Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata. “Ssst … aw,” desis Wilona sembari memegang kepalanya yang terasa sangat berat, pemandangannya juga berkunang-kunang.
Ceklek. “Kak Ona sudah sadar?” Terdengar suara seorang wanita yang sangat tidak asing ditelinga Wilona, baru saja membuka pintu. Wanita itu pun segera berjalan ke arah Wilona dengan antusias, juga dengan senyum yang merekah. Meskipun pandangan Wilona masih sedikit kabur, tapi dia tahu betul siapa gerangan wanita yang menghampirinya saat ini. “Kak Wilona sudah sadar?” tanya wanita itu lagi sembari memegang telapak tangan Wilona. Plak! Bruk! Dengan kepala yang masih terasa sangat berat dan pandangan tidak jelas, Wilona bangun dari tidurnya serta menampar wanita tersebut dengan kekuatan penuh, hingga dia tersungkur di bawah ranjang. “Aw, apa yang Kakak lakukan?” jerit wanita itu. “Pergi kamu! Pergi … ! Wilona berteriak sekencang-kencangnya. “Kak Ona, ini aku Rosa.” Wanita itu mencoba menenangkan Wilona sembari berusaha berdiri. “Pergi!” “Pergi!” “Dasar wanita licik!” Bugh. Wilona terus berteriak sembari melemparkan bantal dan benda lain yang ada di dekatnya ke arah wanita tersebut. “Pergi!” “Pergi!” Krak! Hingga akhirnya, jarum infus yang tengah menancap di punggung tangan Wilona pun terlepas, tentu saja hal itu menyebabkan tangan Wilona berdarah. “Kak, hentikan kak, ini aku.” Rosa terus berusaha menyadarkan Wilona yang nampak seperti orang kesurupan tersebut. “Pergi kamu!” “Jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!” “PERGI …. ! BRAAAK. “Ada apa ini?” Seorang wanita paruh baya masuk ke ruangan Wilona dengan tergopoh. “Pergi!” “Pergi!” Sementara Wilona masih terus menjadi-jadi. Wanita paruh baya tersebut pun segera memegang pundak Rosa dan membawanya melangkah mundur. “Ibu, tenang bu, ada apa ini?” “Raka.” Seorang anak laki-laki juga masuk ke ruangan tersebut tanpa diketahui. “Raka, kenapa kamu nampak berbeda?” Wilona mulai memelankan suaranya sembari terus menatap Raka, dia mencoba mengusap matanya beberapa kali, agar penglihatannya bisa lebih jelas. Sedangkan Raka tidak memperdulikan pandangan Wilona yang nampak keheranan, dia segera menyambar tisu yang ada di atas nakas, kemudian menekan luka di punggung tangan Wilona yang terus mengeluarkan darah. “Ibu, Ibu sudah sadar?” “Kenapa Ibu terus berteriak?” tanya Raka dengan terus fokus pada luka Wilona. “Itu Dok, Ibu sudah sadar, tolong diperiksa.” Seketika Wilona mengalihkan pandangannya pada sumber suara. “Rani?” gumam Wilona. Dokter dan Rani pun segera menghampiri Wilona. “Rani, kenapa kamu nampak seperti beberapa tahun yang lalu?” gumam Wilona yang suaranya masih bisa didengar oleh beberapa orang yang ada di dekatnya. “Ibu, apa yang ibu katakan? Kenapa Ibu terus berteriak?” tanya Rani. “Apa aku sedang mimpi?” gumam Wilona lagi, tanpa menjawab pertanyaan semua orang yang terus penasaran dengan teriakan Wilona. “Tidak bu, Ibu tidak bermimpi, hanya saja Ibu baru sadar setelah pingsan beberapa hari,” terang dokter sembari membalut luka di punggung tangan Wilona. “Pingsan?” tanya Wilona yang semakin keheranan. “Iya bu, kami berdua menemukan ibu tergeletak di bawah wastafel kamar mandi,” ucap Raka sembari menatap Rani sejenak. “Sepertinya Ibu sedang kelelahan hingga pingsan di sana, karena dokter tidak menemukan adanya bekas kekerasan ataupun luka,” sahut Rani. “Benarkah seperti itu?” tanya Wilona sembari menatap Dokter. “Iya bu, Ibu hanya kelelahan dan juga anemia,” jelas Dokter. “Anemia? Ya, aku memang kerap punya penyakit darah rendah, dan itu akan semakin memburuk jika aku tidak makan dengan baik serta kelelahan,” gumam Wilona dalam hati. “Beruntung dua anak ini segera membawa ibu ke rumah sakit,” ucap dokter sembari tersenyum setelah membalut luka dan memasang infus kembali dengan jarum yang baru, di tangan sebelah kanan. “Eh, tunggu dulu Dok, apa paru-paru ku baik-baik saja? Mungkin saja paru-paruku kemasukan banyak air,” ucap Wilona. “Tidak ada bu, anda hanya kelelahan saja, kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh,” terang Dokter. “Sekarang apa ada yang ibu keluhkan?” tanya dokter tersebut. “Hanya kepala saya sangat berat dok,” jawab Wilona. “Itu wajar, karena Ibu telah pingsan beberapa hari dan memaksa untuk duduk, sebaiknya Ibu berbaring dulu untuk memulihkan tenaga,” ucap dokter tersebut yang kemudian pergi meninggalkan ruangan. “Dasar wanita gila!” “Sudah sakit-sakitan, gak bisa kasih keturunan, bisanya nyusahin saja!” “Beruntung Rosa masih mau rawat kamu!” umpat wanita paruh baya yang tadi masuk ke ruangan dengan tergopoh. Wanita paruh baya itu merupakan Ibu mertua Wilona. “Merawat? Wanita gila itu mau merawatku? Bukankah aku berada di sini karena ulahnya?” monolog Wilona dalam hati. “Lebih baik Bram menikah dengan Rosa saja, dari pada dengan kamu yang selalu membawa sial buat keluarga!” “Ayo Rosa, kita keluar saja, biarkan dia, tidak usah kamu rawat lagi!” ucap Mama Arina, beliau merangkul pundak Rosa dan berjalan keluar ruangan. “Hah, bukankah Mas Bram dan Rosa memang sudah menikah?” monolog Wilona dalam hati yang semakin kebingungan. “Sabar ya Bu,” ucap Rani sembari mengelus pundak Wilona, yang juga seketika menyadarkan Wilona dari lamunannya. “Raka, Rani, anak-anak yang selalu aku sia-siakan dan tidak pernah aku perhatikan, tapi mereka berdua terus merawatku dengan baik, juga sangat perhatian padaku,” monolog Wilona dalam hati lagi sembari memandang Raka dan Rani secara bergantian. Tes. Hingga tidak terasa, butiran air matanya tiba-tiba saja terjatuh. “Ibu, apa Ibu sedang kesakitan?” tanya Raka sembari memegang tangan Wilona yang tadi terluka. Wilona pun hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan. “Ah, benar!” “Apa aku bisa meminjam handphone?” tanya Wilona yang lagi-lagi memaksa duduk meskipun kepalanya masih terasa berat. “Handphone?” tanya Raka. “Iya, pinjam handphone kalian,” ucap Wilona lagi. “Kami mana punya handphone bu,” sahut Rani. “Bukankah aku sudah membelikan kalian handphone tempo hari,” ucap Wilona. “Kapan Ibu membelikan handphone untuk kami?” tanya Raka sembari mengerutkan keningnya. “Ibu lebih baik istirahat dulu,” ucap Rani. Ceklek. “Sayang, apa kamu baik-baik saja?” “Mas Bram,” ucap Wilona sembari berhambur ke pelukan Bramasta, yang secepat kilat sudah berada di pinggir ranjang. “Maaf, karena aku sudah mengganggu Bapak saat bekerja,” ucap Rani lirih sembari menundukkan kepalanya. “Tidak apa, kamu melakukan hal yang benar,” ucap Bramasta. “Kamu tadi menelepon Mas Bram?” tanya Wilona sembari menatap ke arah Rani, tanpa melepas pelukannya. “Iya bu, maaf,” ucap Rani dengan terus tertunduk, seakan merasa takut dan juga bersalah. “Katanya tadi kamu gak punya handphone?” tanya Wilona dengan tatapan penuh menyelidik. “Aku tadi menggunakan telepon rumah sakit,” jawab Rani. “Mereka berdua kan memang tidak punya handphone sayang, tapi mereka hafal dengan nomor telepon kita,” jelas Bramasta yang seketika membuat Wilona melepaskan pelukannya. “Iyakah? Bukankah aku sudah membelikan handphone pada mereka berdua?” tanya Wilona dengan sangat penasaran. “Membelikan mereka berdua handphone? Sejak kapan kamu perhatian dengan mereka berdua, hmm?” tanya Bramasta yang semakin membuat Wilona sangat kebingungan. “Kenapa? Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanya Bramasta setelah melihat ekspresi istrinya yang sangat kebingungan. “Kenapa semua kejadian hari ini sangat aneh?” monolog Wilona dalam hati. “Kalau begitu, aku pinjam handphone kamu,” ucap Wilona yang langsung dituruti oleh Bramasta, karena memang tidak ada hal apapun yang disembunyikan oleh Bramasta, maka dari itu dia tidak keberatan untuk meminjamkan handphonenya. “Sayang … Apa kamu salah set tanggal?” “Kenapa tahun 2021?” tanya Wilona dengan terus melihat layar ponsel Bramasta. “Ya memang sekarang tahun 2021 sayang,” jawab Bramasta sembari duduk di sebelah ranjang, sedangkan Rani mengambil botol air mineral untuk diberikan pada Bramasta. “2021? Bukakah sekarang tahun 2025?” tanya Wilona. Tujuan Wilona meminjam handphone memang untuk melihat tanggal hari itu. “Sayang, apa kamu pikir kamu berasal dari masa depan?” tanya Bramasta yang membuat Raka dan Rani tersenyum tipis. Wilona segera membuka aplikasi kalender, dan hasilnya masih sama, yaitu menunjukkan tahun 2021. “Ibu, apa Ibu masih belum sadar sepenuhnya? Sekarang memang tahun 2021 bu,” ucap Raka sembari menunjukkan kalender yang ada di atas nakas. Dengan segera, Wilona menyambar kalender tersebut dan membalik setiap lembar, tapi yang dia dapat hanya angka 2021, tidak ada angka 2025 di sana. “Ssst …” Wilona mendesis sembari memegang kepalanya yang semakin berat. Lambat laun pandangannya kabur dan semakin lama semakin gelap. Tap. Bugh. “Ibu … ” “Sayang … ” Wilona sudah tidak bisa melihat apapun lagi, hanya suara Bramasta, Raka dan Rani yang masih terdengar, mereka terdengar kebingungan dan juga panik memanggil dokter, tapi suara-suara itu pun semakin lama juga tidak terdengar lagi oleh Wilona.Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata, kali ini dia melihat ke sekeliling dan mendapati bahwa hari sudah gelap. Wilona terus berusaha duduk sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat.Wilona melihat kesana dan kemari, ia mendapati bahwa Raka dan Rani tengah tidur di sofa, sedangkan Bramasta tidak ada di ruangan. “Sssst … kemana Mas Bram ini,” gumam Wilona dengan menahan rasa sakit.Wilona menyibakkan selimutnya dan berusaha turun dari ranjang rumah sakit, dengan terhuyung-huyung dia mencoba berjalan keluar ruangan sembari memegang tongkat, yang digunakan untuk mengaitkan infus. “Permisi, sekarang tanggal berapa ya?” tanya Wilona pada seseorang yang sedang duduk santai di depan ruangan sebelah Wilona.“Sekarang tanggal 17 Juni,” jawab orang tersebut sembari melihat telepon genggamnya.“Emb … apa sekarang tahun 2021?” tanya Wilona dengan ragu.“Iya, sekarang memang tahun 2021,” jawab orang tersebut dengan yakin.“Baik, terima kasih,” ucap Wilona sembari sedikit membungkukkan ba
