Riska sudah siap dengan semua perlengkapan untuk acara promo tahunan bersama tim marketing, tim penjualan, dan tim terkait yang kini berada di pelataran parkir lapangan tembak. Mereka harus bekerja keras untuk menarik perhatian pengunjung lapangan yang pagi itu sangat ramai.
Menjual produk lebih banyak demi bonus yang dijanjikan diluar bonus tahunan, bila target penjualan di hari itu tercapai.
Gusti bersiap menuju mobil kantor untuk menjemput nasi kotak, menggantikan Vina yang tiba-tiba tidak bisa menyelesaikan bagian tugasnya karena Suroso meminta tambahan dana untuk segera dikeluarkan. Dia berdecak kesal karena pekerjaan itu seharusnya bisa dilakukan oleh supir kantor.
Faktanya, mereka semua terlibat dalam sesi penjualan produk melihat antusiasme pengunjung yang cukup tinggi. Mau tidak mau, Suroso harus melibatkan tenaga mereka dalam sesi penjualan.
“Des, Vira mana?”
“Ha? Apa?” teriak Desi.
Dia tidak mendengar karena suara musik dan Riska yang komat-kamit di atas panggung. Terlebih posisi Desi berdiri tepat beberapa langkah di samping loudspeaker.
”Vira mana? Aku diminta ngambilin makan siang,” terang Gusti turut berteriak.
”Gak tahu! Tadi kayaknya ke sana,” tunjuk Desi ke salah satu mobil kantor.
Tanpa bicara, Gusti langsung berlari ke arah mobil yang ditunjuk, meninggalkan Desi yang manyun-manyun karena Gusti tidak mengucapkan terima kasih.
“Vir, makan siangnya ambil dimana? Bonnya mana? Udah lunas belum?”
Vira yang duduk di dalam mobil van sedang mengirim surel, terkejut saat kepala Gusti tiba-tiba menyembul.
“Kek tuyul aja!” sewotnya.
Gusti hanya memperhatikan Vira yang langsung mengambil bon nasi kotak dari dalam dompet seukuran dompet Note ponsel. Perempuan itu menghitung uang untuk membayar sisa tagihan setelah menyerahkan kertas tersebut. Wajah Vira mendadak tegang.
“Aduh, pak Suroso kemana, sih? Kok hpnya gak aktif?” Vira gelisah –menekan ulang tombol memanggil.
Vira terus menghubungi Suroso berulang-ulang tanpa menggubris Gusti yang keningnya sudah berkerut, hingga Gusti mengulangi pertanyannya.
"Kenapa, Vir?"
“Uangnya gak cukup, Bang."
***
“Sudah, Mbak. Pesanannya sudah siap dan sudah bisa diambil. Baik, Mbak. Terima kasih. Sama-sama.”
Santi menutup telepon dari seorang pemesan nasi kotak yang akan diambil jam satu siang nanti. Matanya melirik ke dapur masak yang tidak transparan. Kesibukan di sana tidak kalah dengan di depan yang mulai ramai pengunjung.
Sambal petai hijau ronde ke dua sedang dimasak. Seorang pekerja setengah teriak meminta tambahan daun ubi dan dibalas dengan acungan jempol.
"Ini punya kantor Grandibox kan, San? Kok belum diambil ya? Udah jam segini.”
Rani tiba-tiba berdiri di dekat Santi yang baru saja menutup laci kasir. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11.20 siang.
“Gak tahu, Ran. Mungkin sebentar lagi.” Santi melirik jam dinding berbentuk Kalpataru.
Rani melihat satu unit mobil hitam terparkir di depan warung. Dua orang lelaki turun dengan aura gelisah, lelah, panas, dan kusam.
“Permisi.“
“Iya, Bang. Selamat siang.” Santi tersenyum ramah, melirik logo perusahaan yang ada di baju Gusti – Grandibox.
“Eng ... ini, saya mau ambil pesanan nasi untuk Grandibox, sisa tagihannya dua setengah juta lagi ya. Nah, kebetulan tadi ada kejadian di luar dugaan. Jadi, sisa tagihannya yang bisa saya bayar cash cuma dua juta. Kalau sisa lima ratus ribu diselesaikan besok, apa bisa, Dek? Biar nanti pihak finance yang langsung transfer.”
Gusti berucap hati-hati dengan jantung yang berdegup tidak karuan sambil menunjukkan bon down payment, mengingat nama baik perusahaan dan tampangnya yang pasti diingat oleh pihak warung.
