Janice menggenggam tas selempangnya dengan penuh tekad dan perlahan ia pun naik ke pijakan jendela. Janice menoleh ke bawah dan mempertimbangkan sekali lagi kegilaan yang ia lakukan ini dan ia sempat gentar hingga akhirnya ia terus berjongkok di pijakan jendela itu untuk waktu yang cukup lama.Tanpa ia ketahui, Edgard dan Jefry saat ini sedang melangkah ke kamar Edgard. Setelah menemui Janice tadi, Jefry langsung melaporkan pada Edgard tentang Janice yang menolak tinggal dan menolak minum obatnya sampai Edgard pun merasa kesal. "Biar aku yang memaksanya sendiri, Jefry! Dia tidak akan bisa berkutik kalau bicara denganku!" Dengan cepat, Edgard pun kembali ke kamarnya dan membuka kunci pintunya. Klek!Tepat saat itu, Janice yang bersiap untuk turun pun kaget. "Gawat, ada yang datang! Ada yang datang!" seru Janice sambil langsung saja meloncat turun dengan nekat. "Akkhh!" pekik Janice saat ia mulai beraksi turun dari satu pijakan ke pijakan lain dengan tangan dan kaki yang juga ter
"Mama ....""Mama ...."Calista nampak terus menangis menunggu Janice yang tidak pulang juga padahal hari sudah sangat malam. Tangisan anak itu begitu sedih dan Calista sama sekali tidak mau masuk ke rumah, sedangkan Collin sendiri malah sudah tertidur sejak tadi karena sepertinya anak itu agak tidak enak badan. Nara pun sampai begitu cemas melihat kedua cucunya dan memikirkan Janice yang tidak kunjung pulang juga. Beberapa kali Nara mencoba menelepon Janice lagi namun ponselnya sudah tidak aktif. "Ck, Calista, ayo kita masuk dulu, di sini banyak angin, Nak! Nanti kau bisa masuk angin!" Nara memeluk Calista seolah melindunginya dari angin di luar rumah. Tapi Calista menggeleng sedih dan terus ngotot menunggu di depan rumah. Ada teras kecil di depan rumah kontrakan mereka dan Calista hanya terus duduk di kursi sana dengan tubuh yang gemetar. Nara pun makin panik merasakan tubuh cucunya yang mulai panas. "Aduh, sepertinya kau demam ya! Pantas saja sejak tadi kau begitu rewel, Ca
"Suara apa itu?" Janice terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara-suara berisik dari luar rumah sampai jantungnya pun berdebar tidak terkendali. Tadinya Janice berniat untuk tidak tidur sama sekali karena ia mencemaskan banyak hal, namun rasa kantuk dan lelahnya akhirnya membuat ia tertidur juga. Janice pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang sudah gelap itu dan semua orang pun masih tertidur. "Astaga, aku ketiduran! Jam berapa ini? Apa tidak ada yang datang mengejarku? Lalu bagaimana dengan anak-anak?"Hati dan pikiran Janice pun masih bercabang. Janice begitu panik kalau anak buah Edgard akan mengejarnya sampai ke sini, namun ia juga memikirkan tentang kedua anaknya yang sedang sakit. Janice pun langsung memeriksa kedua anaknya yang untungnya demamnya sudah berkurang dan mereka sudah berkeringat. "Ah, syukurlah, Nak! Mama takut sekali kalau kalian demam ...." Dengan telaten, Janice menyeka keringat kedua anaknya dan menyamankan posisi mereka. Sedangkan Nara
Nara sudah begitu cemas di rumah karena kondisi si kembar bukannya membaik, malah makin parah.Collin dan Calista terus menangis dengan wajah yang pucat dan tidak bisa makan apa-apa karena mereka muntah terus. "Astaga, bagaimana ini? Mereka harus ke dokter atau ke rumah sakit! Demamnya tinggi sekali!" Nara terus mengomel sambil mengompres cucunya. "Mama ... Collin mau Mama ...," ucap Collin sambil sesenggukan. "Calista juga mau Mama ...," timpal Calista dengan begitu sedih. "Iya, Sayang! Oma telepon Mama ya! Sekarang kalian minum air dulu ya, lihat bibir kalian sudah begitu kering!" Nara membantu Collin dan Calista minum air, namun mereka hanya minum sedikit. Sampai Nara pun menjadi makin panik dan terus menelepon Janice. Tapi Janice yang masih ada di atas motor tidak mendengar teleponnya. Entah dering ke berapa kalinya yang bisa didengar Janice malam itu. Ya, perjalanan Janice yang cukup jauh dari rumah kontrakan yang baru kembali ke rumahnya yang sekarang membuat Janice haru
