"Suara apa itu?" Janice terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara-suara berisik dari luar rumah sampai jantungnya pun berdebar tidak terkendali. Tadinya Janice berniat untuk tidak tidur sama sekali karena ia mencemaskan banyak hal, namun rasa kantuk dan lelahnya akhirnya membuat ia tertidur juga. Janice pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang sudah gelap itu dan semua orang pun masih tertidur. "Astaga, aku ketiduran! Jam berapa ini? Apa tidak ada yang datang mengejarku? Lalu bagaimana dengan anak-anak?"Hati dan pikiran Janice pun masih bercabang. Janice begitu panik kalau anak buah Edgard akan mengejarnya sampai ke sini, namun ia juga memikirkan tentang kedua anaknya yang sedang sakit. Janice pun langsung memeriksa kedua anaknya yang untungnya demamnya sudah berkurang dan mereka sudah berkeringat. "Ah, syukurlah, Nak! Mama takut sekali kalau kalian demam ...." Dengan telaten, Janice menyeka keringat kedua anaknya dan menyamankan posisi mereka. Sedangkan Nara
Nara sudah begitu cemas di rumah karena kondisi si kembar bukannya membaik, malah makin parah.Collin dan Calista terus menangis dengan wajah yang pucat dan tidak bisa makan apa-apa karena mereka muntah terus. "Astaga, bagaimana ini? Mereka harus ke dokter atau ke rumah sakit! Demamnya tinggi sekali!" Nara terus mengomel sambil mengompres cucunya. "Mama ... Collin mau Mama ...," ucap Collin sambil sesenggukan. "Calista juga mau Mama ...," timpal Calista dengan begitu sedih. "Iya, Sayang! Oma telepon Mama ya! Sekarang kalian minum air dulu ya, lihat bibir kalian sudah begitu kering!" Nara membantu Collin dan Calista minum air, namun mereka hanya minum sedikit. Sampai Nara pun menjadi makin panik dan terus menelepon Janice. Tapi Janice yang masih ada di atas motor tidak mendengar teleponnya. Entah dering ke berapa kalinya yang bisa didengar Janice malam itu. Ya, perjalanan Janice yang cukup jauh dari rumah kontrakan yang baru kembali ke rumahnya yang sekarang membuat Janice haru
Nara masih berdiri mematung dengan mata yang membelalak melihat dua orang tamu pria tidak dikenal berdiri di depan rumahnya. "Eh, siapa kalian?" tanya Nara sambil memperhatikan penampilan dua orang pria yang sedang memakai kemeja rapinya itu. Nara terus mengerjapkan matanya dan mencoba mengingat di mana ia pernah bertemu pria muda di hadapannya itu karena pria itu nampak familiar. "Ah, selamat malam, Bu!" sapa Jefry dengan senyuman ramahnya. Jefry datang bersama satu pria bertubuh besar yang biasa dipanggil Tito, namun mereka berusaha bersikap baik agar keluarga Janice mau ikut dengannya tanpa paksaan, karena memang perintah Edgard adalah untuk membawa seluruh anggota keluarga Janice. Tapi mengapa sepertinya wanita tua itu sangat familiar ya, entah di mana Jefry pernah melihatnya.Bahkan suara wanita tua itu juga terdengar tidak asing. "Iya, selamat malam, siapa kalian?" tanya Nara lagi dengan tatapan menyelidik dan dengan jantung yang sudah berdebar kencang. "Ah, perkenalkan
"Cepat sedikit, Pak!"Janice terus menepuk bahu tukang ojeknya saat mereka sudah hampir tiba ke rumah Janice. Janice pun terus gelisah dan tidak sabar memikirkan kondisi si kembar, apalagi karena ia sudah menelepon kenalannya tadi, namun tidak diangkat. "Aduh, bagaimana keadaan anak-anak?" gumam Janice sambil mulai mencoba menelepon Nara, namun Nara juga tidak mengangkat teleponnya. "Ck, mengapa tidak diangkat? Ayo, Ibu, angkat! Ah, semoga Ibu sudah membawa mereka ke rumah sakit!"Janice kembali mencoba menelepon Nara, namun Nara tetap tidak mengangkat ponselnya. Tentu saja Nara tidak mengangkatnya karena saat ini Nara sudah membawa si kembar masuk ke UGD. Jefry dan Tito membawa anak-anak ke rumah sakit besar, rumah sakit mahal langganan keluarga Edgard karena memang hanya itu yang mereka tahu. Nara sendiri sudah membelalak melihat rumah sakit yang besar itu lalu makin panik dan ngotot pindah rumah sakit karena ia takut tidak bisa membayar rumah sakitnya. Namun, Jefry meyakinka
"Kalian tidak salah? Kamar ini ...."Nara memandang takjub pada kamar rawat inap kedua cucunya yang merupakan kamar VIP anak di rumah sakit itu. Ranjangnya serta seluruh fasilitasnya begitu mewah. "Apanya yang salah? Ini kamar rawat inap untuk Collin dan Calista," sahut Jefry begitu yakin. Jefry melihat saat Nara mengisi data diri pasien, jadi ia akhirnya mengetahui nama kedua anak yang familiar itu. Ya, Jefry merasa wajah kedua anak itu begitu familiar, tapi lagi-lagi Jefry tidak ingat di mana ia pernah melihat mereka. Lagipula wajah mereka yang pucat pun membuat Jefry sedikit tidak yakin, takut ia salah mengenali orang. "Eh, tapi ... siapa namamu tadi?" tanya Nara pada Jefry yang sedang tersenyum puas itu. "Ah, namaku Jefry, Bu."Jefry memang akhirnya memperkenalkan dirinya, sebelum mereka membawa si kembar masuk ke kamar ini tadi. "Ah, benar! Jefry, kamar ini mahal sekali, aku dan anakku tidak mampu membayarnya ... ""Astaga, Bu! Bukankah sudah kubilang bosku yang akan menan
"Apa menolong dua orang anak kembar yang sedang sakit itu termasuk rencana jahat, Janice?" Edgard yang begitu bosan menunggu sendirian di dalam mobil pun akhirnya keluar dan menghampiri kamar anak Janice. Edgard pun langsung menyeringai saat melihat dan mendengar ucapan Janice di koridor dan ia pun langsung menyahutinya dengan santai. Janice sendiri yang mendengar suara pun sontak menoleh kaget dan terdiam menatap Edgard, namun rasa kesalnya pada Edgard pun membuatnya melupakan semua kesopanannya dan menantang pria itu. "Dasar kau pria brengsek! Katakan apa yang sedang kau rencanakan sekarang? Aku tahu Jefry datang ke rumahku bukan tanpa maksud kan?""Baiklah, aku berterima kasih karena Jefry sudah membawa anak-anak ke rumah sakit tepat waktu, tapi jangan harap bisa mengusik mereka! Urusanmu itu hanya denganku, jadi jangan menyentuh keluargaku!" ancam Janice kesal. Namun, Edgard hanya tersenyum mendengarnya sambil terus melangkah mendekat sampai ia tiba di hadapan wanita itu. "Ka
"Bagaimana? Kau sudah bertemu dengan bosmu, Janice?" Janice yang barusan masuk kembali ke kamar hanya bisa memaksakan senyumnya mendengar pertanyaan ibunya."Itu ... aku sudah mengucapkan terima kasih tapi karena dia terlalu sibuk, dia pulang duluan.""Astaga, Ibu tahu orang kaya pasti sibuk. Tapi bosmu itu begitu baik sampai mau membantu anak-anak." Nara pun menceritakan semuanya tadi dan bagaimana ia sudah menolak kamar VIP, tapi Jefry memaksanya atas perintah bosnya. Janice yang mendengar ceritanya pun kembali memaksakan senyumnya. "Ibu, dia ... baiklah, dia sudah menyewa kamar yang terbaik untuk anak-anak tapi aku sungkan, bagaimana kalau besok kita pindah ke kamar biasa saja?" kata Janice ragu. Janice masih terus kepikiran dengan ancaman Edgard tadi, tapi Janice sendiri juga sudah tidak punya uang untuk membayar rumah sakit karena uangnya sudah habis untuk membayar kontrakan yang baru tadi."Eh, kalau memang itu maumu, kita pindahkan saja tidak masalah. Sebenarnya Ibu maunya
Edgard masih mengernyit mendengar penjelasan dokter tentang Collin dan Calista dan ia pun mendengarkan dengan serius sampai bagian Calista membutuhkan donor darah. Sontak saja tatapan Edgard kembali terarah pada anak perempuan yang terlihat lemah itu dan hati Edgard pun rasanya kembali tertusuk sesuatu, walaupun Edgard masih tidak tahu rasa apa itu. "Err, Bos! Kasihan anak itu, sampai harus transfusi darah," bisik Jefry sambil menatap Calista dengan iba. Namun, Edgard hanya diam dan tidak menanggapi Jefry. Edgard pun tetap menatap Collin dan Calista bergantian dan masih mencoba mencari kemiripan di antara keduanya saat tiba-tiba Janice memekik keras sambil berlari ke arahnya. Janice memeluk lengan Edgard sampai Edgard benar-benar kaget dibuatnya. Bukannya Edgard mau bersikap sok suci. Edgard sendiri sudah meniduri wanita itu dan walaupun bibir Edgard terus menghina Janice, tidak dapat dipungkiri kalau ia sangat menikmati aktivitasnya dengan wanita itu. Tapi untuk disentuh secar