"Mama sudah pulang, Sayang!" sapa Janice begitu ia sampai ke rumahnya sore itu.
"Yeay, Mama pulang!" "Mama pulang!" Collin dan Calista melompat kegirangan melihat Janice pulang. Calista berlari duluan memeluk Janice, sedangkan Collin menyusul dengan mulut yang belepotan. "Astaga, Collin, apa yang kau makan? Umurmu sudah lima tahun, tapi kau masih belepotan saat makan!" "Collin lagi makan keju, Mama!" "Haha, iya, ayolah!" Janice memeluk Collin dan Calista masuk bersama ke dalam rumah. "Mama bawa apa ini?" Calista menarik kotak yang dibawa oleh Janice. "Itu roti untuk kalian, Sayang." "Wah, roti isi daging sama keju ya, Mama? Asik! Mama sudah kerja dan sudah punya banyak uang! Jadi kita bisa makan roti isi daging sama keju setiap hari! Asik!" pekik Calista senang. "Jangan setiap hari, Sayang. Sesekali saja ya." Janice menemani si kembar ke meja makan dan si kembar pun tidak berhenti memekik senang. Janice pun membantu membersihkan mulut Collin, sebelum mengeluarkan roti untuk si kembar. Roti dengan isian daging dan keju, itu adalah makanan favorit si kembar. Hampir setiap hari si kembar akan meminta roti yang sama. Sekalipun saat si kembar sedang sakit dan tidak berselera makan, mereka tidak akan pernah menolak roti dengan isian daging dan keju. Selain itu, si kembar juga menyukai semua jenis keju, menyukai pizza dengan daging dan keju, dan semua olahan keju. Keju, keju, dan keju, apa pun itu yang ada daging dan keju. Padahal Janice sendiri tidak terlalu menyukai keju. Yang jelas si kembar mempunyai selera yang cukup mahal bagi Janice sampai Janice tidak bisa sering-sering menurutinya. "Makan pelan-pelan, Sayang! Astaga, nanti belepotan lagi!" seru Janice saat melihat Collin dan Calista mulai berebut. Nara sendiri yang sedang membersihkan sisa keju milik Collin tadi pun hanya berdecak melihatnya. "Apa yang kau beli, Janice?" "Roti kesukaan anak-anak." "Astaga, roti itu lagi! Jadi bagaimana hari pertamamu bekerja, Janice?" tanya Nara yang sudah duduk juga di meja makan. Janice terdiam sejenak mendengarnya karena mengingat hari pertamanya bekerja membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Begitu banyak hal yang membuatnya syok sampai ia tidak tega menceritakannya pada Nara. Walaupun ibunya itu mengetahui apa yang terjadi pada Janice enam tahun yang lalu, tapi kehidupan mereka sudah baik-baik saja selama enam tahun ini. Tentu saja butuh perjuangan keras untuk lepas dari bayang-bayang mengerikan dan rasa takut itu. Dan butuh perjuangan yang tidak mudah juga mengurus si kembar sampai sebesar ini. Rasanya semua keberhasilan dan kebahagiaan ini tidak tega Janice rusak dengan menceritakan ketegangan baru yang tidak pernah disangkanya itu. Janice pun mengembuskan napas panjang dan duduk di kursi di hadapan Nara. "Ah, itu ... baik-baik saja, Ibu. Aku bekerja sebagai admin produksi jadi nanti aku akan lebih banyak berhubungan dengan orang produksi. Tadi aku sudah berkenalan dengan mereka ... aku juga punya teman yang baik namanya Wina, dia di divisi yang sama denganku." Janice menceritakannya dengan cepat. "Apa kau merasa betah di sana, Janice?" "Eh, itu ... baru hari pertama jadi aku tidak bisa memastikannya ... tapi ...." Janice menggigit bibir bawahnya dan memberanikan dirinya menanyakan hal yang begitu absurd ini. "Ibu, kalau seandainya aku tidak betah hingga aku mengundurkan diri bagaimana?" "Apa? Baru hari pertama bekerja tapi kau sudah berpikir untuk mengundurkan diri!" "Ah, bukan begitu, Ibu. Aku hanya asal bicara. Lagipula bukankah Ibu yang tadi bertanya aku betah atau tidak!" Janice nampak gugup sekarang. Nara pun hanya menatap Janice dan mengangguk. "Kau benar! Ibu yang bertanya! Hmm, sebenarnya kalau memang kau tidak betah ya keluar saja, tapi bukankah perusahaannya besar dan gajinya juga bagus, selama masih bisa, Ibu rasa kau harus mengalah dan beradaptasi, Janice." "Kau ingat kau punya tanggungan kan?" Nara mengedikkan kepala ke arah si kembar. "Ibu yang sudah tua ini boleh makan hanya sekali saja dalam satu hari tapi anak-anak tidak boleh, Janice." Mata Janice langsung berkaca-kaca mendengarnya. "Ibu ini bicara apa? Bagaimana mungkin aku membiarkan Ibu makan sekali saja dalam sehari! Jangan gila! Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu dan anak-anak!" "Ah, baiklah, baiklah! Ibu tidak bicara lagi! Intinya, selagi kau diberi kesempatan bekerja ya bekerja saja, berusahalah, apalagi ini baru awal kan? Kalau kau merasa tidak betah, mungkin itu hanya karena kau belum terbiasa. Pikirkan anak-anak saja dan kau pasti akan kembali bersemangat, Janice!" Janice hanya bisa terdiam mendengar ucapan bijak dari ibunya itu. Tentu saja! Tentu saja Janice akan berusaha demi anak-anaknya. Hanya saja, masalah yang ia hadapi sekarang ini cukup pelik sampai membuatnya sesak napas. Janice menatap ibunya sambil memaksakan senyumnya, berusaha terlihat senang. Nara sendiri pun tersenyum sebelum ia menoleh ke arah si kembar yang sedang tertawa senang sambil menyantap rotinya. "Astaga, mereka itu benar-benar pemakan daging sejati! Padahal kita ini bisa dibilang hampir vegetarian, kita jarang sekali makan ayam dan daging-dagingan." Nara tertawa melihat cucunya. Janice pun ikut menoleh dan mendadak ia merasa bahwa selera makan anak-anaknya ini pasti menurun dari Papa mereka. Ya, selera mereka sangat berbeda dengan Janice maupun Nara. Pasti mereka memiliki selera yang sama dengan Papa mereka, Edgard William yang kaya itu. Oh, bahkan mengingat namanya saja membuat Janice bergidik ngeri. Tapi dugaan Janice sangat tepat karena malam itu Edgard juga sedang menunggu pesanannya datang di sebuah restoran mewah. Lantunan musik mengalun begitu merdu di restoran itu dan Edgard duduk berdua bersama Jefry di sana. Restoran itu merupakan restoran favorit Edgard karena di restoran itu juga menyediakan croissant yang sangat Edgard sukai. Bahkan Edgard sudah mempunyai ruang VIP khusus di sana dan pihak restoran juga sudah memahami kesukaan Edgard. "Ah, pesanannya datang, Bos! Croissant istimewa dengan isian daging dan ekstra keju, seperti biasa. Ini dua biji untukmu dan malam ini aku akan makan steak." Jefry segera menyantap steaknya dengan lahap, sedangkan Edgard langsung memotong croissantnya dan memakannya sesuap. "Ini croissant yang paling enak yang pernah kumakan, Jefry," puji Edgard sesaat sebelum ia mengernyit. "Tapi apa kau yakin ini sudah ekstra keju, Jefry? Mengapa kejunya hanya sedikit?" "Eh, bukankah setiap hari mereka membuat croissant yang sama? Itu sudah ekstra keju, sama seperti biasanya." "Tidak, tidak! Ini tidak seperti biasa. Kejunya sedikit sekali. Apa mereka kehabisan keju, hah? Apa mereka tidak punya uang untuk membeli keju? Mengecewakan sekali!" Tiba-tiba Edgard membanting pisau dan garpunya ke atas piringnya dengan geram. Klontang! "Aku mau yang ekstra keju! Suruh mereka menyiapkan lagi yang ekstra keju untukku sekarang, Jefry!" "Eh, tapi, Bos! Bagaimana caranya membuat croissant sekarang juga, Bos?" "Aku tidak peduli! Itu masalah mereka! Suruh mereka membuat pesananku sekarang atau aku bisa menutup restoran ini besok!" bentak Edgard sambil menggebrak mejanya penuh amarah. **Sret!Suara robekan kain terdengar begitu mengerikan di telinga Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!"Janice terus terbatuk dan berusaha menepis tangan pria yang sedang menyentuhnya itu. "Tidak, jangan lakukan itu ... aku benar-benar tidak tahu ...." Janice mulai menangis dan memohon, namun pria itu tidak berhenti sedikit pun. Pria itu menyentuh seluruh tubuh Janice sampai ke bagian sensitifnya dan membuat tubuh Janice bergetar tidak karuan, bukan menikmati, namun ketakutan dan kesakitan karena pria itu meremat kulit Janice dengan kasar. Janice merasa jijik saat tangan itu terus membelai tubuhnya, namun ia tidak punya tenaga untuk melawannya lagi. Sampai saat pria itu menempatkan dirinya dan menerobos masuk, mengabaikan jeritan lirih Janice yang begitu kesakitan dan tersiksa. Jantung Janice pun sudah berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dalam tidurnya. Kaki dan tangan Janice mengepal sekuat tenaga saat alam mimpinya sedang menyiksanya dengan mengulang kejadian mal