"Ibu,""Ibu dari mana saja?" Saat Wilona berjalan menyusuri lorong, dia mendengar suara yang tidak asing."Rani," ucap Wilona."Ibu dari mana? Kami semua mencari Ibu dari tadi," tanya Rani sembari berjalan menghampiri Wilona dan berusaha memapahnya. Wilona pun mengulas senyum tipis pada Rani."Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Wilona setelah mereka berdua terpaku beberapa saat."Aku ... aku belum pernah melihat Ibu tersenyum padaku dengan tulus," jawab Rani dengan sedikit ragu."Benarkah?" tanya Wilona."Emmb," jawab Rani sembari mulai berjalan."Apa aku dulu sejahat itu?" tanya Wilona lagi."Ibu tidak jahat, Ibu sangat baik, hanya saja keadaan yang merubah Ibu dari ceria menjadi murung," jawab Rani dengan terus memapah lengan Wilona."Keadaan? Keadaan yang seperti apa?" tanya Wilona."Apa Ibu sudah lupa?" tanya Rani."Kalau bisa ... memang sebaiknya Ibu melupakan hal-hal yang buruk, jadi Ibu bisa kembali menjadi diri Ibu sendiri," lanjut Rani."Entahlah, apa itu memang lebih
"Sayang, ini aku bawakan handphone kamu, agar kamu tidak bosan selama menjalani perawatan disini," ucap Bramasta mencoba mencairkan suasana, setelah keadaan menjadi kikuk sejenak. "Oh iya, aku memang sangat membutuhkannya," ucap Wilona sembari menerima handphone tersebut. "Sebentar lagi aku akan pulang, karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, mereka berdua yang akan menjagamu," "Apa tidak masalah?" tanya Bramasta. "Emb, tentu saja tidak masalah, terima kasih karena kamu selalu bekerja keras untuk keluarga, jangan lupa makan dan istirahat," ucap Wilona sembari mengulas senyum manis. "Tentu saja, kamu juga makan yang banyak ya, agar segera pulih dan bisa segera kembali ke rumah," ucap Bramasta sembari mengecup kening istrinya. Wilona pun mengangguk dan tersenyum dengan perlakuan Bramasta tersebut. *** Beberapa saat kemudian setelah kepergian Bramasta, Raka dan Rani pun masuk ke ruangan Wilona. "Dari mana kalian?" tanya Wilona. "Kami hanya di luar Bu," jawab Raka. "Kenap
Keesokan harinya."Hais, rasanya malas sekali aku harus pura-pura baik pada keluarga ini," gerutu Rosa sembari berjalan di lorong rumah sakit."Kalau bukan karena harta mas Bram yang berlimpah dan tidak akan habis sampai 7 turunan, aku tidak akan mau melayani mereka." "Lebih-lebih melayani istrinya, demi mendapatkan restu, agar aku bisa menikah dengan Mas Bram, aku harus rela masak dan membawakan makanan untuk istrinya itu, huft." Rosa terus menggerutu sembari membawa rantang yang berisi makanan, yang akan diberikan pada Wilona."Lagian itu perempuan nyawanya banyak banget ya, aku sudah melakukan banyak cara untuk mencelakainya, tapi dia masih saja selamat." "Kalau dia mampus kan enak, tidak perlu lagi untuk mengemis restu darinya." "Lagian Mas Bram juga cinta gila banget sih sama dia, apa dia benar bisa menerimaku jadi istrinya nanti?""Hais, sudahlah, yang pasti aku akan terus berusaha untuk menggodanya, toh aku juga lebih montok kan dari pada istrinya itu," ucap Rosa dengan penu
"Apa kamu sudah ingat, bahwa kamu masih mempunyai istri?" tanya Wilona saat mendapati Bramasta baru saja masuk ke kamar. Saat ini Wilona sudah mengenakan piyama, berbaring di atas ranjang sembari memainkan ponselnya. "Sayang ... aku hanya menolongnya sebagai tamu," jawab Bramasta sembari duduk di ujung ranjang. "Sayang, apa kamu harus berbuat sejauh itu? Kenapa perbuatanmu tidak mencerminkan sebagai wanita yang bermartabat?" cecar Bramasta. "Bermartabat?" "Justru aku sedang melindungi martabatku, bagaimana bisa aku diam saja saat suamiku dijodohkan dengan wanita lain?" "Bak air susu dibalas dengan air tuba, semua kebaikan yang sudah aku berikan padanya, sepertinya itu tidak berarti apa-apa kan?" jelas Wilona. "Hmm, ya, cukup masuk akal," "Lagi pula sekeras apapun Mama dan Rosa memaksa, jika kamu tidak setuju, maka pernikahan itu juga tidak akan pernah terjadi," "Bukankah selama ini aku memang hanya badut bagimu?" tanya Bramasta dengan tetap memunggungi Wilona. "Badut?" "
"Bagaimana hasilnya? Kalian berdua sehat kan? Bisa segera program hamil kan?" cecar Mama Arina saat baru saja Wilona membuka pintu."Entahlah," jawab Wilona dengan cuek, sembari dia terus berjalan masuk."Apa maksud kamu entahlah?" Mama Arina mengekor di belakang Wilona."Dari dulu aku tidak begitu peduli dengan keturunan, kenapa Mama selalu mendesakku?" tanya Wilona sembari dia duduk di ruang makan, Rani pun segera menuangkan air putih untuk Wilona."Apa sih yang kamu bicarakan? Bukankah kamu sudah sepakat untuk mencoba?""Dan kata Rani, kamu tadi pergi ke dokter untuk mengambil hasil tes pemeriksaan kalian tempo hari?" cecar Mama Arina tidak mau menyerah."Aku tadi memang pergi ke dokter, tapi bukan untuk mengambil hasil tes," ucap Wilona."Lalu?" sahut Mama Arina."Emb ... aku pergi untuk membatalkan tes yang kita lakukan tempo hari," jawab Wilona tanpa merasa bersalah.Brak!"Gila kamu ya!" sentak Mama Arina, bahkan beliau juga menggebrak meja."Kenapa? ini tubuhku, terserah aku m
Malam hari.Tap.Tap.Tap."Nyonya Wilona?" sapa seorang pelayan restoran, saat Wilona baru saja sampai di depan pintu sebuah restoran."Iya," jawab Wilona dengan ramah."Silahkan, tuan Bramasta sudah menunggu," ucap pelayan tersebut.Pelayan itu pun segera menunjukkan jalan dan Wilona mengekor di belakangnya.Tadi siang, saat Wilona tengah bersantai di taman sebelah kolam renang, tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Bramasta, bahwa Bramasta akan mengajaknya untuk makan malam disebuah restoran."Apa tempat ini di sewa?" tanya Wilona saat dia mendapati bahwa tidak ada pengunjung lain di restoran tersebut."Benar Nyonya, tuan Bramasta melakukan reservasi tadi pagi," jawab pelayan tersebut dengan tersenyum ramah."Apa semua ini juga disiapkan olehnya?" tanya Wilona lagi, karena di sepanjang dia berjalan, sangat banyak sekali bunga mawar, baik di meja, kursi, dinding, bahkan di lantai juga bertaburan banyak bunga mawar, tidak lupa juga dengan banyak lilin."Benar Bu," "Itu, tuan Bramasta
