"Apa air mandiku sudah siap?"
"Eh, air mandi?" "Haruskah aku terus mengulangi pertanyaanku, Pelayan Bodoh? Apa air mandiku sudah siap?" bentak pria bernama Edgard yang baru saja masuk ke kamar mandi dengan bertelanjang dada itu. Janice sempat terpana melihat tubuh berotot milik pria itu, tapi ia buru-buru memalingkan wajahnya malu. "Ah, iya, Pak. Air mandinya sudah siap. Mari kubantu masuk ke dalam," jawab Janice gugup sambil melangkah mendekati pria itu dan berniat menuntunnya. Namun, Edgard menepis tangan Janice dengan kasar. "Apa yang kau lakukan, hah? Siapa yang mengijinkanmu menyentuhku?" "Eh, aku hanya mencoba membantu, Pak. Karena kau kan ... buta," jawab Janice ragu. "Brengsek! Sekalipun mataku buta, bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa pun! Jadi sekarang keluarlah karena aku mau mandi!" desis Edgard dengan tatapan yang lurus ke depan. Janice menelan salivanya gugup dan jantungnya berdebar begitu kencang sekarang, namun ia sama sekali tidak bergerak dan tetap berdiri di samping Edgard. Edgard yang merasakan keberadaan Janice di sana pun merasa makin kesal. "Mengapa kau masih di sini? Kubilang keluar! Apa yang kau tunggu? Apa kau mau melihatku mandi, hah? Dasar pelayan kurang ajar!" hardik Edgard geram. "Eh, tidak. Aku hanya mau membantumu. Biarkan aku membantumu, Pak," jawab Janice sambil kembali mencoba menyentuh tangan Edgard. Ini kesempatannya. Kesempatan Janice untuk menjalankan misinya. Ya, misi. Karena memang Janice bukan pelayan sembarangan. Malahan ia sama sekali bukan pelayan. Janice terpaksa melakukan ini karena ia dituduh mengambil uang perusahaan dan terancam dipenjara. Janice yakin ia dijebak, difitnah, dan dijadikan kambing hitam untuk alasan yang masih tidak jelas. Sampai saat seorang pria bengis, supervisor di perusahaannya menawarkan sebuah hal yang sangat absurd. Masuk penjara atau menjadi pelayan Pak Edgard, CEO perusahaan mereka yang buta karena kecelakaan mobil. Awalnya pilihan menjadi pelayan sang CEO terdengar mudah, namun semuanya menjadi rumit saat Janice ternyata mendapat tugas untuk mencelakai dan membunuh pria itu demi harta warisan. Tentu saja Janice menolaknya. Namun, saat polisi datang untuk menangkapnya, Janice pun tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya. Ia tidak boleh masuk penjara dan meninggalkan ibunya yang sedang sakit sendirian. Jantung Janice pun masih memacu tidak karuan saat akhirnya ia sudah menggenggam erat lengan Edgard. Sejak mengalami kecelakaan dan dinyatakan buta, temperamen Edgard memang katanya berubah drastis, Edgard menjadi pemarah dan terus mengamuk, bahkan tidak jarang Edgard menyerang para pelayan yang berusaha membantunya. Karena itulah, tidak ada satu pelayan pun yang tahan dengan sikap kasar pria itu dan Edgard juga membenci semua pelayan bodohnya itu, termasuk pelayan bodoh yang saat ini sudah begitu kurang ajar dan terus menyentuhnya. "Sudah kubilang jangan menyentuhku! Minggir!" Edgard yang begitu kesal pun lagi-lagi mengempaskan Janice dengan kasar. "Biar kubantu, Pak! Ini sudah tugasku!" "Singkirkan tanganmu dan keluar dari sini!" bentak Edgard lagi. "Tidak apa, Pak!"Janice bersikukuh. Untuk sesaat, suasana begitu tegang di sana. Janice yang memaksa menuntun Edgard ke bathtub agar ia bisa mencelakainya, sedangkan Edgard yang terus menepis tangan Janice dan mengusir wanita itu. Sampai akhirnya ada posisi yang pas untuk Janice. Persetan pria itu mau lumpuh, terbentur, atau meninggal sekalian, yang penting Janice menyelesaikan misinya. Janice pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mendorong Edgard keras-keras agar pria itu jatuh. "Akhh, apa yang kau lakukan, Pelayan Brengsek?" Edgard yang kaget langsung memekik dan mencoba bertahan saat tubuhnya sudah terhuyung, tapi lantai kamar mandi yang licin membuatnya tergelincir. Refleks Edgard berpegangan erat pada tangan Janice sampai Janice ikut tertarik. "Akhhh!" pekik Janice kaget saat tubuhnya ikut melayang. Dan buk! "Auw! Sial!" Edgard memekik keras saat akhirnya ia jatuh terpelanting dengan kepala belakang yang terbentur keras ke lantai dan tubuh Janice sendiri terjatuh tepat di atas tubuhnya. "Auw, kau sengaja mendorongku, hah, Wanita Sialan?" "Eh, aku ... aku ...." Janice yang sudah begitu panik pun berusaha bangkit dari atas Edgard dan hal pertama yang ia pikirkan adalah bahwa ia harus kabur, namun sialnya Edgard menahan tangannya. "Mau ke mana kau?" "Akkh, lepaskan!" Refleks Janice memukul dan menendang Edgard hingga Edgard yang masih kesakitan pun melepaskan cengkeramannya di tangan Janice. "Oh, gawat, gawat!" Janice terus memekik panik saat akhirnya ia berhasil berdiri. Jantung Janice pun berdebar makin tidak karuan saat ia berlari dari kamar mandi menuju ke pintu kamar, namun tanpa diduga, mendadak rambutnya ditarik kasar sampai kepalanya mendongak. "Arrgghh!" "Kau sengaja melakukannya kan, Pelayan Brengsek?" "Tidak! Tidak, Pak! Aku tidak sengaja! Maafkan aku!" "Lalu mengapa kau lari, bukannya menolongku? Kau sengaja mencelakaiku kan? Kau mau membunuhku, hah?" bentak Edgard penuh amarah sambil menyeret tubuh Janice dan mengempaskannya dengan kasar ke ranjang. "Akkhh!" rintih Janice. Dengan cepat, Edgard melingkarkan tangan besarnya ke leher Janice lalu mencekiknya. "Katakan siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Menyamar menjadi pelayanku dan mencoba membunuhku?" bentak Edgard lagi. "Aku tidak ... lepaskan aku ... lepaskan aku!" pinta Janice dengan suara yang tercekik. "Masih berani berbohong? Katakan siapa yang menyuruhmu sebelum aku membunuhmu dengan tanganku sendiri!" ancam Edgard sambil mengeratkan tangannya di leher Janice. "Tidak ... uhuk ... lepaskan aku! Tolong ...." Janice berteriak dengan sisa tenaganya, tangan dan kakinya pun bergerak kesana kemari mencoba memukul Edgard, namun Edgard terus menahannya. "Dasar wanita brengsek! Sejak kecelakaan itu, aku sudah tahu kalau semua ini hanya rekayasa! Dan jangan harap aku akan melepaskanmu sebelum kau mengaku siapa yang menyuruhmu!" "Errgg, aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu ...," dusta Janice karena ia sudah berjanji untuk tidak buka mulut atau keselamatan ibunya terancam. Janice pun terus memukul tangan Edgard karena ia tidak bisa bernapas, namun Edgard malah semakin marah. "Tidak tahu? Kau pikir aku bisa dibodohi hanya karena aku buta, hah? Sekalipun aku buta, aku masih bisa melakukan banyak hal padamu, termasuk menyiksamu agar kau mau mengaku!" Janice hanya bisa menggeleng dengan wajahnya yang sudah memerah tercekik, namun ia bersikeras untuk tetap diam. Sampai Edgard pun makin geram. "Baiklah, kita lihat saja apa setelah ini kau masih tidak mau mengaku, Wanita Sialan!" Dengan penuh amarah, Edgard melepaskan tangannya dari leher Janice dan malah melucuti paksa baju Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!" Sambil terus terbatuk, Janice pun terus menepis tangan Edgard yang berusaha menyentuhnya. Posisinya yang benar-benar tersudut dan rasa takut yang teramat besar pun membuat Janice melupakan sejenak fakta bahwa pria itu buta. "Tidak, jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak tahu!" Air mata Janice mendadak bercucuran saat ia menyadari apa yang akan Edgard lakukan padanya. Ia pun terus meronta dan kembali memukuli Edgard, namun Edgard terlalu kuat. Tanpa perasaan, Edgard menahan kedua tangan Janice di atas kepala wanita itu. Edgard menindihnya dan menyentuh tubuh wanita itu dengan kurang ajar. Dengan tega, Edgard pun mendesak tubuh Janice, walaupun ia terus menggeram karena begitu sulit menembusnya. "Sial, tidak mungkin wanita jahat sepertimu masih perawan kan?" geramnya diikuti teriakan lirih dari Janice yang merasakan kesakitan luar biasa di bawah sana. **"Mama ....""Mama ...."Dua orang anak sedang berlarian di rumah kontrakan sederhana pagi itu sambil terus terkikik dan memanggil ibunya. "Sebentar, Sayang! Mama