Marina menaruh helm di atas kursi setibanya di warung makan Padang miliknya. Warung makan yang dibuka sejak empat tahun silam itu, sukses menjadi warung makan yang ramai disambangi. Warungnya hanya buka dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore.
Marina yang hanya lulusan SMA tidak punya keahlian untuk 'dijual' di dunia perkantoran. Hanya memasak yang dia bisa, masakannya juga enak. Selepas bercerai, dia memutuskan membangun hidup baru, mengobati luka, dengan bangkit membuka usaha kuliner untuk menyambung hidup.
“Kakak ke atas dulu, ya.”
Marina meletakkan tas selempang di atas kasur. Menggulung rambut hingga menjadi sanggul cepol sebelum duduk di depan cermin yang digantung di dinding kamar lantai dua.
Dia memandangi dirinya yang tampak kusam dan lelah. Jerawat besar di kening dan empat jerawat beruntus di pipi dan dagu.
Jerawat radang yang tidak gatal tapi terasa sakit meski tidak disentuh, dan jerawat beruntus yang gatal tapi sakit saat disentuh.
Marina mencuci muka di kamar mandi, lantas membersihkan muka dengan susu pembersih dan toner. Itu ritual Marina setiap hari. Kegiatannya yang banyak di luar ruangan membuatnya harus membersihkan muka di siang hari supaya tetap terlihat segar.
Meski janda dan sibuk di dapur, Marina tetap menaruh perhatian besar pada penampilannya. Sebab, Marina masih ingin punya suami baru.
“Menu baru kita kayaknya laris manis ya, San.”
“Iya, Kak. Udah empat hari baru dua jam dipajang di etalase langsung ludes. Kasian pembeli banyak yang gak kebagian. Besok nambah lagi dech, Kak. Belum pernah ada juga sambal pete ijo,” saran Santi yang sedang menghitung uang di kasir.
“Iya juga sih. Nambah berapa ya?”
Marina duduk di pojok ruangan yang dijadikan sebagai singgasananya untuk bekerja. Ruangan itu disekat dengan triplek yang dicat dan dilukis, supaya tidak terlihat oleh pengunjung dan lalu lalang pekerja. Sekat triplek itu juga berfungsi sebagai hiasan karena lukisan yang menggambarkan sebuah keluarga sederhana yang bahagia.
Warung makan Marjan Solid tidak terlihat seperti warung makan Padang kebanyakan. Marjan Solid lebih terlihat seperti café dengan tampilan minimalis. Pelayan warung pun memakai baju seragam berwarna hijau.
Banyak air mata yang mengiringi hidup Marina pasca menikah dan bercerai. Jatuh bangun janda muda itu menata hidup, menata hati, dan menata usahanya yang dimulai dari nol.
“Kak, kita ada pesanan nasi Padang 100 kotak plus pete ijo untuk kantor Grandibox jam sebelas siang besok lusa.”
Santi datang memberi kabar yang diterimanya barusan melalui telepon. Marjan Solid juga menerima pesanan nasi kotak yang harus diberitahu paling telat dua hari sebelum acara.
Marina bukan tidak mau menerima pesanan sehari sebelum hari H, tapi mengurus warung yang dipenuhi pelanggan makan saja sudah membuat mereka kerepotan. Marina juga bukan tidak mau menambah tenaga kerja, tapi kondisinya yang baru selesai menyulap warung menjadi café minimalis, cukup membuat keuangan Marina terkuras.
“Oh, ok. Mereka DP atau full payment?”
“DP 50%, Kak. Penyelesaian saat pesanan diambil.”
“Ok, siapkan daftar bahan, minta Nanang langsung belanja. Dan ini daftar bahan untuk menu tambahan. Kakak mau bikin kreasi menu baru.”
Marina menyerahkan selembar kertas penuh tulisannya, yang hanya bisa dibaca oleh dirinya dan para pekerja.
Benak Marina mendadak melintas sosok Johan yang ditemuinya tadi di SPBU. Laki-laki yang menurutnya berbeda dari kebanyakan lelaki modus berkedok menawarkan bantuan. Johan justru pergi meninggalkannya setelah ditolak dengan bahasa halus –tanpa debat apalagi paksaan.
Padahal Marina sedang sangat butuh bantuan pada saat itu. Badannya kehabisan tenaga mendorong motor dari jarak yang tidak dekat, sepulang dari bank untuk menyetor uang. Kakinya lemas karena berjalan cukup jauh ditambah beban motor puluhan kilogram.
Marina sangat berharap ada seseorang yang datang menolongnya. Tidak tanggung-tanggung, Marina sampai mengucap nazar dengan lelahnya dua jam yang lalu. Dan, Tuhan mengabulkan doanya.
Johan setiawan yang masih duduk di meja ujung ruang meeting, dikirimkan kepadanya sebagai malaikat penolong. Mereka masih membahas acara peluncuran produk baru di pelataran parkir lapangan tembak Arkenasera pada Ahad mendatang.
”Kesiapan tempat 90% deal, tinggal persiapan dari pihak marketing untuk mendekor. Tata panggung dan backsound jangan abai, karena sangat mempengaruhi calon konsumen pada kesan pertama.“
“Karena kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya –” sela Rudy.
“Terserah anda,” sambung Johan cepat.
Rudy dan Johan melihat orang-orang di dalam ruangan sedang tertawa karena selaan mereka yang saling sindir. Wajah santai Johan dan wajah tegang Rudy menjadi paduan sempurna untuk menjadi tontonan yang menghibur. Johan mengabaikan tatapan sinis Rudy yang mendongkol.
