"Seharusnya kau melihatnya tadi, Janice! Astaga, pria itu benar-benar membuat Ibu tegang! Hanya soal keju tapi dia bicara seperti mau mengadili Ibu!"Nara tidak berhenti mengomel setelah mereka sampai ke rumah. Janice yang mendengarnya hanya memaksakan senyum singkatnya tanpa menanggapi berlebihan karena bisa sampai ke rumah tanpa ketahuan saja sudah membuat Janice begitu lega. "Ah, sudahlah, tidak usah dibahas lagi! Memang kan karakter orang beda-beda, Ibu.""Tapi Ibu tidak pernah melihat yang seperti itu, Janice! Kenal saja tidak! Astaga! Sudahlah, Ibu hanya masih emosi!" Nara pun mengibaskan tangan di depan wajahnya dan menenangkan napasnya. "Eh, tapi wajah orang itu sepertinya familiar, Janice! Di mana Ibu pernah melihatnya ya?" Nara mengernyit dan mencoba mengingat. Janice yang mendengarnya pun mendadak menegang. Dulu Janice pernah menunjukkan foto Edgard di sebuah surat kabar, mungkin ini yang membuat Nara masih sedikit mengingatnya. "Astaga, Ibu! Setiap hari kita bertemu
"Mana wanita itu?" "Janice maksudmu, Bos?""Siapa lagi?""Eh, itu ... aku juga tidak tahu, Bos. Mungkin dia sedang ke toilet atau mungkin dia terlambat."Edgard memicingkan mata mendengarnya. Pagi ini, karyawan baru di divisi admin produksi akan diajak berkeliling untuk mengenal gudang sekaligus melihat proses produksi oleh pimpinan gudang. Namun, Edgard yang kebetulan juga sedang memantau gudang melihat rombongan itu dan memutuskan untuk memberikan briefing singkat. Edgard pun mencari sosok wanita familiar itu, Janice Velma, yang pagi ini tidak terlihat di sana, namun Edgard sama sekali tidak bisa menerima jawaban santai Jefry tentang keterlambatan. "Terlambat, Jefry? Berani sekali karyawan baru terlambat datang!" desis Edgard kesal. "Eh, maaf, aku kan bilang mungkin, Bos. Nanti juga dia akan muncul, Bos!"Edgard kembali memicingkan matanya menatap Jefry, namun suara pimpinan gudang tiba-tiba membuatnya kembali fokus pada pekerjaan. Edgard pun akhirnya melupakan Janice dan memb
Rasanya sejak kabur dari malam yang mengerikan itu, Janice belum pernah mengalami ketakutan seperti ini lagi. Namun, sekarang ketakutan itu kembali. Bahkan beberapa hari ini jantung Janice tidak berhenti berdebar kencang yang membuatnya susah tidur dan otaknya blank. Bertemu kembali dengan Edgard adalah hal yang sama sekali tidak Janice sangka, apalagi sampai berhubungan dengan pria itu, tapi mengapa ini harus terjadi padanya?Kaki Janice gemetar dan tangannya begitu dingin saat ia akhirnya sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Edgard.Janice terus menenangkan napasnya, sebelum ia mengetuk pintu itu lalu membukanya.Dan Janice langsung melihat pria itu di sana, berdiri memunggunginya sambil memandangi jendela luarnya seperti biasa. Perlahan Janice melangkah mendekat dan bersuara dengan gemetar. "Maaf, Pak ... aku ... aku minta maaf lagi tentang masalah tadi." Edgard yang mendengar suara Janice tidak langsung menjawab, namun hanya tetap diam di posisinya. "Kau tahu apa salahmu
Edgard menyeringai menatap raut wajah Janice yang ketakutan. Sejak awal, Edgard sudah yakin pada perasaannya kalau ia pernah bertemu Janice dengan kondisi yang sama sekali tidak biasa. Wanita itu bukan hanya sekedar familiar, tapi membuat Edgard sangat penasaran. Hingga insiden di gudang tadi membuat Edgard mengingat semuanya, mengingat wanita yang pernah ia lihat. Edgard merasa makin yakin dengan suara, aroma tubuh, dan tatapan mata itu. Edgard pun hanya perlu memastikan satu hal lagi sekarang, rasa tubuh Janice. Rasa yang Edgard yakin ia akan bisa memastikannya karena pelayan brengsek itu adalah wanita terakhir yang pernah berhubungan dengannya. Edgard pun masih menahan tubuh Janice dengan tubuhnya sambil tetap menatap wanita itu. Sedangkan Janice langsung membeku di atas sofa mendengar nama yang dipanggil oleh Edgard tadi. Emira? Pria itu memanggilnya Emira. Walaupun terdengar mustahil, entah bagaimana sepertinya pria itu memang benar-benar mengingatnya.Bagaimana ini? Jani
Jantung Janice sudah jumpalitan tidak karuan mendengar bisikan Edgard, apalagi sedetik setelahnya, Edgard langsung mengikis jarak di antara mereka dan mendaratkan bibirnya ke bibir Janice. Lagi-lagi Janice membelalak lebar karena merasakan bibir itu di bibirnya lagi. Ini adalah kedua kalinya Janice merasakannya setelah yang pertama waktu itu, enam tahun yang lalu. Waktu itu Edgard memaksa menciumnya, bukan hanya di bibir, namun di bagian yang lain juga sampai Janice merasa merinding. Edgard sama sekali tidak mirip seperti orang buta karena semua sentuhannya sangat tepat sasaran, begitu kasar dan menyakitkan serta memuaskan dirinya sendiri. Bahkan Janice bersumpah bisa melihat kilatan penuh hasrat yang menjijikkan di mata pria itu dulu padahal pria itu buta.Tapi kali ini Janice tidak mau lagi. Janice pun mengatupkan bibirnya erat-erat dan terus berusaha mendorong Edgard. "Mmphh ... mmphh ...." Sekuat tenaga, Janice mendorong dan menendang, namun Edgard bagaikan batu yang begitu
Janice masih terus berharap ada keajaiban dan semua orang yang mengejarnya pun pergi. Namun, harapannya itu tidak menjadi kenyataan saat tiba-tiba gagang pintu ditekan hingga Janice pun menahan napasnya ketakutan. Karena terlalu gugup, kaki Janice sampai begitu kaku dan ia tidak tahu ia harus naik atau turun lagi dari sana.Bahkan Janice spontan berjongkok dengan pikiran bahwa mungkin saja orang tidak akan melihatnya kalau ia berjongkok begitu rendah seperti ini. Dan begitu pintu dibuka, Janice benar-benar tidak terlihat oleh dua orang yang masuk ke sana."Mmpphh, sabar, Sayang! Mmphh ...." Desahan dua orang pun terdengar. "Aku merindukanmu, Sayang! Sudah sejak tadi aku bersabar hanya menatapmu di ruang rapat.""Mmpphh, aku juga merindukanmu. Tapi pelan-pelan nanti bibirku bengkak dan semua orang akan melihatnya."Sepasang pria dan wanita itu terlihat sedang dimabuk asmara. Mereka masuk dengan cepat ke ruangan itu dan wanita itu pun didorong sampai punggungnya menabrak tembok la
"Akhh, astaga! Lepaskan aku, Pak!" pekik wanita yang dijambak oleh Edgard dengan begitu kaget. Sebelum pergi, Janice memberitahu bahwa ia dikejar-kejar oleh seseorang, tapi Janice sama sekali tidak sempat memberitahu kalau orang yang mengejarnya itu adalah Edgard. Karena itu, dengan santai Olla menuruti Janice. Namun, ia benar-benar kaget saat mendapati ternyata Janice sedang mencari masalah dengan CEO galak mereka. Entah ada masalah apa antara Janice dan CEO ini, namun Olla mulai ketakutan sekarang. "Eh, P-Pak Edgard?""Sial! Siapa kau?" pekik Edgard yang juga kaget saat melihat Olla. Saking kagetnya, Edgard pun langsung melepaskan cengkeraman tangannya di rambut Olla, seolah jijik menyentuh wanita yang salah. Olla sendiri yang tiba-tiba dilepaskan langsung sedikit terhuyung, namun dengan cepat ia menegakkan tubuhnya dan bernapas lega sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit akibat ditarik oleh Edgard tadi. "Eh, aku ... aku Olla dari divisi admin produksi, Pak," jawab Olla
"Apa harganya tidak bisa kurang, Pak?" "Maaf, Bu! Harganya sudah sangat bagus. Ada dua kamar dan posisinya juga di tengah kota. Kau tidak akan bisa menemukan rumah lain dengan harga yang semurah itu.""Ah, benarkah? Kalau begitu apa boleh aku membayar uang mukanya dulu? Secepatnya kalau uangnya sudah ada, baru akan kulunasi.""Eh, maaf, Bu! Kalau soal itu, aku tidak bisa. Rumah di sana cukup banyak peminat dan aku memakai sistem siapa yang bayar duluan untuk kontrak satu tahun maka dia yang dapat, jadi kalau hanya uang muka ... mohon maaf, belum bisa.""Ah, baiklah, aku mengerti. Terima kasih, Pak! Nanti aku akan meneleponmu lagi!"Janice menunduk lesu sambil menutup teleponnya. Entah sudah rumah ke berapa yang ia telepon sampai sore ini, tapi hasilnya sama saja, semua harganya mahal dan tidak bisa dicicil, sedangkan uang Janice sendiri sudah habis untuk membayar kontrak rumah yang ditinggalinya sekarang. Janice pun mengembuskan napas panjangnya. Dulu saat ia hanya berdua dengan N