Nada suara Edgard yang keras dan mengintimidasi membuat Janice makin gemetar ketakutan.
Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice begitu takut dikenali oleh Edgard dan disiksa lagi seperti dulu. "Kau tidak punya telinga, hah? Aku bilang angkat kepalamu sekarang dan lihat aku! Jangan membuatku sampai memaksamu!" bentak Edgard lagi yang membuat Janice seketika menahan napasnya. Otak Janice terus berpikir keras sampai ia begitu pusing dan hampir pingsan. Namun, satu pemikiran mendadak muncul di otaknya. Bukankah Edgard masih buta saat bertemu Janice dulu? Bukankah itu berarti Edgard tidak pernah melihat wajah Janice? Ya, untuk apa Janice takut? Lagipula waktu itu Janice memakai nama samaran, dan penampilannya pun masih seperti remaja alay dengan rambut berpony dan terbakar karena hasil bleaching yang gagal. Tentu saja! Bahkan orang yang tidak buta pun tidak mungkin mengingat Janice apalagi orang yang buta. "Sialan, kau ...." Edgard menggeram kesal. Namun, belum sempat Edgard menyelesaikan ucapannya, Janice sudah mendongak menatap Edgard dengan tawa yang begitu lebar, berusaha membuat wajahnya terlihat berbeda. "Maafkan aku, Pak! Aku ... sedang tidak enak badan dan saat aku mendongak, aku akan pusing sampai mual." Seketika Janice kembali menunduk dan memegangi dahinya. "Aku harus menunduk agar aku tidak muntah, Pak," kata Janice lagi dengan suara yang bergetar hebat. Edgard dan Jefry yang menatap Janice pun nampak saling melirik. "Siapa namamu dan kau dari divisi apa? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya," tanya Jefry memastikan. "Eh, itu ... aku dari admin produksi ...." "Oh, apa kau karyawan baru?" tanya Jefry lagi. "Itu ... iya ...." "Lalu siapa namamu?" "Eh, nama?" Janice terdiam dengan gugup dan sama sekali tidak yakin harus menyebutkan namanya atau tidak. Dan Edgard yang tidak sabar pun kembali mengumpat. "Sial, entah bagaimana karyawan sepertimu bisa diterima bekerja! Sekarang lihat aku dan katakan siapa namamu! Apa itu begitu sulit?" bentak Edgard lagi. Janice pun segera mendongak lagi menatap Edgard. "Janice! Namaku Janice! Tapi aku ... mau muntah! Permisi! Huwek!" Janice segera membalikkan tubuhnya dan berakting mau muntah lalu secepat itu ia kembali ke toilet lagi. "Astaga, aku tidak bisa! Kurasa aku tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini! Ah, sial! Begitu sulitnya aku diterima kerja di sini tapi aku sungguh tidak bisa," lirih Janice yang hampir menangis ketakutan. Sementara Edgard dan Jefry yang ditinggalkan pun kembali terdiam. "Apa ini, Jefry? Wanita itu benar-benar karyawan yang sangat tidak sopan," seru Edgard geram. Jefry yang mendengarnya sampai salah tingkah. "Err, iya, Bos. Maafkan aku! Tapi kurasa ini hanya karena dia sedang tidak enak badan saja. Jangan dimasukkan ke hati! Kalau dia sampai muntah di depan kita kan lebih tidak sopan lagi. Mungkin itu sebabnya dia langsung lari begitu saja." Jefry mencoba menenangkan Edgard. Bukan untuk membela Janice karena ia sendiri tidak mengenal Janice, tapi agar Edgard tidak marah sampai memecat orang saja. Edgard yang mendengar ucapan Jefry pun memicingkan matanya berpikir, namun akhirnya ia pun mengangguk dan segera pergi dari sana. Cukup lama Janice mengurung dirinya di toilet dan menenangkan dirinya, sebelum ia mengintip keluar lalu segera berlari ke ruang HRD untuk menanyakan tentang kontrak kerjanya. "Apa? Mengapa mendadak kau bertanya tentang kontrak kerja? Kalian kan sudah menandatanganinya waktu itu sebelum kalian resmi bekerja hari ini," seru seorang manager HRD. "Iya, aku tahu, Bu..Aku hanya bertanya saja, kira-kira, bagaimana kalau aku mengundurkan diri dari perusahaan ini ...," kata Janice ragu. "Kau mau mengundurkan diri? Ini hari pertamamu bekerja, Janice..Yang benar saja! Kau pikir perusahaan ini bisa dijadikan bahan bercanda, hah? Tidak sedikit waktu kami yang terbuang untuk melakukan interview dan test, menyeleksi begitu banyak karyawan dan sekarang kau mau mengundurkan diri di hari pertamamu bekerja?" "Eh, bukan begitu maksudku, Bu. Aku hanya ... bertanya ...." "Tidak bisa! Kontrak ini berlaku satu tahun dan kau tidak bisa mundur atau kau harus membayar denda untuk pelanggaran kontrak, bahkan kami bisa membawanya ke ranah hukum kalau kau sampai macam-macam!" ancam manager itu dengan begitu galak. Janice menelan salivanya ketakutan. Mendengar kata denda saja ia sudah gemetar apalagi hukum. Ia benar-benar tidak mau berakhir seperti dulu lagi. "Hmm, baiklah kalau begitu, Bu. Maafkan aku! Anggap saja aku tidak pernah bertanya, aku permisi dulu!" Dengan cepat, Janice pergi dari divisi HRD dan kembali mengurung diri di toilet di dekat sana. "Bagaimana ini? Oh, aku harus bagaimana sekarang? Sekalipun Edgard mungkin tidak mengenaliku, tapi jantungku benar-benar tidak aman di sini." "Tapi aku juga tidak bisa membayar denda pelanggaran kontraknya. Kalau aku membayarnya pun, aku harus mencari pekerjaan di mana lagi?" "Oh, aku benar-benar tidak mau kembali bekerja serabutan dengan penghasilan tidak jelas seperti dulu, aku tidak akan bisa membayar uang sekolah anak-anak dengan gaji sedikit seperti itu." Janice kembali terdiam dengan melow sambil membayangkan kedua anaknya. "Oh, Collin ... Calista ... Mama harus bagaimana?" lirih Janice putus asa. Di sisi lain, Edgard dan Jefry akhirnya kembali ke ruang kerja Edgard setelah mereka selesai berkunjung ke beberapa divisi tadi. Edgard pun duduk di kursinya sambil terus mengernyit mengingat wanita aneh tadi yang entah mengapa sepertinya Edgard pernah melihatnya. "Siapa nama wanita itu tadi, Jefry?" tanya Edgard tiba-tiba pada Jefry yang sudah duduk di hadapannya. "Wanita yang mana, Bos?" tanya Jefry balik yang belum mengerti siapa yang Edgard maksud. "Wanita aneh yang penyakitan tadi." "Oh, Janice. Dia karyawan baru di admin produksi. Sepertinya dia baru masuk hari ini." Edgard mengangguk, namun otaknya tidak berhenti berpikir. "Janice. Apa kau tidak merasa sedikit familiar dengannya, Jefry?" "Eh, familiar? Tidak, Bos. Aku tidak ingat pernah melihatnya." "Benarkah? Kurasa ... wajah itu dan suara itu ... seperti aku pernah mendengarnya di mana ...." Edgard terdiam dengan dahi yang terus berkerut. Jefry sendiri hanya menaikkan alisnya lalu ikut mengingat tentang Janice, namun Jefry tetap tidak mengingat apa-apa. "Apa kau tidak salah orang, Bos? Kurasa wajah itu malah asing bagiku. Sungguh kalau dia ada hubungannya denganmu, pasti aku juga pernah melihatnya kan?" "Entahlah, Jefry! Aku masih tidak yakin tapi kau tahu aku tidak pernah salah kan? Aku pasti pernah bertemu dengannya," tegas Edgard lagi. Edgard pun terus berusaha mengingat tentang Janice, namun ia tidak berhasil mengingatnya sampai akhirnya ia pun putus asa dan berdecak kesal. "Ck, sial, Jefry! Aku penasaran dengan wanita itu! Janice! Dan aku mau kau mencari tahu semua tentang wanita itu!" **"Mama sudah pulang, Sayang!" sapa Janice begitu ia sampai ke rumahnya sore itu. "Yeay, Mama pulang!""Mama pulang!" Collin dan Calista melompat kegirangan melihat Janice pulang. Calista berlari duluan memeluk Janice, sedangkan Collin menyusul dengan mulut yang belepotan. "Astaga, Collin, apa yang kau makan? Umurmu sudah lima tahun, tapi kau masih belepotan saat makan!""Collin lagi makan keju, Mama!" "Haha, iya, ayolah!" Janice memeluk Collin dan Calista masuk bersama ke dalam rumah. "Mama bawa apa ini?" Calista menarik kotak yang dibawa oleh Janice. "Itu roti untuk kalian, Sayang.""Wah, roti isi daging sama keju ya, Mama? Asik! Mama sudah kerja dan sudah punya banyak uang! Jadi kita bisa makan roti isi daging sama keju setiap hari! Asik!" pekik Calista senang. "Jangan setiap hari, Sayang. Sesekali saja ya." Janice menemani si kembar ke meja makan dan si kembar pun tidak berhenti memekik senang. Janice pun membantu membersihkan mulut Collin, sebelum mengeluarkan roti untuk
Sret!Suara robekan kain terdengar begitu mengerikan di telinga Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!"Janice terus terbatuk dan berusaha menepis tangan pria yang sedang menyentuhnya itu. "Tidak, jangan lakukan itu ... aku benar-benar tidak tahu ...." Janice mulai menangis dan memohon, namun pria itu tidak berhenti sedikit pun. Pria itu menyentuh seluruh tubuh Janice sampai ke bagian sensitifnya dan membuat tubuh Janice bergetar tidak karuan, bukan menikmati, namun ketakutan dan kesakitan karena pria itu meremat kulit Janice dengan kasar. Janice merasa jijik saat tangan itu terus membelai tubuhnya, namun ia tidak punya tenaga untuk melawannya lagi. Sampai saat pria itu menempatkan dirinya dan menerobos masuk, mengabaikan jeritan lirih Janice yang begitu kesakitan dan tersiksa. Jantung Janice pun sudah berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dalam tidurnya. Kaki dan tangan Janice mengepal sekuat tenaga saat alam mimpinya sedang menyiksanya dengan mengulang kejadian mal
"Namanya Janice Velma. Umurnya 29 tahun dan dia bekerja di admin produksi. Status belum menikah dan pengalaman kerja sebelumnya di luar kota.""Tidak ada informasi tentang kehidupan pribadinya tapi ... nama Janice Velma pernah terdaftar sebagai karyawan finance di Orion Group enam tahun yang lalu."Mata Edgard pun membelalak mendengarnya. Orion Group adalah perusahaan milik keluarga Edgard yang masih berdiri sampai sekarang. Namun, dalam beberapa tahun ini, Edgard mendirikan perusahaan baru yang tidak kalah sukses, Emerald Group. "Di Orion? Dia pernah bekerja di Orion? Kau yakin itu Janice yang sama?""Hmm, namanya sama, Bos. Tapi fotonya ... tidak ada arsip."Edgard mengeraskan rahangnya mendengar hal yang tidak ia sukai itu."Lalu dia keluar sendiri atau dipecat? Kau tahu kan kalau ada karyawan yang sudah keluar dari salah satu perusahaanku, maka aku tidak akan mengijinkan dia bekerja lagi di perusahaanku yang lain," seru Edgard tegas. "Ah, iya, Bos. Pasti dia belum tahu kalau Or
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan dan matanya membelalak mendengar ucapan Edgard, apalagi dari jarak yang begitu dekat. Rasanya kenangan buruk itu terus berputar di otaknya dan Janice mulai takut kalau Edgard benar-benar mengenalinya. Edgard sendiri menatap Janice dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, ada amarah di sana namun juga ada banyak tanya. Sebenarnya Edgard bukanlah tipe pria yang tidak ada kerjaan sampai rela membuang waktu untuk hal tidak berguna seperti menakuti karyawan baru. Tapi Edgard selalu melakukan semua berdasarkan perasaannya, yang mana selama ini hampir tidak pernah salah. Edgard yakin ia pernah bertemu Janice karena wanita itu sangat familiar. Suaranya, raut wajahnya, matanya yang membelalak, bahkan aroma yang terasa familiar, tidak menusuk namun lembut, dan Edgard pernah merasakannya, walau ia tidak ingat kapan. Yang jelas, Janice ini bukan karyawan yang bisa diabaikan sama sekali. Janice sendiri menelan salivanya dan akhirnya berani berbi
"Ada apa, Sayang? Mama sedang kerja," bisik Janice di panggilan video call dengan si kembar. Setelah keluar dari ruangan Edgard tadi, Janice pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri. Wina yang melihatnya pun sudah begitu kepo dan menggeser kursinya mendekat. Namun, belum sempat Janice menceritakan apa pun, mendadak ponselnya berbunyi, yang ternyata telepon dari ponsel Nara, ibunya. Janice pun langsung berlari ke toilet terdekat karena sudah pasti si kembar yang menelepon. Janice sendiri masuk ke perusahaan ini dengan status palsu yaitu single dan belum menikah. Tentu saja itu tidak sepenuhnya palsu karena memang Janice single dan belum menikah, tapi Janice sudah punya dua anak. Semua perusahaan tempatnya melamar pekerjaan memberikan syarat bagi karyawan baru yaitu harus single karena perusahaan tidak mau karyawannya sering ijin dengan alasan anak. Karena itulah, Janice terpaksa menyembunyikan anaknya juga. "Collin merindukan Mama ....""Calista juga ... hehe ...."Kedua anak
"Hei, kau sudah selesai menelepon, Janice? Mengapa kau lama sekali?"Wina terus mengomel karena Janice begitu lama meninggalkannya. Tentu saja lama karena Janice sempat pergi ke HRD dulu tadi, walaupun Janice tidak mungkin menceritakannya pada Wina.Setelah dari HRD pun, Janice sempat kembali ke toilet untuk menenangkan dirinya yang putus asa, sebelum ia memutuskan kembali ke ruangannya sendiri. "Iya, sudah selesai.""Siapa sih yang menelepon? Mengapa kau harus bersembunyi di toilet?""Eh, itu ibuku, hanya saja dia menelepon dengan video call tadi, karena itu aku cepat-cepat keluar, takut suaranya mengganggu.""Oh, lalu apa ada masalah penting?""Tidak ada kok, tidak ada masalah.""Ah, syukurlah kalau begitu, ayo lihat laporan ini, barusan gudang memberikan laporan." "Ah, baiklah."Janice dan Wina pun bekerja bersama mempelajari laporan dari gudang sampai siang menjelang. Mereka makan siang bersama dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka tanpa ada panggilan lagi dari siapa pun dan
"Berhenti di sini saja, Pak! Terima kasih!" Janice meminta ojeknya berhenti di depan supermarket dan ia pun berlari masuk ke sana. Janice sempat berkeliling mencari ibu dan anaknya, namun ia tidak kunjung menemukannya hingga akhirnya Janice pun memilih untuk meneleponnya saja."Halo, Ibu di mana? Aku sudah di supermarket.""Oh, Ibu masih bersama Calista, kami mencari Collin yang mendadak lari sendiri.""Eh, lari ke mana?""Entahlah, biasa anakmu itu suka sekali berlari di tempat yang besar.""Astaga, mungkin ke tempat keju, Ibu!""Ah, kau benar juga! Biar Ibu yang ke sana, kau menyusul saja ke sana nanti!""Eh, iya, Ibu." Janice menutup teleponnya dan langsung melangkah ke koridor tempat keju. Namun, baru berjalan beberapa langkah, mendadak Janice melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Jefry, asisten Edgard di kantor.Sontak Janice langsung memutar balik langkahnya dan berjalan cepat menjauh. Janice sempat mengamati pria itu dari kejauahan dan itu benar Jefry. "Astaga, men
"Sudah semua, Bos? Wah, antrinya panjang sekali! Aku akan mengantri di sana saja! Eh, di sini lebih pendek antriannya!"Jefry mendorong trollynya ke kanan lalu ke kiri sampai membuat Edgard berdecak kesal saat mengikuti Jefry. "Berikan kunci mobilnya, aku akan menunggu di mobil saja, kalau kau sudah selesai, cepat susul aku!""Eh, sebentar, Bos!" Jefry mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan Edgard pun masih berdiri menunggu saat tiba-tiba suara anak kecil terdengar menyapanya. "Uncle, kita bertemu lagi!" pekik Collin yang tertawa melihat pria dewasa yang tadi ia temui di tempat keju. Collin pun melirik trolly Edgard yang didorong oleh Jefry dan berseru keras. "Wah, ini trolly milik Uncle? Wah, Uncle beli keju banyak sekali!" Tatapan mata Collin pun nampak berbinar-binar. Edgard yang tidak menyangka bertemu dengan anak itu lagi hanya mengangguk singkat. "Aku juga suka keju. Apa kau benar-benar hanya membeli satu kotak?""Eh, iya, hanya satu kotak sama susu ...," sahut Coll