"Namanya Janice Velma. Umurnya 29 tahun dan dia bekerja di admin produksi. Status belum menikah dan pengalaman kerja sebelumnya di luar kota.""Tidak ada informasi tentang kehidupan pribadinya tapi ... nama Janice Velma pernah terdaftar sebagai karyawan finance di Orion Group enam tahun yang lalu."Mata Edgard pun membelalak mendengarnya. Orion Group adalah perusahaan milik keluarga Edgard yang masih berdiri sampai sekarang. Namun, dalam beberapa tahun ini, Edgard mendirikan perusahaan baru yang tidak kalah sukses, Emerald Group. "Di Orion? Dia pernah bekerja di Orion? Kau yakin itu Janice yang sama?""Hmm, namanya sama, Bos. Tapi fotonya ... tidak ada arsip."Edgard mengeraskan rahangnya mendengar hal yang tidak ia sukai itu."Lalu dia keluar sendiri atau dipecat? Kau tahu kan kalau ada karyawan yang sudah keluar dari salah satu perusahaanku, maka aku tidak akan mengijinkan dia bekerja lagi di perusahaanku yang lain," seru Edgard tegas. "Ah, iya, Bos. Pasti dia belum tahu kalau Or
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan dan matanya membelalak mendengar ucapan Edgard, apalagi dari jarak yang begitu dekat. Rasanya kenangan buruk itu terus berputar di otaknya dan Janice mulai takut kalau Edgard benar-benar mengenalinya. Edgard sendiri menatap Janice dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, ada amarah di sana namun juga ada banyak tanya. Sebenarnya Edgard bukanlah tipe pria yang tidak ada kerjaan sampai rela membuang waktu untuk hal tidak berguna seperti menakuti karyawan baru. Tapi Edgard selalu melakukan semua berdasarkan perasaannya, yang mana selama ini hampir tidak pernah salah. Edgard yakin ia pernah bertemu Janice karena wanita itu sangat familiar. Suaranya, raut wajahnya, matanya yang membelalak, bahkan aroma yang terasa familiar, tidak menusuk namun lembut, dan Edgard pernah merasakannya, walau ia tidak ingat kapan. Yang jelas, Janice ini bukan karyawan yang bisa diabaikan sama sekali. Janice sendiri menelan salivanya dan akhirnya berani berbi
"Ada apa, Sayang? Mama sedang kerja," bisik Janice di panggilan video call dengan si kembar. Setelah keluar dari ruangan Edgard tadi, Janice pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri. Wina yang melihatnya pun sudah begitu kepo dan menggeser kursinya mendekat. Namun, belum sempat Janice menceritakan apa pun, mendadak ponselnya berbunyi, yang ternyata telepon dari ponsel Nara, ibunya. Janice pun langsung berlari ke toilet terdekat karena sudah pasti si kembar yang menelepon. Janice sendiri masuk ke perusahaan ini dengan status palsu yaitu single dan belum menikah. Tentu saja itu tidak sepenuhnya palsu karena memang Janice single dan belum menikah, tapi Janice sudah punya dua anak. Semua perusahaan tempatnya melamar pekerjaan memberikan syarat bagi karyawan baru yaitu harus single karena perusahaan tidak mau karyawannya sering ijin dengan alasan anak. Karena itulah, Janice terpaksa menyembunyikan anaknya juga. "Collin merindukan Mama ....""Calista juga ... hehe ...."Kedua anak
"Hei, kau sudah selesai menelepon, Janice? Mengapa kau lama sekali?"Wina terus mengomel karena Janice begitu lama meninggalkannya. Tentu saja lama karena Janice sempat pergi ke HRD dulu tadi, walaupun Janice tidak mungkin menceritakannya pada Wina.Setelah dari HRD pun, Janice sempat kembali ke toilet untuk menenangkan dirinya yang putus asa, sebelum ia memutuskan kembali ke ruangannya sendiri. "Iya, sudah selesai.""Siapa sih yang menelepon? Mengapa kau harus bersembunyi di toilet?""Eh, itu ibuku, hanya saja dia menelepon dengan video call tadi, karena itu aku cepat-cepat keluar, takut suaranya mengganggu.""Oh, lalu apa ada masalah penting?""Tidak ada kok, tidak ada masalah.""Ah, syukurlah kalau begitu, ayo lihat laporan ini, barusan gudang memberikan laporan." "Ah, baiklah."Janice dan Wina pun bekerja bersama mempelajari laporan dari gudang sampai siang menjelang. Mereka makan siang bersama dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka tanpa ada panggilan lagi dari siapa pun dan
"Berhenti di sini saja, Pak! Terima kasih!" Janice meminta ojeknya berhenti di depan supermarket dan ia pun berlari masuk ke sana. Janice sempat berkeliling mencari ibu dan anaknya, namun ia tidak kunjung menemukannya hingga akhirnya Janice pun memilih untuk meneleponnya saja."Halo, Ibu di mana? Aku sudah di supermarket.""Oh, Ibu masih bersama Calista, kami mencari Collin yang mendadak lari sendiri.""Eh, lari ke mana?""Entahlah, biasa anakmu itu suka sekali berlari di tempat yang besar.""Astaga, mungkin ke tempat keju, Ibu!""Ah, kau benar juga! Biar Ibu yang ke sana, kau menyusul saja ke sana nanti!""Eh, iya, Ibu." Janice menutup teleponnya dan langsung melangkah ke koridor tempat keju. Namun, baru berjalan beberapa langkah, mendadak Janice melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Jefry, asisten Edgard di kantor.Sontak Janice langsung memutar balik langkahnya dan berjalan cepat menjauh. Janice sempat mengamati pria itu dari kejauahan dan itu benar Jefry. "Astaga, men
"Sudah semua, Bos? Wah, antrinya panjang sekali! Aku akan mengantri di sana saja! Eh, di sini lebih pendek antriannya!"Jefry mendorong trollynya ke kanan lalu ke kiri sampai membuat Edgard berdecak kesal saat mengikuti Jefry. "Berikan kunci mobilnya, aku akan menunggu di mobil saja, kalau kau sudah selesai, cepat susul aku!""Eh, sebentar, Bos!" Jefry mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan Edgard pun masih berdiri menunggu saat tiba-tiba suara anak kecil terdengar menyapanya. "Uncle, kita bertemu lagi!" pekik Collin yang tertawa melihat pria dewasa yang tadi ia temui di tempat keju. Collin pun melirik trolly Edgard yang didorong oleh Jefry dan berseru keras. "Wah, ini trolly milik Uncle? Wah, Uncle beli keju banyak sekali!" Tatapan mata Collin pun nampak berbinar-binar. Edgard yang tidak menyangka bertemu dengan anak itu lagi hanya mengangguk singkat. "Aku juga suka keju. Apa kau benar-benar hanya membeli satu kotak?""Eh, iya, hanya satu kotak sama susu ...," sahut Coll
"Seharusnya kau melihatnya tadi, Janice! Astaga, pria itu benar-benar membuat Ibu tegang! Hanya soal keju tapi dia bicara seperti mau mengadili Ibu!"Nara tidak berhenti mengomel setelah mereka sampai ke rumah. Janice yang mendengarnya hanya memaksakan senyum singkatnya tanpa menanggapi berlebihan karena bisa sampai ke rumah tanpa ketahuan saja sudah membuat Janice begitu lega. "Ah, sudahlah, tidak usah dibahas lagi! Memang kan karakter orang beda-beda, Ibu.""Tapi Ibu tidak pernah melihat yang seperti itu, Janice! Kenal saja tidak! Astaga! Sudahlah, Ibu hanya masih emosi!" Nara pun mengibaskan tangan di depan wajahnya dan menenangkan napasnya. "Eh, tapi wajah orang itu sepertinya familiar, Janice! Di mana Ibu pernah melihatnya ya?" Nara mengernyit dan mencoba mengingat. Janice yang mendengarnya pun mendadak menegang. Dulu Janice pernah menunjukkan foto Edgard di sebuah surat kabar, mungkin ini yang membuat Nara masih sedikit mengingatnya. "Astaga, Ibu! Setiap hari kita bertemu