Share

Angkat Kepalamu dan Lihat Aku!

Sudah cukup buruk nasibnya diperkosa secara keji dan melahirkan bayi kembar, lalu sekarang Janice mendapati bahwa pria kejam itu adalah CEO di tempatnya bekerja.

Semua kenyataan ini mendadak membuat kepala Janice berdenyut.

Kedua bola matanya pun terus membelalak sampai terasa begitu perih dan Janice pun terus membeku dengan tubuh yang seolah menggigil karena syok.

"Astaga, itu dia! Itu dia Pak Edgard! Dia tampan sekali kan?" pekik teman Janice tertahan, namun Janice sama sekali tidak menyahutinya.

"Lihatlah, dia begitu keren, bahkan suaranya begitu berat dan seksi! Oh, dia idola baruku ...," bisik wanita itu dengan tatapan yang berbinar-binar.

Namun, Janice sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi.

"Hei, hei, aku bicara denganmu! Namamu Janice kan? Janice, kau kenapa?"

Mendadak tubuh Janice diguncang keras sampai Janice pun menoleh kaget.

"Eh, iya?"

"Kau melamun! Lihat, Pak Edgard sedang memberikan sambutan!"

"Ah, iya, iya!" Janice mengangguk kaku, sebelum ia mengalihkan tatapan lagi ke depan.

Dan semakin ia menatap Edgard sambil mendengar suara itu, kenangan buruk pun kembali berputar di otaknya sampai membuat ia ketakutan.

Bahkan suara teriakan Edgard kembali terngiang di telinga Janice saat malam itu Janice memukul kepala Edgard sampai berdarah.

Janice tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya karena Janice langsung kabur dari sana dan dikejar oleh orang suruhan Edgard.

Tapi Edgard pasti tidak akan memaafkannya. Ya, Edgard pasti tidak akan memaafkannya.

Seketika Janice pun menunduk dan meletakkan tangannya di depan dahinya menutupi wajahnya agar tidak terlihat dari depan, walaupun sebenarnya Janice berdiri di belakang pria bertubuh besar saat ini.

Bukan hanya satu orang, namun dua orang, yang membuat seharusnya Janice tidak terlihat jelas.

Namun, debaran jantung Janice sudah tidak menentu hingga rasanya ia ingin kabur saja.

Edgard sendiri nampak menatap satu persatu karyawan barunya di sana dan ia pun mengangguk.

"Perusahaan ini adalah perusahaan besar dan aku yakin kalian pun sudah mencari tahu tentang perusahaan ini sebelum melamar kerja di sini, jadi kuharap kalian bisa bekerja dengan baik dan bekerja sesuai dengan standard perusahaan!"

"Kesalahan kecil yang tidak berulang masih bisa kumaklumi, tapi kesalahan yang berulang adalah sebuah kebodohan dan aku tidak akan memakluminya lagi!"

"Termasuk terlambat datang. Yang terpenting dalam bekerja adalah kedisiplinan. Lebih baik kalian datang tepat waktu dan pulang tepat waktu daripada datang terlambat dan mengganti keterlambatan itu setelah jam pulang kerja. Aku sama sekali tidak menyukainya," tegas Edgard dengan nada penuh ancaman.

Dan nada suara itu kembali membuat Janice bergidik sampai giginya gemerutuk. Ia pun berdiri di tempatnya seperti patung sambil terus menunduk.

Bahkan Janice sudah berdoa dalam hatinya agar Edgard tidak melihatnya.

Oh, tolonglah! Janice merasa mual sekarang saking takutnya. Apa yang akan terjadi kalau pria itu menangkap Janice? Apa juga yang terjadi kalau pria itu mengetahui tentang Collin dan Calista?

Akankah Edgard mengambil mereka dari Janice? Atau bahkan menyakiti mereka karena pria itu sangat marah pada Janice.

Entahlah! Entahlah, Janice tidak bisa berpikir dan memilih terus menunduk sampai akhirnya acara perkenalan itu selesai dan mereka pun dibawa ke divisi masing-masing.

"Hei, Janice, kau kenapa sih? Apa kau sakit? Wajahmu pucat sekali dan tanganmu dingin. Kau baik-baik saja kan? Jangan sampai kau mendadak pingsan ya!" omel teman kerja Janice yang ternyata bernama Wina itu.

Bahkan Wina sampai kesal saat harus mengulangi namanya berkali-kali karena Janice tidak kunjung mengingatnya.

"Eh, itu ... iya, aku sedikit tidak enak badan," dusta Janice.

"Ah, begitu! Pantas saja kau pucat dan terus menunduk. Tapi baiklah, karena kita bekerja di divisi yang sama maka kita adalah teman sekarang. Jadi kalau ada apa-apa, jangan ragu bicara padaku, oke!"

"Ah, iya, terima kasih ... tapi kurasa aku harus ke toilet dulu. Aku permisi dulu!" Janice segera bangkit dari kursinya dan Wina hanya mengangguk.

Dengan cepat, Janice pun melesat ke toilet yang terletak di samping ruangan divisinya untuk menenangkan jantungnya yang masih terus berdebar kencang.

Namun sialnya, toiletnya dikunci karena rusak.

"Maaf, toilet sedang rusak. Silakan pakai toilet yang ada di ujung sana, dekat divisi pemasaran, tapi agak jauh, atau kalau mau lebih dekat naik saja satu lantai, tepat di atas sini ada toilet, di samping ruangan finance."

"Oh, baiklah, aku naik saja. Terima kasih!"

Janice pun memilih naik satu lantai dan dengan cepat ia menemukan toiletnya, tepat di samping ruangan finance.

Janice sempat bergidik sejenak mengingat traumanya di divisi finance. Waktu ia difitnah di perusahaannya dulu, ia juga bekerja di divisi finance, karena itu, Janice tidak mau lagi dan memilih divisi admin produksi saja.

"Astaga, sudahlah, jantungku!" Janice masih memegangi dadanya dan masuk ke toilet yang ternyata ada beberapa wanita di dalamnya.

Janice yang awalnya ingin menenangkan diri pun merasa tidak nyaman dan langsung saja keluar dari sana setelah buang air.

Janice masih melangkah dengan cepat kembali ke lift saat tiba-tiba pintu lift terbuka dan dua orang pria nampak keluar dari sana.

Seketika jantung Janice kembali berdebar kencang sampai ia pun refleks menunduk.

"Astaga, itu dia! Itu dia! Itu dia! Bagaimana ini? Bagaimana ini?"

Untuk sesaat, rasanya dunia berjalan sangat cepat karena Janice begitu panik.

Kaki Janice tetap menapak ke lantai, namun tubuhnya menoleh ke kiri dan kanan dengan bingung.

Hingga akhirnya ia memilih untuk memegangi dahinya seolah sedang sakit lalu ia pun mulai melangkah dengan jantung yang sudah berdebar tidak karuan.

Tak tak tak tak ....

Suara sepatu hak tinggi Janice begitu cepat setengah berlari dan ia berharap ia bisa segera masuk ke dalam lift.

Namun, sialnya sepasang sepatu mengkilap mendadak terlihat di lantai tepat di hadapannya sampai membuat Janice menghentikan langkahnya dan menahan napasnya.

"M-maaf, permisi!"

Janice yang gugup pun memilih untuk melangkah ke kanan, namun pada saat yang bersamaan, sepatu itu juga melangkah ke kanan.

"Astaga, maaf!"

Janice pun melangkah ke kiri, namun sialnya sepasang sepatu itu juga melangkah ke kiri.

"Eh?"

Janice mencoba melangkah ke kanan lagi, namun sepatu itu ikut ke kanan, seolah mereka memang sama-sama sedang mencari jalan keluar.

Sampai ia mendengar suara familiar itu yang membuat debar jantungnya makin tidak terkendali.

"Apa kau buta? Lihat jalanmu dengan benar!"

"Dan mengapa kau terus menunduk, hah? Saat berjalan kau harus melihat ke depan!" Suara berat itu masuk ke telinga Janice dan membuatnya tertekan.

Janice mengangguk walau ia masih menunduk. "M-maaf ...."

Namun, pria itu kembali membentak dengan keras sampai rasanya jantung Janice hampir berhenti berdetak.

"Maaf? Kau minta maaf pada siapa, hah? Angkat kepalamu sekarang dan lihat aku!"

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status