"Ada tambahan? Makan siang bagaimana?"
"Sudah ok, Pak. Pembayaran juga sudah ok," jawab Vina.
"Ok, ada tambahan? Kalau tidak ada, rapat selesai."
Suroso meninggalkan ruangan diikuti Vina sang admin kantor yang ....
Entahlah, pegawai-pegawai kantor paling malas berurusan dengannya. Alis Gusti mengerut saat membaca pesan yang baru masuk.
"Jo, pinjam duit donk bentar. Buat beli susu." Gusti berbisik.
Johan yang masih menulis, menoleh pada Gusti yang duduk di sebelahnya. Dia merogoh kantong celana kanan. Tidak mendapatkan apa-apa. Pindah ke sebelah kiri, juga tidak ada apa-apa. Johan kebingungan. Alisnya mengerut.
Gusti bingung melihat Johan berdiri –masih membongkar kantong celananya untuk memastikan.
"Duit kamu hilang, Jo?"
"Gak tahu. Tadi waktu bayar makan masih ada di kantong," jawabnya gelisah.
"Memangnya nominal berapa?" Gusti ikut berdiri.
"Seratus ribu."
Tangan Johan pindah ke kantong kemeja. Johan mendapatkan beberapa lembar uang di dalamnya.
"Cuma ini yang ada, Gus. Tiga puluh tujuh ribu." Johan menunjukkan uangnya.
"Ya, ok dech. Gak apa-apa. Sisanya biar aku pinjam sama lain." Gusti mengambil uang tersebut.
"Memangnya beli susu berapa?"
"Duitku gak cukup karena harus beli popok juga. Eh, tapi kamu sendiri gak ada, Jo. Gak jadi dech." Gusti menaruh uang itu ke dalam genggaman Johan.
"Udah, gak apa-apa. Ambil aja. Anak kamu lebih butuh."
Gusti terdiam mendengar ucapan Johan. Dia memandang laki-laki itu beberapa detik. Rasa haru pelan-pelan menyeruak di sanubarinya melihat sikap Johan padanya. Mata Gusti mulai berkaca-kaca.
"Udah, gak usah melow-melow. Ada saatnya nanti kamu yang bantuin aku."
"Kamu baik banget. Thank you ya, Jo," Gusti menabrak Johan dan memeluknya.
"Untung di ruangan gak ada orang, kalau gak, kalian dikira homo sapien betulan!"
Suara nyaring tersebut membuyarkan pelukan haru Gusti. Sosok yang mengerti pertemanan kedua lelaki tersebut. Riska melepas kabel layar proyektor dari laptop, sebelum mengambil print out bahan rapat tadi.
"Bang, tolong bawain ya, Ika mau ke ruangan Pak Suroso," ucapnya menunjuk proyektor sambil lalu.
Johan berdehem.
Riska melihat mata Gusti yang merah, tapi gadis itu tidak mau bertanya. Toh, nanti tahu sendiri –pikirnya.
Marina duduk di ruangannya tengah merenung, dengan pena di tangannya mengetuk-ngetuk kertas yang sedang ditulisnya. Dia sedang mencari cara untuk bisa mengembalikan uang Johan yang ada padanya. Jam dinding Kalpataru menunjukkan pukul 08.28 malam. Marina tidak lapar tapi merasa ingin makan sesuatu. Dia naik ke lantai dua mengambil sweaterdan kunci motor. Janda muda itu lebih suka bermotor ria pada malam hari, karena suasananya terasa lebih romantis menurutnya. Apalagi Marina sedang dalam masa mencari suami baru. Siapa tahu ketemu jodoh di jalan. *** Sambil menunggu pesanannya, Marina duduk setelah memakirkan motornya di tempat penjual sate kambing di pinggir jalan. Setelah berputar-putar mencari tempat nongkrong outdoor yang asik tanpa ribet, Marina menjatuhkan pilihan berhenti di gerobak sate yang baru pertama kali disinggahinya. Penjual sate langganannya ternyata sudah empat hari tidak jualan, sedang pulang kampung kata
Riska sudah siap dengan semua perlengkapan untuk acara promo tahunan bersama timmarketing, tim penjualan, dan tim terkait yang kini berada di pelataran parkir lapangan tembak. Mereka harus bekerja keras untuk menarik perhatian pengunjung lapangan yang pagi itu sangat ramai. Menjual produk lebih banyak demi bonus yang dijanjikan diluar bonus tahunan, bila target penjualan di hari itu tercapai. Gusti bersiap menuju mobil kantor untuk menjemput nasi kotak, menggantikan Vina yang tiba-tiba tidak bisa menyelesaikan bagian tugasnya karena Suroso meminta tambahan dana untuk segera dikeluarkan. Dia berdecak kesal karena pekerjaan itu seharusnya bisa dilakukan oleh supir kantor. Faktanya, mereka semua terlibat dalam sesi penjualan produk melihat antusiasme pengunjung yang cukup tinggi. Mau tidak mau, Suroso harus melibatkan tenaga mereka dalam sesi penjualan. “Des, Vira mana?” “Ha? Apa?” teriak Desi. Dia tidak mendengar karena su
Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan. Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan! Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan. “Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar. “Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.” Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohi
"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video calldengan istrinya. "Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? "Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan." Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya. "Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya." "Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!" "W*'alaikumussalam. Muaahhh!" Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan. "Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang