"Apa harganya tidak bisa kurang, Pak?" "Maaf, Bu! Harganya sudah sangat bagus. Ada dua kamar dan posisinya juga di tengah kota. Kau tidak akan bisa menemukan rumah lain dengan harga yang semurah itu.""Ah, benarkah? Kalau begitu apa boleh aku membayar uang mukanya dulu? Secepatnya kalau uangnya sudah ada, baru akan kulunasi.""Eh, maaf, Bu! Kalau soal itu, aku tidak bisa. Rumah di sana cukup banyak peminat dan aku memakai sistem siapa yang bayar duluan untuk kontrak satu tahun maka dia yang dapat, jadi kalau hanya uang muka ... mohon maaf, belum bisa.""Ah, baiklah, aku mengerti. Terima kasih, Pak! Nanti aku akan meneleponmu lagi!"Janice menunduk lesu sambil menutup teleponnya. Entah sudah rumah ke berapa yang ia telepon sampai sore ini, tapi hasilnya sama saja, semua harganya mahal dan tidak bisa dicicil, sedangkan uang Janice sendiri sudah habis untuk membayar kontrak rumah yang ditinggalinya sekarang. Janice pun mengembuskan napas panjangnya. Dulu saat ia hanya berdua dengan N
"Wina, kemari!"Olla melambaikan tangannya memanggil Wina saat semua orang masih sibuk bekerja pagi itu. Wina yang dipanggil pun menoleh dan nampak tidak yakin kalau Olla memanggilnya. "Aku?" tanya Wina tanpa suara sambil menunjuk ke dirinya sendiri. "Iya, kau! Cepat sini!" desis Olla sambil melambaikan tangannya lagi. Wina pun bergegas bangkit dari kursinya dan berlari kecil ke ruangan Olla, karyawan senior yang selama ini menjadi asisten manager di divisi itu. "Permisi, Bu Olla, apa kau memanggilku?""Iya, benar. Cepat tutup pintunya! Kemarilah!" Olla kembali melambaikan tangannya sampai Wina pun segera duduk di kursi di hadapan wanita itu. "Ada apa, Bu?" tanya Wina ragu. "Hei, apa Janice sudah masuk hari ini?""Eh, Janice belum masuk, Bu. Tadi aku meneleponnya dan katanya dia baru saja baikan.""Apa itu berarti dia akan masuk besok?""Eh, itu ... aku tidak tahu, Bu."Olla pun memicingkan mata menatap Wina. "Hmm, baiklah. Lalu apa kau tahu sesuatu tentang Janice, Wina?""Sesu
"Kau mau ke mana memakai kemeja rapi, Janice?" "Aku mau ke kantor, Ibu.""Ke kantor? Bukankah kau bilang mau istirahat dulu? Lagipula jam segini kan sudah sangat terlambat!""Hmm, ada urusan mendadak yang membuatku harus ke sana sekarang, Ibu! Aku pergi dulu! Titip anak-anak!" seru Janice yang langsung melesat pergi sebelum Nara bertanya lebih jauh lagi. Janice pun terus menenangkan hatinya saat akhirnya ia akhirnya tiba di gedung perusahaannya. "Semangat, Janice! Jangan mau ditindas! Kau harus kukuh kalau itu bukan salahmu!"Tapi sedetik setelah mengatakannya, mendadak Janice ingin menangis lagi. "Aduh, tapi kenyataannya itu memang salahku, bagaimana ini?" Cukup lama Janice hanya berdiri di depan gedung sampai akhirnya ia pun naik ke ruang kerjanya. "Janice! Astaga, bagaimana kondisimu? Kau tidak apa kan? Kau masih sakit? Wajahmu sudah lebih segar! Ah, syukurlah! Aku cemas sekali!" Wina terus mengobok-obok wajah Janice dan memeriksa kondisinya. "Aku tidak apa, Wina. Aku sudah
"Kehilangan keperawanan?"Napas Janice makin tercekat mendengar ucapan Edgard. Posisi Edgard yang wajahnya masih sejajar dengan wajah Janice pun membuat suara itu terdengar seperti hembusan napas di depan wajah Janice yang langsung membuat Janice merinding. Bahkan saking tegangnya, Janice pun hanya bisa tetap mematung sampai suara pria itu kembali terdengar. "Mengapa mendadak kau diam lagi, Janice, hah?"Edgard yang masih membungkuk di depan Janice pun memicingkan mata menatap Janice, sebelum ia menegakkan tubuhnya lagi. Edgard pun memasukkan kedua tangan ke kantong celananya dan melangkah mundur sampai tubuhnya bersandar di meja kerjanya, lalu Edgard diam dan hanya menatap Janice di sana. "Jadi apa aku benar, Janice? Kau kehilangan keperawanan kan? Aku yang sudah mengambilnya secara paksa. Oh, tapi aku menikmatinya, kalau kau mau tahu." Edgard sengaja memprovokasi Janice sampai Janice makin tegang dan kesal. 'Dasar pria brengsek yang tidak bermoral! Bisa-bisanya dia bilang menik
Suara Janice terdengar sangat lantang dan percaya diri saat meminta mengundurkan diri. Untuk sesaat, suasana pun hening. Janice yang menunggu respon Edgard, sedangkan Edgard yang mendadak ingin tertawa keras, namun sebisa mungkin ia menahannya dan menjaga ekspresinya tetap datar.Entah wanita itu begitu polos atau bodoh. Tapi bukankah tidak mungkin wanita jahat sepertinya ternyata wanita yang polos? Well, walaupun nyatanya wanita itu masih perawan. Tapi perawan tidak bisa dijadikan patokan bahwa hatinya baik. Wanita di hadapannya ini tetap adalah penjahat yang tidak bisa Edgard lepaskan begitu saja, bahkan menjebloskan wanita ini ke penjara saja terdengar begitu mudah dan tentu saja Edgard tidak akan melakukannya. Edgard mengembuskan napas panjang dan tersenyum tipis. "Jadi kau mau mengundurkan diri ya?"Janice mengangguk dengan mantap. "Benar, Pak. Bukankah kau bilang aku tidak qualified? Jadi aku menerima semuanya dan lebih baik aku keluar saja agar tidak makin merugikan perusa
Janice tidak pernah membayangkan akan dihadapkan pada situasi yang sama seperti enam tahun yang lalu. Masuk penjara atau menjadi pelayan sang CEO? Oh, takdir apa ini yang membuatnya terjebak seperti ini lagi? Tidak mungkin Janice memilih masuk penjara karena itu akan merusak masa depannya. Tapi menjadi pelayan sang CEO juga tidak mungkin. Janice tidak mau lagi karena masa depannya juga hancur setelah setuju menjadi pelayan Edgard waktu itu. Bahkan Janice sangat menyesali keputusannya waktu itu. Lalu bagaimana ini? Jantung Janice sudah memacu begitu kencang dan napasnya pun tersengal, apalagi saat wajah Edgard masih berjarak begitu dekat dengannya. Sontak Janice yang tegang pun melangkah mundur dan memalingkan wajahnya, tidak mau menatap Edgard. "Aku ... aku tidak mau menjadi pelayanmu! Aku ini karyawan di perusahaan, aku tidak mau merendahkan diriku dengan menjadi pelayanmu!" Janice masih berusaha melawan. Edgard pun memicingkan mata mendengarnya. "Tidak mau men
Janice masih berteriak keras saat para pria itu terus menariknya, namun salah satu dari pria itu langsung membentak Janice. "Jangan berteriak dan ikut kami!""Tidak! Kalian siapa? Tolong! Tolong, Pak ojek!" Janice menoleh ke arah Pak ojek sambil menatap penuh harap. Namun, Pak ojek itu sudah gugup sendiri sampai mematung di posisinya. Para pria bertubuh besar itu sama sekali tidak menyentuh tukang ojek itu, bahkan, mengancam tukang ojek atau menyentuh motor itu pun tidak sama sekali. Sudah jelas yang mereka inginkan adalah menangkap Janice dan Janice begitu ketakutan sekarang. Oh, ada apa lagi ini? Mengapa hidupnya mendadak menjadi rumit begini setelah bertemu dengan Edgard. "Siapa kalian? Aku tidak mau masuk! Lepaskan aku!" Janice terus memberontak saat para pria memaksanya masuk ke mobil. "Masuk atau jangan salahkan kami bertindak kasar!" Kedua mata Janice membelalak kaget mendengarnya. "Tidak! Apa yang mau kalian lakukan? Siapa yang menyuruh kalian dan apa salahku?" Janic
"Bagaimana rasanya kembali ke kamar ini, Janice?" Baru saja jantung Janice berdebar kencang saat pintu kamar mendadak dibuka dan sekarang suara lantang Edgard sudah membuat Janice menahan napasnya. Janice membelalak lebar dan tangan yang sedang memegangi ponsel di telinganya pun gemetar hebat sekarang. Edgard masuk ke sana dengan suara lantangnya dan dengan seringaian di bibirnya. Brak!Pintu ditutup lagi dan di kamar itu saat ini hanya ada Edgard dan Janice berdua. Janice makin gemetar dan tanpa bisa dicegah bola matanya berputar mengamati sekelilingnya. Oh, seharusnya Janice menyadarinya sejak tadi kalau ia ada di kamar ini, kamar yang sama seperti enam tahun yang lalu, kamar Edgard. Pantas saja Janice merasa familiar dengan kamar ini tadi tapi sungguh Janice tidak berpikiran sampai sana. Rasanya cat tembok itu berubah warna, meja itu juga sudah bukan kayu coklat seperti dulu. Beberapa perabot terlihat berbeda walaupun letaknya sama. Ah, mengapa Janice tidak menyadarinya se