Napas Janice sudah tersengal mendengar ucapan Edgard. Kebencian dan sakit hati sedang bercampur aduk sekarang. Namun, Edgard sama sekali tidak berbelas kasihan padanya. "Wajah yang sama, aroma yang sama, desahan yang sama, apalagi rasa tubuh yang sama persis. Kau tidak bisa membohongiku lagi, Janice!" tegas Edgard lagi. Janice yang mendengarnya pun makin geram karena kenyataan bahwa Edgard sudah menidurinya dua kali.Janice menatap penuh amarah pada Edgard, namun ia langsung memalingkan wajahnya saat Edgard melangkah mendekatinya lagi sambil mengancingkan kemejanya sendiri. Edgard membungkuk hingga wajah mereka sejajar dan menatap Janice lekat-lekat. "Tapi apa kau tidak penasaran akan sesuatu, Janice? Mengapa aku bisa yakin denganmu padahal waktu itu aku buta?" Jantung Janice memacu kencang dan perlahan ia menoleh bertatapan dengan mata Edgard. Benar! Waktu itu Edgard buta. Berkali-kali Janice meyakinkan dirinya kalau Edgard buta dan seharusnya pria itu tidak akan mengenalinya.
Janice begitu syok mendengar ucapan Jefry sampai perlahan ia pun tertawa nanar. "Dasar brengsek! Kalau tidak menginginkan anak, mengapa melakukannya?" "Dan juga, sekarang dia memberiku obat itu lalu ...."Mendadak Janice menghentikan ucapannya dan menggertakkan giginya. Janice ingin sekali mengatakan bagaimana dengan enam tahun yang lalu saat Edgard menodai Janice? Tidak pernahkah pria itu berpikir tentang kemungkinan bahwa Janice akan hamil. Ck, tapi tidak mungkin Janice mengatakannya karena secara tidak langsung itu berarti Janice mengakui kesalahannya sendiri. Walaupun Edgard mengaku sudah pernah melihat Janice dulu, tapi sampai detik ini Janice belum berniat mengakuinya secara langsung. Janice pun mengembuskan napas kesalnya dan berniat melangkah lagi, namun Jefry menahannya. "Hei, Janice! Jangan keras kepala seperti ini! Lebih baik menurutlah dan minumlah obat itu daripada kau hamil! Bayangkan kalau mendadak ada bayi di dalam perutmu, tapi kau belum menikah, akan bagaimana
Janice menggenggam tas selempangnya dengan penuh tekad dan perlahan ia pun naik ke pijakan jendela. Janice menoleh ke bawah dan mempertimbangkan sekali lagi kegilaan yang ia lakukan ini dan ia sempat gentar hingga akhirnya ia terus berjongkok di pijakan jendela itu untuk waktu yang cukup lama.Tanpa ia ketahui, Edgard dan Jefry saat ini sedang melangkah ke kamar Edgard. Setelah menemui Janice tadi, Jefry langsung melaporkan pada Edgard tentang Janice yang menolak tinggal dan menolak minum obatnya sampai Edgard pun merasa kesal. "Biar aku yang memaksanya sendiri, Jefry! Dia tidak akan bisa berkutik kalau bicara denganku!" Dengan cepat, Edgard pun kembali ke kamarnya dan membuka kunci pintunya. Klek!Tepat saat itu, Janice yang bersiap untuk turun pun kaget. "Gawat, ada yang datang! Ada yang datang!" seru Janice sambil langsung saja meloncat turun dengan nekat. "Akkhh!" pekik Janice saat ia mulai beraksi turun dari satu pijakan ke pijakan lain dengan tangan dan kaki yang juga ter
"Mama ....""Mama ...."Calista nampak terus menangis menunggu Janice yang tidak pulang juga padahal hari sudah sangat malam. Tangisan anak itu begitu sedih dan Calista sama sekali tidak mau masuk ke rumah, sedangkan Collin sendiri malah sudah tertidur sejak tadi karena sepertinya anak itu agak tidak enak badan. Nara pun sampai begitu cemas melihat kedua cucunya dan memikirkan Janice yang tidak kunjung pulang juga. Beberapa kali Nara mencoba menelepon Janice lagi namun ponselnya sudah tidak aktif. "Ck, Calista, ayo kita masuk dulu, di sini banyak angin, Nak! Nanti kau bisa masuk angin!" Nara memeluk Calista seolah melindunginya dari angin di luar rumah. Tapi Calista menggeleng sedih dan terus ngotot menunggu di depan rumah. Ada teras kecil di depan rumah kontrakan mereka dan Calista hanya terus duduk di kursi sana dengan tubuh yang gemetar. Nara pun makin panik merasakan tubuh cucunya yang mulai panas. "Aduh, sepertinya kau demam ya! Pantas saja sejak tadi kau begitu rewel, Ca
"Suara apa itu?" Janice terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara-suara berisik dari luar rumah sampai jantungnya pun berdebar tidak terkendali. Tadinya Janice berniat untuk tidak tidur sama sekali karena ia mencemaskan banyak hal, namun rasa kantuk dan lelahnya akhirnya membuat ia tertidur juga. Janice pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang sudah gelap itu dan semua orang pun masih tertidur. "Astaga, aku ketiduran! Jam berapa ini? Apa tidak ada yang datang mengejarku? Lalu bagaimana dengan anak-anak?"Hati dan pikiran Janice pun masih bercabang. Janice begitu panik kalau anak buah Edgard akan mengejarnya sampai ke sini, namun ia juga memikirkan tentang kedua anaknya yang sedang sakit. Janice pun langsung memeriksa kedua anaknya yang untungnya demamnya sudah berkurang dan mereka sudah berkeringat. "Ah, syukurlah, Nak! Mama takut sekali kalau kalian demam ...." Dengan telaten, Janice menyeka keringat kedua anaknya dan menyamankan posisi mereka. Sedangkan Nara
Nara sudah begitu cemas di rumah karena kondisi si kembar bukannya membaik, malah makin parah.Collin dan Calista terus menangis dengan wajah yang pucat dan tidak bisa makan apa-apa karena mereka muntah terus. "Astaga, bagaimana ini? Mereka harus ke dokter atau ke rumah sakit! Demamnya tinggi sekali!" Nara terus mengomel sambil mengompres cucunya. "Mama ... Collin mau Mama ...," ucap Collin sambil sesenggukan. "Calista juga mau Mama ...," timpal Calista dengan begitu sedih. "Iya, Sayang! Oma telepon Mama ya! Sekarang kalian minum air dulu ya, lihat bibir kalian sudah begitu kering!" Nara membantu Collin dan Calista minum air, namun mereka hanya minum sedikit. Sampai Nara pun menjadi makin panik dan terus menelepon Janice. Tapi Janice yang masih ada di atas motor tidak mendengar teleponnya. Entah dering ke berapa kalinya yang bisa didengar Janice malam itu. Ya, perjalanan Janice yang cukup jauh dari rumah kontrakan yang baru kembali ke rumahnya yang sekarang membuat Janice haru
Nara masih berdiri mematung dengan mata yang membelalak melihat dua orang tamu pria tidak dikenal berdiri di depan rumahnya. "Eh, siapa kalian?" tanya Nara sambil memperhatikan penampilan dua orang pria yang sedang memakai kemeja rapinya itu. Nara terus mengerjapkan matanya dan mencoba mengingat di mana ia pernah bertemu pria muda di hadapannya itu karena pria itu nampak familiar. "Ah, selamat malam, Bu!" sapa Jefry dengan senyuman ramahnya. Jefry datang bersama satu pria bertubuh besar yang biasa dipanggil Tito, namun mereka berusaha bersikap baik agar keluarga Janice mau ikut dengannya tanpa paksaan, karena memang perintah Edgard adalah untuk membawa seluruh anggota keluarga Janice. Tapi mengapa sepertinya wanita tua itu sangat familiar ya, entah di mana Jefry pernah melihatnya.Bahkan suara wanita tua itu juga terdengar tidak asing. "Iya, selamat malam, siapa kalian?" tanya Nara lagi dengan tatapan menyelidik dan dengan jantung yang sudah berdebar kencang. "Ah, perkenalkan
"Cepat sedikit, Pak!"Janice terus menepuk bahu tukang ojeknya saat mereka sudah hampir tiba ke rumah Janice. Janice pun terus gelisah dan tidak sabar memikirkan kondisi si kembar, apalagi karena ia sudah menelepon kenalannya tadi, namun tidak diangkat. "Aduh, bagaimana keadaan anak-anak?" gumam Janice sambil mulai mencoba menelepon Nara, namun Nara juga tidak mengangkat teleponnya. "Ck, mengapa tidak diangkat? Ayo, Ibu, angkat! Ah, semoga Ibu sudah membawa mereka ke rumah sakit!"Janice kembali mencoba menelepon Nara, namun Nara tetap tidak mengangkat ponselnya. Tentu saja Nara tidak mengangkatnya karena saat ini Nara sudah membawa si kembar masuk ke UGD. Jefry dan Tito membawa anak-anak ke rumah sakit besar, rumah sakit mahal langganan keluarga Edgard karena memang hanya itu yang mereka tahu. Nara sendiri sudah membelalak melihat rumah sakit yang besar itu lalu makin panik dan ngotot pindah rumah sakit karena ia takut tidak bisa membayar rumah sakitnya. Namun, Jefry meyakinka