"Bagaimana rasanya kembali ke kamar ini, Janice?" Baru saja jantung Janice berdebar kencang saat pintu kamar mendadak dibuka dan sekarang suara lantang Edgard sudah membuat Janice menahan napasnya. Janice membelalak lebar dan tangan yang sedang memegangi ponsel di telinganya pun gemetar hebat sekarang. Edgard masuk ke sana dengan suara lantangnya dan dengan seringaian di bibirnya. Brak!Pintu ditutup lagi dan di kamar itu saat ini hanya ada Edgard dan Janice berdua. Janice makin gemetar dan tanpa bisa dicegah bola matanya berputar mengamati sekelilingnya. Oh, seharusnya Janice menyadarinya sejak tadi kalau ia ada di kamar ini, kamar yang sama seperti enam tahun yang lalu, kamar Edgard. Pantas saja Janice merasa familiar dengan kamar ini tadi tapi sungguh Janice tidak berpikiran sampai sana. Rasanya cat tembok itu berubah warna, meja itu juga sudah bukan kayu coklat seperti dulu. Beberapa perabot terlihat berbeda walaupun letaknya sama. Ah, mengapa Janice tidak menyadarinya se
Jantung Janice rasanya sudah mau meloncat keluar sekarang. Pertama ia membuat alasan yang begitu absurd hingga berakhir menjadi boomerang baginya. Dan yang kedua bagaimana ia harus melawan kali ini. Seluruh tubuhnya rasanya sudah lemas karena gemetar. "Kau jangan gila! Jangan gila! Dasar maniak! Mengapa aku harus tidur denganmu hanya untuk membuktikan kalau aku masih perawan!""Kau bukan kekasihku, apalagi calon suamiku! Jadi aku tidak perlu membuktikan apa pun padamu!" pekik Janice dengan suara yang begitu bergetar. Tapi Edgard lagi-lagi hanya menyeringai seolah menertawakan ketakutan Janice. Bahkan Edgard melangkah makin dekat sekarang dan langsung menarik pinggang Janice sampai tubuh mereka pun menempel dengan sempurna. "Mau apa kau?" pekik Janice tertahan. Janice sudah menahan napasnya sambil membelalak dan memundurkan wajahnya. Namun, mendadak Edgard malah mematung di sana menatap wajah cantik Janice dari dekat. Sungguh, Edgard bukan maniak seperti tuduhan Janice. Bahkan
Napas Janice sudah tersengal mendengar ucapan Edgard. Kebencian dan sakit hati sedang bercampur aduk sekarang. Namun, Edgard sama sekali tidak berbelas kasihan padanya. "Wajah yang sama, aroma yang sama, desahan yang sama, apalagi rasa tubuh yang sama persis. Kau tidak bisa membohongiku lagi, Janice!" tegas Edgard lagi. Janice yang mendengarnya pun makin geram karena kenyataan bahwa Edgard sudah menidurinya dua kali.Janice menatap penuh amarah pada Edgard, namun ia langsung memalingkan wajahnya saat Edgard melangkah mendekatinya lagi sambil mengancingkan kemejanya sendiri. Edgard membungkuk hingga wajah mereka sejajar dan menatap Janice lekat-lekat. "Tapi apa kau tidak penasaran akan sesuatu, Janice? Mengapa aku bisa yakin denganmu padahal waktu itu aku buta?" Jantung Janice memacu kencang dan perlahan ia menoleh bertatapan dengan mata Edgard. Benar! Waktu itu Edgard buta. Berkali-kali Janice meyakinkan dirinya kalau Edgard buta dan seharusnya pria itu tidak akan mengenalinya.
Janice begitu syok mendengar ucapan Jefry sampai perlahan ia pun tertawa nanar. "Dasar brengsek! Kalau tidak menginginkan anak, mengapa melakukannya?" "Dan juga, sekarang dia memberiku obat itu lalu ...."Mendadak Janice menghentikan ucapannya dan menggertakkan giginya. Janice ingin sekali mengatakan bagaimana dengan enam tahun yang lalu saat Edgard menodai Janice? Tidak pernahkah pria itu berpikir tentang kemungkinan bahwa Janice akan hamil. Ck, tapi tidak mungkin Janice mengatakannya karena secara tidak langsung itu berarti Janice mengakui kesalahannya sendiri. Walaupun Edgard mengaku sudah pernah melihat Janice dulu, tapi sampai detik ini Janice belum berniat mengakuinya secara langsung. Janice pun mengembuskan napas kesalnya dan berniat melangkah lagi, namun Jefry menahannya. "Hei, Janice! Jangan keras kepala seperti ini! Lebih baik menurutlah dan minumlah obat itu daripada kau hamil! Bayangkan kalau mendadak ada bayi di dalam perutmu, tapi kau belum menikah, akan bagaimana
Janice menggenggam tas selempangnya dengan penuh tekad dan perlahan ia pun naik ke pijakan jendela. Janice menoleh ke bawah dan mempertimbangkan sekali lagi kegilaan yang ia lakukan ini dan ia sempat gentar hingga akhirnya ia terus berjongkok di pijakan jendela itu untuk waktu yang cukup lama.Tanpa ia ketahui, Edgard dan Jefry saat ini sedang melangkah ke kamar Edgard. Setelah menemui Janice tadi, Jefry langsung melaporkan pada Edgard tentang Janice yang menolak tinggal dan menolak minum obatnya sampai Edgard pun merasa kesal. "Biar aku yang memaksanya sendiri, Jefry! Dia tidak akan bisa berkutik kalau bicara denganku!" Dengan cepat, Edgard pun kembali ke kamarnya dan membuka kunci pintunya. Klek!Tepat saat itu, Janice yang bersiap untuk turun pun kaget. "Gawat, ada yang datang! Ada yang datang!" seru Janice sambil langsung saja meloncat turun dengan nekat. "Akkhh!" pekik Janice saat ia mulai beraksi turun dari satu pijakan ke pijakan lain dengan tangan dan kaki yang juga ter
"Mama ....""Mama ...."Calista nampak terus menangis menunggu Janice yang tidak pulang juga padahal hari sudah sangat malam. Tangisan anak itu begitu sedih dan Calista sama sekali tidak mau masuk ke rumah, sedangkan Collin sendiri malah sudah tertidur sejak tadi karena sepertinya anak itu agak tidak enak badan. Nara pun sampai begitu cemas melihat kedua cucunya dan memikirkan Janice yang tidak kunjung pulang juga. Beberapa kali Nara mencoba menelepon Janice lagi namun ponselnya sudah tidak aktif. "Ck, Calista, ayo kita masuk dulu, di sini banyak angin, Nak! Nanti kau bisa masuk angin!" Nara memeluk Calista seolah melindunginya dari angin di luar rumah. Tapi Calista menggeleng sedih dan terus ngotot menunggu di depan rumah. Ada teras kecil di depan rumah kontrakan mereka dan Calista hanya terus duduk di kursi sana dengan tubuh yang gemetar. Nara pun makin panik merasakan tubuh cucunya yang mulai panas. "Aduh, sepertinya kau demam ya! Pantas saja sejak tadi kau begitu rewel, Ca
"Suara apa itu?" Janice terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara-suara berisik dari luar rumah sampai jantungnya pun berdebar tidak terkendali. Tadinya Janice berniat untuk tidak tidur sama sekali karena ia mencemaskan banyak hal, namun rasa kantuk dan lelahnya akhirnya membuat ia tertidur juga. Janice pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang sudah gelap itu dan semua orang pun masih tertidur. "Astaga, aku ketiduran! Jam berapa ini? Apa tidak ada yang datang mengejarku? Lalu bagaimana dengan anak-anak?"Hati dan pikiran Janice pun masih bercabang. Janice begitu panik kalau anak buah Edgard akan mengejarnya sampai ke sini, namun ia juga memikirkan tentang kedua anaknya yang sedang sakit. Janice pun langsung memeriksa kedua anaknya yang untungnya demamnya sudah berkurang dan mereka sudah berkeringat. "Ah, syukurlah, Nak! Mama takut sekali kalau kalian demam ...." Dengan telaten, Janice menyeka keringat kedua anaknya dan menyamankan posisi mereka. Sedangkan Nara
Nara sudah begitu cemas di rumah karena kondisi si kembar bukannya membaik, malah makin parah.Collin dan Calista terus menangis dengan wajah yang pucat dan tidak bisa makan apa-apa karena mereka muntah terus. "Astaga, bagaimana ini? Mereka harus ke dokter atau ke rumah sakit! Demamnya tinggi sekali!" Nara terus mengomel sambil mengompres cucunya. "Mama ... Collin mau Mama ...," ucap Collin sambil sesenggukan. "Calista juga mau Mama ...," timpal Calista dengan begitu sedih. "Iya, Sayang! Oma telepon Mama ya! Sekarang kalian minum air dulu ya, lihat bibir kalian sudah begitu kering!" Nara membantu Collin dan Calista minum air, namun mereka hanya minum sedikit. Sampai Nara pun menjadi makin panik dan terus menelepon Janice. Tapi Janice yang masih ada di atas motor tidak mendengar teleponnya. Entah dering ke berapa kalinya yang bisa didengar Janice malam itu. Ya, perjalanan Janice yang cukup jauh dari rumah kontrakan yang baru kembali ke rumahnya yang sekarang membuat Janice haru