"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Apa air mandiku sudah siap?""Eh, air mandi?""Haruskah aku terus mengulangi pertanyaanku, Pelayan Bodoh? Apa air mandiku sudah siap?" bentak pria bernama Edgard yang baru saja masuk ke kamar mandi dengan bertelanjang dada itu. Janice sempat terpana melihat tubuh berotot milik pria itu, tapi ia buru-buru memalingkan wajahnya malu. "Ah, iya, Pak. Air mandinya sudah siap. Mari kubantu masuk ke dalam," jawab Janice gugup sambil melangkah mendekati pria itu dan berniat menuntunnya. Namun, Edgard menepis tangan Janice dengan kasar. "Apa yang kau lakukan, hah? Siapa yang mengijinkanmu menyentuhku?" "Eh, aku hanya mencoba membantu, Pak. Karena kau kan ... buta," jawab Janice ragu. "Brengsek! Sekalipun mataku buta, bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa pun! Jadi sekarang keluarlah karena aku mau mandi!" desis Edgard dengan tatapan yang lurus ke depan. Janice menelan salivanya gugup dan jantungnya berdebar begitu kencang sekarang, namun ia sama sekali tidak bergerak dan tetap berdi
"Mama ....""Mama ...."Dua orang anak sedang berlarian di rumah kontrakan sederhana pagi itu sambil terus terkikik dan memanggil ibunya. "Sebentar, Sayang! Mama sedang siap-siap!" Janice berteriak dari kamarnya sambil merapikan setelan formalnya. Enam tahun berlalu sejak ia kabur dari Edgard, kabur dari malam yang mengerikan itu dengan perjuangan yang sama sekali tidak mudah. Janice sempat memukul kepala Edgard dengan lampu meja setelah pria itu menyalurkan hasratnya pada Janice malam itu. Dengan panik, Janice menyambar baju apa pun yang bisa ia dapat dari lemari dan segera keluar dari kamar itu. Ia berlari seperti orang gila karena dikejar oleh orang suruhan Edgard, namun akhirnya ia berhasil lolos. Bahkan sesampainya di rumah, Janice langsung mengemasi semua barangnya dan membawa ibunya yang sakit itu pergi jauh ke kota kecil karena ia begitu takut Edgard akan menemukannya atau pria bengis itu akan menjebloskannya ke penjara. Namun, sampai satu bulan berlalu, ia dan ibunya hi
Sudah cukup buruk nasibnya diperkosa secara keji dan melahirkan bayi kembar, lalu sekarang Janice mendapati bahwa pria kejam itu adalah CEO di tempatnya bekerja. Semua kenyataan ini mendadak membuat kepala Janice berdenyut. Kedua bola matanya pun terus membelalak sampai terasa begitu perih dan Janice pun terus membeku dengan tubuh yang seolah menggigil karena syok. "Astaga, itu dia! Itu dia Pak Edgard! Dia tampan sekali kan?" pekik teman Janice tertahan, namun Janice sama sekali tidak menyahutinya. "Lihatlah, dia begitu keren, bahkan suaranya begitu berat dan seksi! Oh, dia idola baruku ...," bisik wanita itu dengan tatapan yang berbinar-binar. Namun, Janice sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi. "Hei, hei, aku bicara denganmu! Namamu Janice kan? Janice, kau kenapa?" Mendadak tubuh Janice diguncang keras sampai Janice pun menoleh kaget. "Eh, iya?""Kau melamun! Lihat, Pak Edgard sedang memberikan sambutan!""Ah, iya, iya!" Janice mengangguk kaku, sebelum ia mengalihkan tatapan
Nada suara Edgard yang keras dan mengintimidasi membuat Janice makin gemetar ketakutan. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice begitu takut dikenali oleh Edgard dan disiksa lagi seperti dulu. "Kau tidak punya telinga, hah? Aku bilang angkat kepalamu sekarang dan lihat aku! Jangan membuatku sampai memaksamu!" bentak Edgard lagi yang membuat Janice seketika menahan napasnya. Otak Janice terus berpikir keras sampai ia begitu pusing dan hampir pingsan. Namun, satu pemikiran mendadak muncul di otaknya. Bukankah Edgard masih buta saat bertemu Janice dulu? Bukankah itu berarti Edgard tidak pernah melihat wajah Janice? Ya, untuk apa Janice takut? Lagipula waktu itu Janice memakai nama samaran, dan penampilannya pun masih seperti remaja alay dengan rambut berpony dan terbakar karena hasil bleaching yang gagal. Tentu saja! Bahkan orang yang tidak buta pun tidak mungkin mengingat Janice apalagi orang yang buta. "Sialan, kau ...." Edgard menggeram kesal. Namun, belum sempat Edgard menyel
"Mama sudah pulang, Sayang!" sapa Janice begitu ia sampai ke rumahnya sore itu. "Yeay, Mama pulang!""Mama pulang!" Collin dan Calista melompat kegirangan melihat Janice pulang. Calista berlari duluan memeluk Janice, sedangkan Collin menyusul dengan mulut yang belepotan. "Astaga, Collin, apa yang kau makan? Umurmu sudah lima tahun, tapi kau masih belepotan saat makan!""Collin lagi makan keju, Mama!" "Haha, iya, ayolah!" Janice memeluk Collin dan Calista masuk bersama ke dalam rumah. "Mama bawa apa ini?" Calista menarik kotak yang dibawa oleh Janice. "Itu roti untuk kalian, Sayang.""Wah, roti isi daging sama keju ya, Mama? Asik! Mama sudah kerja dan sudah punya banyak uang! Jadi kita bisa makan roti isi daging sama keju setiap hari! Asik!" pekik Calista senang. "Jangan setiap hari, Sayang. Sesekali saja ya." Janice menemani si kembar ke meja makan dan si kembar pun tidak berhenti memekik senang. Janice pun membantu membersihkan mulut Collin, sebelum mengeluarkan roti untuk
Sret!Suara robekan kain terdengar begitu mengerikan di telinga Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!"Janice terus terbatuk dan berusaha menepis tangan pria yang sedang menyentuhnya itu. "Tidak, jangan lakukan itu ... aku benar-benar tidak tahu ...." Janice mulai menangis dan memohon, namun pria itu tidak berhenti sedikit pun. Pria itu menyentuh seluruh tubuh Janice sampai ke bagian sensitifnya dan membuat tubuh Janice bergetar tidak karuan, bukan menikmati, namun ketakutan dan kesakitan karena pria itu meremat kulit Janice dengan kasar. Janice merasa jijik saat tangan itu terus membelai tubuhnya, namun ia tidak punya tenaga untuk melawannya lagi. Sampai saat pria itu menempatkan dirinya dan menerobos masuk, mengabaikan jeritan lirih Janice yang begitu kesakitan dan tersiksa. Jantung Janice pun sudah berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dalam tidurnya. Kaki dan tangan Janice mengepal sekuat tenaga saat alam mimpinya sedang menyiksanya dengan mengulang kejadian mal