sabar. "Apa dia punya catatan kriminal?" "Eh, tidak ada catatan kriminal, Bos. Dia keluar sendiri. Dia baru bekerja satu bulan dan masih dalam masa training, tapi di datanya, Janice mengundurkan diri karena harus merawat ibunya yang sakit dan mereka pindah ke luar kota." Edgard mendengarkan laporan itu dengan seksama lalu mencoba mengingat-ngingat. "Karyawan finance ya? Pantas saja aku merasa familiar dengannya. Tapi tunggu ... dia bekerja hanya satu bulan dan masih dalam masa training?" "Benar, Bos. Tapi ... kurasa kau tidak mungkin pernah melihatnya karena saat dia diterima, waktu itu bertepatan dengan saat kau mengalami kecelakaan, Bos. Aku juga merasa tidak pernah melihatnya. Memang setelah kau kecelakaan, kondisi perusahaan sempat agak kacau, karena itu, aku lebih banyak mengurusi urusan di luar kantor." Edgard pun mengernyit dan mengamati surat lamaran kerja milik Janice yang sedang dipegangnya. Edgard membaca dengan seksama resume itu, namun tidak ada yang mencurigakan di sana. "Dia tidak menuliskan pengalaman kerja di Orion di surat lamarannya." "Mungkin karena dia masih training dan hanya satu bulan, Bos." Edgard mengangguk lalu menutup berkas itu dan memandangi foto Janice. Foto formal seorang wanita cantik yang sedang tersenyum manis. Tapi bukan! Bukan wajah cantiknya yang membuat Edgard berpikir keras, melainkan sesuatu yang lain. Entah mengapa Edgard begitu yakin pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Edgard pun masih mengamati foto itu sampai suara Jefry kembali berbicara padanya. "Dan info dari HRD, kemarin dia sempat bertanya sesuatu tentang mengundurkan diri dari sini, Bos." Edgard menoleh cepat ke arah Jefry. "Mengundurkan diri? Bukankah kemarin hari pertamanya bekerja?" "Ah, benar, Bos. Tapi alasan apa, mereka juga tidak tahu, Bos." "Sial! Pasti ada sesuatu, Jefry. Dan wanita itu! Suruh dia kemari, aku mau bertemu dengannya!" "Eh, kau mau bertemu dengannya?" Jefry terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk. "Ah, baik, Bos," sahut Jefry yang tidak berani banyak bertanya. Ia pun langsung memanggil Janice melalui manager di divisi tersebut. Jantung Janice sendiri tidak berhenti berdebar kencang mendengar panggilan mengejutkan itu. Bahkan Janice terus menautkan kedua tangannya gugup sambil berdoa dalam hatinya saat ia melangkah mengikuti seorang karyawan yang sedang mengantarnya ke ruangan Edgard. "Tunggu tunggu tunggu, kira-kira ada apa Pak Edgard memanggilku ya?" Karyawan pria itu pun menoleh. "Maaf, aku juga tidak tahu, tidak biasanya dia memanggil karyawan secara pribadi seperti ini." "Eh, benarkah?" "Hmm, biasanya asistennya yang bernama Pak Jefry itu yang selalu berhubungan dengan karyawan. Pak Edgard sendiri hanya menerima laporan." "Oh, lalu ... lalu ada apa dia memanggilku? Jantungku berdebar tidak karuan sekarang." "Kau akan segera mengetahuinya nanti. Ayo, lebih baik kita cepat karena Pak Edgard tidak menyukai orang yang terlambat sedikit pun." Janice menahan napas mendengarnya, apalagi saat karyawan pria itu kembali berjalan melewati koridor. "Tunggu tunggu tunggu!" Mendadak Janice menghentikannya lagi. "Boleh aku ke toilet dulu?" "Eh, boleh. Tapi cepatlah! Aku juga takut dimarahi kalau kau tidak kunjung sampai!" "Sebentar saja! Sebentar saja! Terima kasih!" Setelah mengatakanya, Janice pun segera melesat pergi dan mengurung dirinya sejenak di toilet. "Tenang, Janice! Tenang! Dia tidak mengenalmu! Kau juga tidak mengenalnya! Kalian tidak pernah bertemu sebelumnya dan kau harus tenang!" Janice menatap pantulan dirinya di cermin begitu lama, sebelum akhirnya ia kembali melangkah dan dengan cepat ia pun dipersilakan masuk oleh seorang pria bernama Jefry yang sudah membuka pintu ruang kerja Edgard. "Silakan!" "Terima kasih!" Janice memaksakan senyumnya dan menenangkan hatinya lagi, sebelum ia masuk dengan sedikit lebih percaya diri. Namun, aura di dalam ruangan itu terasa berbeda. Kalau di luar auranya lebih lega tapi di dalam ruangan ini, auranya mencekam dan membuat Janice kesulitan bernapas. Janice pun hanya bisa menatap tegang pada punggung Edgard yang sedang berdiri menatap jendelanya sambil memasukkan satu tangan ke kantong celananya. "S-selamat pagi, Pak!" sapa Janice gugup. Edgard yang mendengar suara Janice pun sontak menoleh. Edgard membalikkan tubuhnya dan menatap Janice dengan tatapan yang membuat Janice mendadak menunduk takut. Untuk sesaat, suasana hening karena Edgard tidak mengatakan apa pun dan hanya mengamati Janice dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. "Jadi kau bernama Janice?" tanya Edgard sambil melangkah mendekati Janice. Suara langkah sepatu Edgard mendekat pun membuat napas Janice mendadak tersengal. "Itu ... iya, aku ... aku Janice, Pak." "Mengapa kau menunduk lagi, Janice? Apa menunduk adalah hobimu, hah? Angkat kepalamu, Janice! Lihat aku saat kau sedang bicara denganku!" seru Edgard dengan nada meninggi. Janice menelan salivanya dan berusaha bersikap biasa saja. "Ah, maafkan aku, Pak!" sahut Janice panik sambil mengangkat kepalanya dan begitu cepat tatapannya bertemu dengan tatapan Edgard. Refleks Janice kembali menunduk sampai Edgard pun menggeram kesal. "Kubilang angkat kepalamu, Janice! Aku mau melihatmu! Melihat wajahmu!" Janice gemetar, namun ia memaksakan senyumnya dan perlahan mengangkat kepalanya lagi, walaupun Janice sama sekali tidak menatap Edgard lagi, melainkan menatap jendela besar di belakang Edgard. "Maaf, Pak! Aku ... tidak akan menunduk lagi," kata Janice akhirnya. Edgard tidak menyahut, namun hanya memicingkan matanya sambil melangkah makin mendekati Janice. Janice sudah begitu tegang merasakan kedekatan itu. Apalagi saat tiba-tiba tangan Edgard meraih dagu Janice dan mengarahkan wajah Janice menghadap ke arahnya. Janice yang kaget langsung membelalak ngeri menatap Edgard. "Wajah ini ... apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Edgard tepat di depan wajah Janice. "Tidak pernah, Pak," jawab Janice spontan tanpa berpikir. Namun, jawaban itu membuat Edgard mengernyit. "Tidak pernah? Bahkan kau tidak berusaha mengingatnya dulu sebelum menjawab, Janice." Edgard menekan dagu Janice makin keras sampai wanita itu kini semakin mendongak. "Eh, itu ... aku ... yakin, Pak. Aku yakin aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya!" "Tapi aku pernah," sela Edgard yang benar-benar membuat Janice kehabisan napas saking tegangnya. Edgard pun mendekatkan wajahnya ke wajah Janice dan mendesis geram. "Aku yakin aku pernah bertemu denganmu, Janice Velma!" **Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan dan matanya membelalak mendengar ucapan Edgard, apalagi dari jarak yang begitu dekat. Rasanya kenangan buruk itu terus berputar di otaknya dan Janice mulai takut kalau Edgard benar-benar mengenalinya. Edgard sendiri menatap Janice dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, ada amarah di sana namun juga ada banyak tanya. Sebenarnya Edgard bukanlah tipe pria yang tidak ada kerjaan sampai rela membuang waktu untuk hal tidak berguna seperti menakuti karyawan baru. Tapi Edgard selalu melakukan semua berdasarkan perasaannya, yang mana selama ini hampir tidak pernah salah. Edgard yakin ia pernah bertemu Janice karena wanita itu sangat familiar. Suaranya, raut wajahnya, matanya yang membelalak, bahkan aroma yang terasa familiar, tidak menusuk namun lembut, dan Edgard pernah merasakannya, walau ia tidak ingat kapan. Yang jelas, Janice ini bukan karyawan yang bisa diabaikan sama sekali. Janice sendiri menelan salivanya dan akhirnya berani berbi
"Ada apa, Sayang? Mama sedang kerja," bisik Janice di panggilan video call dengan si kembar. Setelah keluar dari ruangan Edgard tadi, Janice pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri. Wina yang melihatnya pun sudah begitu kepo dan menggeser kursinya mendekat. Namun, belum sempat Janice menceritakan apa pun, mendadak ponselnya berbunyi, yang ternyata telepon dari ponsel Nara, ibunya. Janice pun langsung berlari ke toilet terdekat karena sudah pasti si kembar yang menelepon. Janice sendiri masuk ke perusahaan ini dengan status palsu yaitu single dan belum menikah. Tentu saja itu tidak sepenuhnya palsu karena memang Janice single dan belum menikah, tapi Janice sudah punya dua anak. Semua perusahaan tempatnya melamar pekerjaan memberikan syarat bagi karyawan baru yaitu harus single karena perusahaan tidak mau karyawannya sering ijin dengan alasan anak. Karena itulah, Janice terpaksa menyembunyikan anaknya juga. "Collin merindukan Mama ....""Calista juga ... hehe ...."Kedua anak
"Hei, kau sudah selesai menelepon, Janice? Mengapa kau lama sekali?"Wina terus mengomel karena Janice begitu lama meninggalkannya. Tentu saja lama karena Janice sempat pergi ke HRD dulu tadi, walaupun Janice tidak mungkin menceritakannya pada Wina.Setelah dari HRD pun, Janice sempat kembali ke toilet untuk menenangkan dirinya yang putus asa, sebelum ia memutuskan kembali ke ruangannya sendiri. "Iya, sudah selesai.""Siapa sih yang menelepon? Mengapa kau harus bersembunyi di toilet?""Eh, itu ibuku, hanya saja dia menelepon dengan video call tadi, karena itu aku cepat-cepat keluar, takut suaranya mengganggu.""Oh, lalu apa ada masalah penting?""Tidak ada kok, tidak ada masalah.""Ah, syukurlah kalau begitu, ayo lihat laporan ini, barusan gudang memberikan laporan." "Ah, baiklah."Janice dan Wina pun bekerja bersama mempelajari laporan dari gudang sampai siang menjelang. Mereka makan siang bersama dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka tanpa ada panggilan lagi dari siapa pun dan
"Berhenti di sini saja, Pak! Terima kasih!" Janice meminta ojeknya berhenti di depan supermarket dan ia pun berlari masuk ke sana. Janice sempat berkeliling mencari ibu dan anaknya, namun ia tidak kunjung menemukannya hingga akhirnya Janice pun memilih untuk meneleponnya saja."Halo, Ibu di mana? Aku sudah di supermarket.""Oh, Ibu masih bersama Calista, kami mencari Collin yang mendadak lari sendiri.""Eh, lari ke mana?""Entahlah, biasa anakmu itu suka sekali berlari di tempat yang besar.""Astaga, mungkin ke tempat keju, Ibu!""Ah, kau benar juga! Biar Ibu yang ke sana, kau menyusul saja ke sana nanti!""Eh, iya, Ibu." Janice menutup teleponnya dan langsung melangkah ke koridor tempat keju. Namun, baru berjalan beberapa langkah, mendadak Janice melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Jefry, asisten Edgard di kantor.Sontak Janice langsung memutar balik langkahnya dan berjalan cepat menjauh. Janice sempat mengamati pria itu dari kejauahan dan itu benar Jefry. "Astaga, men
"Sudah semua, Bos? Wah, antrinya panjang sekali! Aku akan mengantri di sana saja! Eh, di sini lebih pendek antriannya!"Jefry mendorong trollynya ke kanan lalu ke kiri sampai membuat Edgard berdecak kesal saat mengikuti Jefry. "Berikan kunci mobilnya, aku akan menunggu di mobil saja, kalau kau sudah selesai, cepat susul aku!""Eh, sebentar, Bos!" Jefry mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan Edgard pun masih berdiri menunggu saat tiba-tiba suara anak kecil terdengar menyapanya. "Uncle, kita bertemu lagi!" pekik Collin yang tertawa melihat pria dewasa yang tadi ia temui di tempat keju. Collin pun melirik trolly Edgard yang didorong oleh Jefry dan berseru keras. "Wah, ini trolly milik Uncle? Wah, Uncle beli keju banyak sekali!" Tatapan mata Collin pun nampak berbinar-binar. Edgard yang tidak menyangka bertemu dengan anak itu lagi hanya mengangguk singkat. "Aku juga suka keju. Apa kau benar-benar hanya membeli satu kotak?""Eh, iya, hanya satu kotak sama susu ...," sahut Coll
"Seharusnya kau melihatnya tadi, Janice! Astaga, pria itu benar-benar membuat Ibu tegang! Hanya soal keju tapi dia bicara seperti mau mengadili Ibu!"Nara tidak berhenti mengomel setelah mereka sampai ke rumah. Janice yang mendengarnya hanya memaksakan senyum singkatnya tanpa menanggapi berlebihan karena bisa sampai ke rumah tanpa ketahuan saja sudah membuat Janice begitu lega. "Ah, sudahlah, tidak usah dibahas lagi! Memang kan karakter orang beda-beda, Ibu.""Tapi Ibu tidak pernah melihat yang seperti itu, Janice! Kenal saja tidak! Astaga! Sudahlah, Ibu hanya masih emosi!" Nara pun mengibaskan tangan di depan wajahnya dan menenangkan napasnya. "Eh, tapi wajah orang itu sepertinya familiar, Janice! Di mana Ibu pernah melihatnya ya?" Nara mengernyit dan mencoba mengingat. Janice yang mendengarnya pun mendadak menegang. Dulu Janice pernah menunjukkan foto Edgard di sebuah surat kabar, mungkin ini yang membuat Nara masih sedikit mengingatnya. "Astaga, Ibu! Setiap hari kita bertemu
"Mana wanita itu?" "Janice maksudmu, Bos?""Siapa lagi?""Eh, itu ... aku juga tidak tahu, Bos. Mungkin dia sedang ke toilet atau mungkin dia terlambat."Edgard memicingkan mata mendengarnya. Pagi ini, karyawan baru di divisi admin produksi akan diajak berkeliling untuk mengenal gudang sekaligus melihat proses produksi oleh pimpinan gudang. Namun, Edgard yang kebetulan juga sedang memantau gudang melihat rombongan itu dan memutuskan untuk memberikan briefing singkat. Edgard pun mencari sosok wanita familiar itu, Janice Velma, yang pagi ini tidak terlihat di sana, namun Edgard sama sekali tidak bisa menerima jawaban santai Jefry tentang keterlambatan. "Terlambat, Jefry? Berani sekali karyawan baru terlambat datang!" desis Edgard kesal. "Eh, maaf, aku kan bilang mungkin, Bos. Nanti juga dia akan muncul, Bos!"Edgard kembali memicingkan matanya menatap Jefry, namun suara pimpinan gudang tiba-tiba membuatnya kembali fokus pada pekerjaan. Edgard pun akhirnya melupakan Janice dan memb
Rasanya sejak kabur dari malam yang mengerikan itu, Janice belum pernah mengalami ketakutan seperti ini lagi. Namun, sekarang ketakutan itu kembali. Bahkan beberapa hari ini jantung Janice tidak berhenti berdebar kencang yang membuatnya susah tidur dan otaknya blank. Bertemu kembali dengan Edgard adalah hal yang sama sekali tidak Janice sangka, apalagi sampai berhubungan dengan pria itu, tapi mengapa ini harus terjadi padanya?Kaki Janice gemetar dan tangannya begitu dingin saat ia akhirnya sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Edgard.Janice terus menenangkan napasnya, sebelum ia mengetuk pintu itu lalu membukanya.Dan Janice langsung melihat pria itu di sana, berdiri memunggunginya sambil memandangi jendela luarnya seperti biasa. Perlahan Janice melangkah mendekat dan bersuara dengan gemetar. "Maaf, Pak ... aku ... aku minta maaf lagi tentang masalah tadi." Edgard yang mendengar suara Janice tidak langsung menjawab, namun hanya tetap diam di posisinya. "Kau tahu apa salahmu