"Selamat pagi," sapa Wilona sembari menuruni anak tangga."Pagi ... " jawab semua orang secara serentak."Kenapa pagi-pagi kamu sudah rapi?" tanya Bramasta."Kan aku sudah bilang, kalau aku mau bekerja lagi," jawab Wilona yang sudah sampai di meja makan dan segera duduk."Mbak, apa Mbak memang perlu bekerja lagi?" tanya Rosa yang tentu saja sudah menjadi anggota keluarga saat ini, bahkan juga tinggal satu atap."Kenapa Ros? Apa kamu keberatan? Bukankah kamu sudah menandatangani syarat untuk menikah dengan Mas Bram tempo hari?" cecar Wilona."Bukan begitu Mbak, Mbak kan sudah berhenti bekerja selama beberapa tahun, takutnya nanti Mbak malah sudah lupa dengan semua yang biasa dikerjakan di kantor, malah repot nanti kalau Mbak harus belajar lagi,""Lebih baik Mbak di rumah saja, mengurusi urusan rumah, bukankah itu sudah menjadi keahlian Mbak Ona," sindir Rosa."Tenang saja, aku adalah orang yang cerdas, tidak mungkin aku melupakan semua tentang urusan kantor, lagi pula di rumah kan suda
"Memangnya Wilona tahu dari mana kalau kita bisa melawan Rosa pakai daun kelor, dia aja gak pernah pergi ke dukun!" hardik Mama Risma. Pagi itu, Rani segera pergi ke kediaman Mama Risma untuk mengajaknya berbelanja bahan yang disuruh oleh Wilona ke pasar, sekalian juga memberi kabar Mama Risma, bahwa putrinya baik-baik saja."Ada Ma di buku catatannya Bu Rosa, lengkap dari ritual sampai pantangannya," jelas Rani."Oh, jadi selain bermain santet, dia juga bermain susuk. Apa lagi yang dia mainkan?" tanya Mama Risma dengan penasaran."Guna-guna," jawab Rani singkat."Guna-guna?" gumam Mama Risma."Ayo Ma kita segera ke pasar untuk beli semua bahan dan kita segera eksekusi dia, biar dia tahu rasanya senjata makan tuan," ajak Rani dengan geram."Memangnya kamu tahu bentuknya daun kelor? Mama aja baru denger namanya barusan dari kamu," ucap Mama Risma."Lah? Mama juga gak tau? Aku kira Mama tahu, makannya aku mau ngajak Mama," gerutu Rani.Mama Risma terdiam sejenak, beliau mengambil ponsel
Bunga sampai di depan mansion Melisa, ada perasaan gelisah dan berkecamuk di sana, terlebih saat dia melihat pengawal Melisa yang selalu sigap. Dengan perasaan yang masih ragu, Bunga pun turun dari mobil, setelah sebelumnya menarik nafas panjang dan mencoba menguasai pikirannya sendiri."Aku hanya akan mencari ponselku yang kemarin hilang," ucap Bunga pada salah satu pengawal Melisa."Di mana?" tanya pengawal tersebut."Ya mana aku tahu, namanya juga hilang. Seingatku semalam aku hanya mendatangi atap dan juga pantai, tidak banyak ruangan yang aku kunjungi di sini," jelas Bunga."Aku akan memeriksanya di atap," ucap pengawal tersebut."Oke kalau begitu, aku akan menyusuri pantai," ucap Bunga yang kemudian pergi ke pantai, pantai tersebut ada di depan mansion.Bunga berjalan pelan sembari melihat laut, sesekali juga dia melihat ke mansion. "Bu Wilona ada di kamar yang mana ya," gumam Bunga sembari mengingat kejadian tadi malam, saat Wilona baru dibawa keluar oleh dua pengawal dalam kea
Bramasta datang ke Mansion Melisa dengan perasaan berkecamuk. BRAAAK! Tentu saja tidak ada lagi yang menahannya saat masuk ke mansion tersebut, karena semua anak buah Melisa sudah tahu, bahwa Bramasta adalah salah satu partner kerja Melisa. Begh! "Kenapa kamu melakukan itu?" Saat baru saja masuk ke mansion, Bramasta mendapati Melisa berdiri di ruang kerjanya. Bramasta segera masuk dan mencekik leher Melisa menggunakan satu tangan hingga Melisa memundurkan langkahnya dan berhenti karena menabrak meja. Merasakan bahwa tangan Bramasta semakin erat dan membuatnya kesulitan bernafas, Melisa segera meraih pistol yang memang ada di atas meja. Setelah mendapatkan pistol tersebut dengan susah payah, Melisa pun segera menodongkan pistol itu ke pelipis Bramasta. Mereka berdua sempat bersitegang sebentar dengan saling menatap. "Oke." Tepat saat Melisa hendak menarik pelatuknya, Bramasta melepaskan tangannya yang mencengkeram leher Melisa. Melisa mengatur nafas sejenak, dia menoleh ke arah
BRUUAAAKKK!!Raka, Debby, Firman dan Furi segera menoleh ke arah sumber suara. "Tolong selamatkan dia dulu, nanti aku akan kembali," ucap Bunga sembari membopong Alex dan juga memberi sesuatu dari sakunya ke Raka.Bunga segera meninggalkan villa Debby, sementara Debby, Firman dan Furi masih terpaku sembari melihat seorang pria yang tengah duduk di lantai dengan darah bercucuran di lengannya."Bukankah tadi itu adalah sekretarisnya Pak Bram?" tanya Furi dengan keheranan."Apa???" pekik Firman dan Debby secara bersamaan.Grep.Begh.Debby segera berjalan ke arah Raka dan mencekik lehernya dengan satu tangan, hal itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut. "Apa maksud kamu memberitahu villa ini pada sekretarisnya Bramasta?" tanya Debby dengan kesal."Atau kamu adalah pengkhianatnya sejak awal?" Debby tidak memberi celah untuk Raka menjelaskan."Lepaskan aku," ucap Raka dengan terbata dan mencari celah untuk bernafas."Lepaskan Debby." Firman segera beranjak dan mencoba menarik tan
Bramasta sampai di depan mansion, dia mengikuti arah yang diberikan oleh Melisa. Namun Bramasta terkejut, saat seseorang segera menodongkan senjata tepat ke mobil Bramasta, sehingga harus membuatnya mengangkat kedua tangan, untuk memberitahu, bahwa dia tengah bersih, tidak membawa senjata dan tidak mengancam.Bramasta menelan salivanya, dia melirik kesana dan kemari dengan keringat bercucuran yang sudah membasahi seluruh wajahnya."Apa benar alamat ini yang diberikan oleh Melisa? Atau ini jebakan?" monolog Bramasta dalam hati."Baik." Terdengar suara pria yang tadi menodongkan senjata sembari memegang telinganya yang tengah mengenakan earpiece dan terhubung dengan seseorang. Bramasta menggunakan kesempatan tersebut untuk melihat ke arah bawah jok mobil, memastikan bahwa dia saat ini juga membawa pistol."Maaf tuan." Tepat saat Bramasta hendak mengambil pistolnya, pria yang ada di hadapannya menurunkan senjata dan segera membuka pintu mobil Bramasta."Mari saya antar," ucap pria tersebu
Saat melirik ke sela pintu, Melisa mendapati Wilona tengah menatapnya ."Kamu sudah bangun?" tanya Melisa seraya membuka pintu. "Melisa ... " "Ada apa ini Mel? Kenapa kamu sampai mengotori tanganmu seperti ini?" tanya Wilona tanpa basa-basi. "Pasti kamu mencari benda ini kan?" tanya Melisa sembari melempar gelang milik Wilona, gelang tersebut sudah putus dan tentu saja Mati. "Aku tidak terkejut kamu menemukan gelang itu sebagai ancaman, karena kamu memang pintar," ucap Wilona. "Sekarang katakan, kenapa kamu harus menculikku seperti itu?" tanya Wilona dengan keadaan kedua tangan dan kaki yang masih terikat. Melisa yang sedari tadi masih berdiri di ambang pintu pun segera mendekati Wilona seraya mengeluarkan pisau kecil. "Hmm ... aku sebenarnya tidak punya alasan khusus untuk melakukan ini semua, aku hanya tidak suka saja melihatmu," jelas Melisa sembari memainkan pisau kecil tersebut di wajah Wilona. "Jangan main-main dengan benda itu Mel," ucap Wilona yang mulai tegang. "Apa
"HAI PACARNYA ROSA!" Pagi-pagi buta Wilona mencoba membuat keributan."PACARNYA ROSA, AKU HAUS NIH!" "APA KAMU TULI?"BRAAAK!"Apa sih? Pagi-pagi buta sudah berisik, bahkan matahari saja belum muncul!" gerutu Rama sembari membuka pintu dengan keras."Aku haus nih," keluh Wilona."Aku tidak boleh memberimu makan ataupun minum sama Rosa," ucap Rama."Bagaimana jika Rosa tidak segera kesini, lalu aku kehausan sampai dehidrasi dan meninggal?" "Kamu tidak mau berurusan dengan polisi kan?" "Kamu juga tahu aku mantan CEO kan? Tidak mungkin orang tidak mencariku jika aku tiba-tiba saja hilang." Wilona mencoba menyabotase pikiran Rama."Baiklah, baiklah, tapi kamu jangan kasih tahu Rosa kalau aku beri minum ya," ucap Rama."Tenang saja, aku pandai menyimpan rahasia," ucap Wilona dengan meyakinkan.Rama pun segera membuka satu botol air mineral yang masih tersegel."Nih," ucap Rama sembari menyodorkan botol air tersebut pada Wilona."Ayolah, tanganku sedang terikat ke belakang, bagaimana aku
Sayup-sayup Wilona mulai membuka matanya, dia merasa sangat pusing, serta pandangannya sedikit kabur, Wilona memperhatikan sekeliling, dia mendapati bahwa dirinya tengah berada di sebuah ruangan kumuh, kasur dari kapuk yang sudah berwarna kecoklatan, begitu juga dengan bantal dan guling."Arrgh ... " desis Wilona saat mendapati tangannya rupanya terikat ke belakang, saat ini dia dalam keadaan tidur menghadap ke samping."Biarkan saja dia di sini dulu." Mendengar ada suara, Wilona buru-buru menutup matanya kembali."Tapi pastikan ini akan baik-baik saja, aku tidak mau jika harus berurusan dengan polisi," ucap seorang pria."Tenang saja, semua yang aku lakukan tidak akan melibatkan polisi." "Rosa," monolog Wilona dalam hati, saat mendengar suara yang familiar di telinganya."Lalu siapa pria yang bersamanya? Kurasa itu bukan suara Bramasta," batin Wilona.Tit.Tit.Wilona segera menekan tombol yang ada di gelangnya, untuk memberikan sinyal pada Raka. Sejak banyak ancaman yang mengincar,
Pagi itu dengan pandangan yang belum terlalu jelas dan juga kepala yang sedikit pusing, Debby berjalan ke ruang makan untuk sarapan. Rupanya semalam setelah meredakan stresnya, Debby memutuskan untuk pulang, tidak menginap di apartemen Firman."Suara siapa itu?" gumam Debby. Sayup-sayup dia mendengar ada suara perempuan yang berasal dari meja makan, padahal dia hanya tinggal bersama kakek dan saudara laki-lakinya, tidak mungkin juga mereka mengobrol sangat akrab dengan pembantu.Degh.Dari kejauhan Debby sedikit terkejut, karena mendapati Melisa ada di ruang makan bersama sang kakek, Melisa juga melambaikan tangan pada Debby. Debby terus berjalan menghampiri tanpa membalas lambaian tangan tersebut."Duduklah, ayo kita sarapan bersama," ajak sang Kakek pada Debby.Debby segera duduk dan mulai makan, sementara Melisa melayani sang Kakek, mengambilkan nasi dan juga lauk."Debby, kenapa kamu tidak menyapa Melisa?" tanya sang Kakek."Kita sudah sering bertemu saat pertemuan bisnis Kakek,"