sedang siap-siap!" Janice berteriak dari kamarnya sambil merapikan setelan formalnya. Enam tahun berlalu sejak ia kabur dari Edgard, kabur dari malam yang mengerikan itu dengan perjuangan yang sama sekali tidak mudah. Janice sempat memukul kepala Edgard dengan lampu meja setelah pria itu menyalurkan hasratnya pada Janice malam itu. Dengan panik, Janice menyambar baju apa pun yang bisa ia dapat dari lemari dan segera keluar dari kamar itu. Ia berlari seperti orang gila karena dikejar oleh orang suruhan Edgard, namun akhirnya ia berhasil lolos. Bahkan sesampainya di rumah, Janice langsung mengemasi semua barangnya dan membawa ibunya yang sakit itu pergi jauh ke kota kecil karena ia begitu takut Edgard akan menemukannya atau pria bengis itu akan menjebloskannya ke penjara. Namun, sampai satu bulan berlalu, ia dan ibunya hi
Sudah cukup buruk nasibnya diperkosa secara keji dan melahirkan bayi kembar, lalu sekarang Janice mendapati bahwa pria kejam itu adalah CEO di tempatnya bekerja. Semua kenyataan ini mendadak membuat kepala Janice berdenyut. Kedua bola matanya pun terus membelalak sampai terasa begitu perih dan Janice pun terus membeku dengan tubuh yang seolah menggigil karena syok. "Astaga, itu dia! Itu dia Pak Edgard! Dia tampan sekali kan?" pekik teman Janice tertahan, namun Janice sama sekali tidak menyahutinya. "Lihatlah, dia begitu keren, bahkan suaranya begitu berat dan seksi! Oh, dia idola baruku ...," bisik wanita itu dengan tatapan yang berbinar-binar. Namun, Janice sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi. "Hei, hei, aku bicara denganmu! Namamu Janice kan? Janice, kau kenapa?" Mendadak tubuh Janice diguncang keras sampai Janice pun menoleh kaget. "Eh, iya?""Kau melamun! Lihat, Pak Edgard sedang memberikan sambutan!""Ah, iya, iya!" Janice mengangguk kaku, sebelum ia mengalihkan tatapan
Nada suara Edgard yang keras dan mengintimidasi membuat Janice makin gemetar ketakutan. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice begitu takut dikenali oleh Edgard dan disiksa lagi seperti dulu. "Kau tidak punya telinga, hah? Aku bilang angkat kepalamu sekarang dan lihat aku! Jangan membuatku sampai memaksamu!" bentak Edgard lagi yang membuat Janice seketika menahan napasnya. Otak Janice terus berpikir keras sampai ia begitu pusing dan hampir pingsan. Namun, satu pemikiran mendadak muncul di otaknya. Bukankah Edgard masih buta saat bertemu Janice dulu? Bukankah itu berarti Edgard tidak pernah melihat wajah Janice? Ya, untuk apa Janice takut? Lagipula waktu itu Janice memakai nama samaran, dan penampilannya pun masih seperti remaja alay dengan rambut berpony dan terbakar karena hasil bleaching yang gagal. Tentu saja! Bahkan orang yang tidak buta pun tidak mungkin mengingat Janice apalagi orang yang buta. "Sialan, kau ...." Edgard menggeram kesal. Namun, belum sempat Edgard menyel
"Mama sudah pulang, Sayang!" sapa Janice begitu ia sampai ke rumahnya sore itu. "Yeay, Mama pulang!""Mama pulang!" Collin dan Calista melompat kegirangan melihat Janice pulang. Calista berlari duluan memeluk Janice, sedangkan Collin menyusul dengan mulut yang belepotan. "Astaga, Collin, apa yang kau makan? Umurmu sudah lima tahun, tapi kau masih belepotan saat makan!""Collin lagi makan keju, Mama!" "Haha, iya, ayolah!" Janice memeluk Collin dan Calista masuk bersama ke dalam rumah. "Mama bawa apa ini?" Calista menarik kotak yang dibawa oleh Janice. "Itu roti untuk kalian, Sayang.""Wah, roti isi daging sama keju ya, Mama? Asik! Mama sudah kerja dan sudah punya banyak uang! Jadi kita bisa makan roti isi daging sama keju setiap hari! Asik!" pekik Calista senang. "Jangan setiap hari, Sayang. Sesekali saja ya." Janice menemani si kembar ke meja makan dan si kembar pun tidak berhenti memekik senang. Janice pun membantu membersihkan mulut Collin, sebelum mengeluarkan roti untuk
Sret!Suara robekan kain terdengar begitu mengerikan di telinga Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!"Janice terus terbatuk dan berusaha menepis tangan pria yang sedang menyentuhnya itu. "Tidak, jangan lakukan itu ... aku benar-benar tidak tahu ...." Janice mulai menangis dan memohon, namun pria itu tidak berhenti sedikit pun. Pria itu menyentuh seluruh tubuh Janice sampai ke bagian sensitifnya dan membuat tubuh Janice bergetar tidak karuan, bukan menikmati, namun ketakutan dan kesakitan karena pria itu meremat kulit Janice dengan kasar. Janice merasa jijik saat tangan itu terus membelai tubuhnya, namun ia tidak punya tenaga untuk melawannya lagi. Sampai saat pria itu menempatkan dirinya dan menerobos masuk, mengabaikan jeritan lirih Janice yang begitu kesakitan dan tersiksa. Jantung Janice pun sudah berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dalam tidurnya. Kaki dan tangan Janice mengepal sekuat tenaga saat alam mimpinya sedang menyiksanya dengan mengulang kejadian mal
"Namanya Janice Velma. Umurnya 29 tahun dan dia bekerja di admin produksi. Status belum menikah dan pengalaman kerja sebelumnya di luar kota.""Tidak ada informasi tentang kehidupan pribadinya tapi ... nama Janice Velma pernah terdaftar sebagai karyawan finance di Orion Group enam tahun yang lalu."Mata Edgard pun membelalak mendengarnya. Orion Group adalah perusahaan milik keluarga Edgard yang masih berdiri sampai sekarang. Namun, dalam beberapa tahun ini, Edgard mendirikan perusahaan baru yang tidak kalah sukses, Emerald Group. "Di Orion? Dia pernah bekerja di Orion? Kau yakin itu Janice yang sama?""Hmm, namanya sama, Bos. Tapi fotonya ... tidak ada arsip."Edgard mengeraskan rahangnya mendengar hal yang tidak ia sukai itu."Lalu dia keluar sendiri atau dipecat? Kau tahu kan kalau ada karyawan yang sudah keluar dari salah satu perusahaanku, maka aku tidak akan mengijinkan dia bekerja lagi di perusahaanku yang lain," seru Edgard tegas. "Ah, iya, Bos. Pasti dia belum tahu kalau Or
Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan dan matanya membelalak mendengar ucapan Edgard, apalagi dari jarak yang begitu dekat. Rasanya kenangan buruk itu terus berputar di otaknya dan Janice mulai takut kalau Edgard benar-benar mengenalinya. Edgard sendiri menatap Janice dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, ada amarah di sana namun juga ada banyak tanya. Sebenarnya Edgard bukanlah tipe pria yang tidak ada kerjaan sampai rela membuang waktu untuk hal tidak berguna seperti menakuti karyawan baru. Tapi Edgard selalu melakukan semua berdasarkan perasaannya, yang mana selama ini hampir tidak pernah salah. Edgard yakin ia pernah bertemu Janice karena wanita itu sangat familiar. Suaranya, raut wajahnya, matanya yang membelalak, bahkan aroma yang terasa familiar, tidak menusuk namun lembut, dan Edgard pernah merasakannya, walau ia tidak ingat kapan. Yang jelas, Janice ini bukan karyawan yang bisa diabaikan sama sekali. Janice sendiri menelan salivanya dan akhirnya berani berbi
"Ada apa, Sayang? Mama sedang kerja," bisik Janice di panggilan video call dengan si kembar. Setelah keluar dari ruangan Edgard tadi, Janice pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri. Wina yang melihatnya pun sudah begitu kepo dan menggeser kursinya mendekat. Namun, belum sempat Janice menceritakan apa pun, mendadak ponselnya berbunyi, yang ternyata telepon dari ponsel Nara, ibunya. Janice pun langsung berlari ke toilet terdekat karena sudah pasti si kembar yang menelepon. Janice sendiri masuk ke perusahaan ini dengan status palsu yaitu single dan belum menikah. Tentu saja itu tidak sepenuhnya palsu karena memang Janice single dan belum menikah, tapi Janice sudah punya dua anak. Semua perusahaan tempatnya melamar pekerjaan memberikan syarat bagi karyawan baru yaitu harus single karena perusahaan tidak mau karyawannya sering ijin dengan alasan anak. Karena itulah, Janice terpaksa menyembunyikan anaknya juga. "Collin merindukan Mama ....""Calista juga ... hehe ...."Kedua anak