Nara masih berdiri mematung dengan mata yang membelalak melihat dua orang tamu pria tidak dikenal berdiri di depan rumahnya. "Eh, siapa kalian?" tanya Nara sambil memperhatikan penampilan dua orang pria yang sedang memakai kemeja rapinya itu. Nara terus mengerjapkan matanya dan mencoba mengingat di mana ia pernah bertemu pria muda di hadapannya itu karena pria itu nampak familiar. "Ah, selamat malam, Bu!" sapa Jefry dengan senyuman ramahnya. Jefry datang bersama satu pria bertubuh besar yang biasa dipanggil Tito, namun mereka berusaha bersikap baik agar keluarga Janice mau ikut dengannya tanpa paksaan, karena memang perintah Edgard adalah untuk membawa seluruh anggota keluarga Janice. Tapi mengapa sepertinya wanita tua itu sangat familiar ya, entah di mana Jefry pernah melihatnya.Bahkan suara wanita tua itu juga terdengar tidak asing. "Iya, selamat malam, siapa kalian?" tanya Nara lagi dengan tatapan menyelidik dan dengan jantung yang sudah berdebar kencang. "Ah, perkenalkan
"Cepat sedikit, Pak!"Janice terus menepuk bahu tukang ojeknya saat mereka sudah hampir tiba ke rumah Janice. Janice pun terus gelisah dan tidak sabar memikirkan kondisi si kembar, apalagi karena ia sudah menelepon kenalannya tadi, namun tidak diangkat. "Aduh, bagaimana keadaan anak-anak?" gumam Janice sambil mulai mencoba menelepon Nara, namun Nara juga tidak mengangkat teleponnya. "Ck, mengapa tidak diangkat? Ayo, Ibu, angkat! Ah, semoga Ibu sudah membawa mereka ke rumah sakit!"Janice kembali mencoba menelepon Nara, namun Nara tetap tidak mengangkat ponselnya. Tentu saja Nara tidak mengangkatnya karena saat ini Nara sudah membawa si kembar masuk ke UGD. Jefry dan Tito membawa anak-anak ke rumah sakit besar, rumah sakit mahal langganan keluarga Edgard karena memang hanya itu yang mereka tahu. Nara sendiri sudah membelalak melihat rumah sakit yang besar itu lalu makin panik dan ngotot pindah rumah sakit karena ia takut tidak bisa membayar rumah sakitnya. Namun, Jefry meyakinka
"Kalian tidak salah? Kamar ini ...."Nara memandang takjub pada kamar rawat inap kedua cucunya yang merupakan kamar VIP anak di rumah sakit itu. Ranjangnya serta seluruh fasilitasnya begitu mewah. "Apanya yang salah? Ini kamar rawat inap untuk Collin dan Calista," sahut Jefry begitu yakin. Jefry melihat saat Nara mengisi data diri pasien, jadi ia akhirnya mengetahui nama kedua anak yang familiar itu. Ya, Jefry merasa wajah kedua anak itu begitu familiar, tapi lagi-lagi Jefry tidak ingat di mana ia pernah melihat mereka. Lagipula wajah mereka yang pucat pun membuat Jefry sedikit tidak yakin, takut ia salah mengenali orang. "Eh, tapi ... siapa namamu tadi?" tanya Nara pada Jefry yang sedang tersenyum puas itu. "Ah, namaku Jefry, Bu."Jefry memang akhirnya memperkenalkan dirinya, sebelum mereka membawa si kembar masuk ke kamar ini tadi. "Ah, benar! Jefry, kamar ini mahal sekali, aku dan anakku tidak mampu membayarnya ... ""Astaga, Bu! Bukankah sudah kubilang bosku yang akan menan
"Apa menolong dua orang anak kembar yang sedang sakit itu termasuk rencana jahat, Janice?" Edgard yang begitu bosan menunggu sendirian di dalam mobil pun akhirnya keluar dan menghampiri kamar anak Janice. Edgard pun langsung menyeringai saat melihat dan mendengar ucapan Janice di koridor dan ia pun langsung menyahutinya dengan santai. Janice sendiri yang mendengar suara pun sontak menoleh kaget dan terdiam menatap Edgard, namun rasa kesalnya pada Edgard pun membuatnya melupakan semua kesopanannya dan menantang pria itu. "Dasar kau pria brengsek! Katakan apa yang sedang kau rencanakan sekarang? Aku tahu Jefry datang ke rumahku bukan tanpa maksud kan?""Baiklah, aku berterima kasih karena Jefry sudah membawa anak-anak ke rumah sakit tepat waktu, tapi jangan harap bisa mengusik mereka! Urusanmu itu hanya denganku, jadi jangan menyentuh keluargaku!" ancam Janice kesal. Namun, Edgard hanya tersenyum mendengarnya sambil terus melangkah mendekat sampai ia tiba di hadapan wanita itu. "Ka
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me