Santi mendadak bingung. Grandibox cukup sering memesan nasi kotak pada mereka. Bahkan, tampang Gusti dan Johan pun sudah dihapal oleh pekerja warung.
Tapi, Santi tidak bisa memberi keputusan, meski dia ingin membantu Gusti menyelesaikan masalah tersebut. Kedua lelaki itu menangkap mimik wajah Santi yang terlihat serba salah.
Gadis itu permisi untuk ke ruangan Marina di pojok warung bermaksud meneleponnya guna meminta pendapat. Namun, Marina tidak kunjung menjawab panggilan Santi yang sudah tiga kali menghubunginya.
”Bang, maaf, saya udah hubungi pemilik warung berkali-kali tapi telepon saya gak dijawab,” sesal Santi.
Kedua lelaki itu mendesah bersamaan. Santi melihat keresahan Gusti dan Johan yang saling menatap, seakan berbicara melalui kontak mata ‘gimana ini?’ sementara waktu terus berlalu dan semakin mepet.
Mata Johan berbalik memandang keluar warung, menatap kosong satu mobil hitam mengkilap yang baru saja diparkir.
***
“Kamu yakin?”
Santi menjelaskan duduk perkara pada Marina yang sudah duduk di pojok ruangan. Dia masuk melalui pintu belakang yang menjadi kebiasaannya bila berkendara menggunakan mobil.
“Ya, ok dech. Cuma lima ratus ribu. Mengingat mereka juga udah jadi pelanggan kita. Pastikan besok mereka tepat waktu, ya. Jangan lewat hari.”
Santi mengangguk lantas keluar.
Marina sebetulnya tidak menerima alasan apa pun soal penundaan pembayaran pesanan berstatus uang muka. Janda cantik itu tidak mau terulang peristiwa yang pernah membuatnya berutang akibat pemesan yang tidak bertanggung jawab.
Diberi kepercayaan dengan kelonggaran tenggat waktu pelunasan uang muka nasi kotak yang sudah diambil, pemesan justru tidak pernah kembali untuk melunasi, pun tidak juga bisa dihubungi. Tidak tanggung-tanggung, Marina mengalami kerugian lima juta Rupiah di awal-awal dia merintis usaha warung.
“Ko, tolong bawa nasi kotak Grandibox ke mobil,” perintah Santi saat melewati Eko yang tengah membersihkan meja warung.
“Ok, sebentar!”
“Gimana, Dek?”
Gusti berdiri dari kursi saat melihat Santi keluar dengan senyum sumringah kepadanya sambil mengangguk. Johan masih di kursi mengamati sekitar ketika Gusti mengekori Santi ke meja kasir.
“Sebentar saya tulis dulu ya, Bang”
Santi merasa lega masalah dengan satu perusahaan Consumer goods yang menjadi pelanggan sejak dua tahun belakangan sudah selesai –setidaknya untuk hari ini.
Dia mengambil bon asli yang dicetak sablon percetakan, disatukan dengan rangkap satu yang diserahkan Gusti, menulis tanggal dan jumlah pembayaran tunai, beserta sisanya. Dan sebuah catatan kecil mengenai tanggal pelunasan.
“Sisanya ditunggu besok ya, Bang. Ini bonnya, silakan ditunggu. Makanannya akan diantar ke mobil.”
“Alhamdulillah!” seru keduanya kompak.
“Terima kasih ya, Dek,” ucap Johan cepat.
Gusti dan Johan melihat makan siang mereka diangkut keluar warung oleh empat orang lelaki. Keduanya benar-benar merasa perlu sujud syukur untuk momen tersebut, namun harus batal saat Gusti melihat sosok perempuan berjalan masuk ke warung bersama seorang anak berusia satu tahun, dan seorang lelaki di sampingnya.
Johan berlalu tanpa peduli sosok yang tiba-tiba berhenti beberapa langkah di depannya. Gusti melihat Johan yang melirik setengah detik tanpa reaksi ketika keluar warung.
Meskipun tinggal satu kota dan sudah berpisah lama, namun Johan tidak pernah bertemu tatap muka dengan mantan istrinya. Dia hanya melihat dari kejauhan –tanpa sengaja.
Marina pun tanpa sengaja melihat Johan berdiri di depan warungnya.
Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan. Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan! Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan. “Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar. “Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.” Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohi
"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video calldengan istrinya. "Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? "Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan." Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya. "Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya." "Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!" "W*'alaikumussalam. Muaahhh!" Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan. "Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal