Keesokan harinya.
"Hais, rasanya malas sekali aku harus pura-pura baik pada keluarga ini," gerutu Rosa sembari berjalan di lorong rumah sakit. "Kalau bukan karena harta mas Bram yang berlimpah dan tidak akan habis sampai 7 turunan, aku tidak akan mau melayani mereka." "Lebih-lebih melayani istrinya, demi mendapatkan restu, agar aku bisa menikah dengan Mas Bram, aku harus rela masak dan membawakan makanan untuk istrinya itu, huft." Rosa terus menggerutu sembari membawa rantang yang berisi makanan, yang akan diberikan pada Wilona. "Lagian itu perempuan nyawanya banyak banget ya, aku sudah melakukan banyak cara untuk mencelakainya, tapi dia masih saja selamat." "Kalau dia mampus kan enak, tidak perlu lagi untuk mengemis restu darinya." "Lagian Mas Bram juga cinta gila banget sih sama dia, apa dia benar bisa menerimaku jadi istrinya nanti?" "Hais, sudahlah, yang pasti aku akan terus berusaha untuk menggodanya, toh aku juga lebih montok kan dari pada istrinya itu," ucap Rosa dengan penuh percaya diri. Sepanjang perjalanan dari lobby menuju ruang rawat Wilona, Rosa terus berbicara sendiri, hingga akhirnya dia sampai di ruangan yang dia tuju. "Lho? Kok gak ada siapa-siapa?" ucap Rosa dengan terkejut, saat mendapati ranjang ruangan tersebut kosong, bahkan sprei, bantal, dan selimut juga sudah tertata dengan rapi. "Eh, Sus," panggil Rosa saat mendapati ada suster yang tengah berjalan melewatinya. "Iya Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster tersebut. "Pasien yang ada di sini kemana ya?" tanya Rosa. "Oh, Ibu Wilona?" tanya Suster tersebut. "Iya, Ibu Wilona, kemana dia?" tanya Rosa dengan tergopoh. "Ibu Wilona sudah pulang, beliau juga sudah membayar semua administrasi," jawab Suster tersebut. "Ish, siapa yang memberikan izin dia keluar dari rumah sakit secepat ini," gerutu Ros yang kemudian berlari ke arah receptionist, bahkan dia juga meninggalkan bekal makanan yang tadinya akan diberikan pada Wilona begitu saja. *** Brak. "Jam berapa Wilona keluar dari rumah sakit?" Setelah sampai di lobby, dia segera menggebrak meja, hingga menyebabkan receptionist yang jaga di sana terkejut. "Eh, sebentar Bu, saya cek dulu, Bu Wilona ada di ruang apa sebelumnya?" tanya receptionist. "Dahlia," jawab Rosa sembari merogoh tasnya untuk mengambil telepon genggam. Receptionist pun memainkan jari lentiknya di atas keyboard. "Bu Wilona sudah keluar sejak tadi pagi subuh Bu," ucap Receptionist yang semakin membuat Rosa kalang kabut. Tuut ... Tuut .... Tuut .... "Hais ... kenapa tidak diangkat!" gerutu Rosa sembari memainkan ponselnya dengan geram, entah siapa yang tengah dia hubungi saat itu. Tanpa berterima kasih, Rosa pun segera berlari ke parkiran, masuk ke mobil dan melajukan mobilnya dengan cepat. *** "Sayang, kata Mama kamu sudah pulang?" tanya Bramasta. Rosa, Bramasta dan Mama Arina tiba di ruang makan secara bersamaan, sedangkan di sana sudah ada Wilona, Raka dan Rani. "Kenapa kamu bisa pulang secepat ini?" tanya Mama Arina, tentu saja saat Wilona masuk ke rumah, Mama Arina tidak mengetahuinya, karena beliau setiap harinya hanya sibuk arisan kesana kemari dengan geng sosialitanya. "Iya Kak, aku tadi ke rumah sakit lho, bahkan aku juga bela-belain bawa makanan yang aku masak sendiri untuk kakak." Kali ini Rosa yang berbicara. Wilona masih tetap duduk manis sembari menikmati apel yang baru saja dikupas oleh Rani. "Sayang ... kalau kamu memang mau pulang cepat kan bisa bilang, nanti Mas akan jemput dan urus semuanya," ucap Bramasta sembari duduk di sebelah Wilona, seketika itu juga Raka dan Rani mundur beberapa langkah. "Sayang, aku tidak ingin merepotkan kamu yang sedang bekerja," ucap Wilona dengan tersenyum. "Lagian ngapain Rosa ada di sini? Apa dia tidak punya rumah? Sehingga setiap hari dia harus datang kemari?" cecar Wilona sembari memicingkan matanya. "Ona! Jaga ucapan kamu! Kalau tidak ada Rosa, kamu kira siapa yang akan bawa kamu ke rumah sakit tempo hari!" bentak Mama Arina. "Tentu saja dia ada di rumah, karena memang dia yang menyebabkan aku celaka," monolog Wilona dalam hati. "Di rumah kan ada mobil, ada sopir, ada mereka berdua juga," ucap Wilona sembari menatap ke arah Raka dan Rani. "Sudahlah! Yang pasti kamu berhutang terima kasih pada Rosa," tegas Mama Arina. "Oh ya, karena kamu sudah ada di rumah, itu berarti kan kamu sudah sehat," "Lebih baik sekarang, cepat kamu tanda tangani surat izin untuk suamimu menikah lagi," ucap Mama Arina sembari duduk di dekat Bramasta. "Memangnya siapa yang bilang kalau aku akan mengizinkan Mas Bramasta untuk menikah lagi Ma?" tanya Wilona. "Wilona, kamu jangan egois dong, waktu lima tahun yang Mama berikan pada kamu sudah habis, dan sampai saat ini kamu belum bisa memberikan keturunan pada Bramasta," ucap Mama Arina. "Apa tujuan menikah hanya untuk keturunan saja?" "Bagaimana denganmu Mas?" tanya Wilona sembari menatap ke arah Bramasta. "Emmb ... Eh ... kalau aku sih masih tetap sabar aja, tidak masalah juga jika kita tidak bisa mempunyai anak." Ada keraguan dan juga senyum yang dipaksakan terlukis jelas di wajah Bramasta. "Bramasta! Kamu yang tegas dong jadi suami, Mama ini sudah semakin tua, Mama hanya ingin menimang cucu saja, apa itu sangat sulit bagi kalian?" cecar Mama Arina. "Wilona, lagian kan kamu juga sudah kenal dengan Rosa, tidak akan jadi masalah, jika dia yang menjadi madumu, dari pada kamu harus mencari madu yang lain, belum tentu nanti kamu bisa akur," jelas Mama Arina. Semua orang terdiam beberapa saat, hingga menyebabkan suasana menjadi hening. "Emmb ... sepertinya aku sudah punya solusi," celetuk Wilona yang membuat semua orang tertuju padanya. "Bagaimana ... kalau aku dan Mas Bram bercerai saja," ucap Wilona. "Sayang ... " sahut Bramasta. "Kamu sudah gila ya! Aku tidak akan membiarkan kamu dan Bramasta bercerai dengan semudah itu!" sentak Mama Arina. "Dasar Wanita gila! Kenapa dia tidak membiarkan mereka berpisah saja, bukankah itu akan lebih mudah bagiku," monolog Rosa dalam hati mengatai calon mertuanya. "Kan yang Mama inginkan, Mas Bram bisa menikah dengan Rosa, kalau begitu biarkan aku dan Mas Bram bercerai saja Ma," tegas Wilona. "Tidak, aku tidak mau kita bercerai," sahut Bramasta. "Aku juga tidak akan membiarkan kalian bercerai, yang aku inginkan adalah cucu dari keturunan Bramasta, entah itu dari Rosa ataupun wanita lain, yang pasti Mama hanya menginginkan cucu!" teriak Mama Arina. "Hais, akan lebih sulit lagi jika sampai ada Wanita lain yang datang tiba-tiba menjadi saingan, kenapa sih mereka tidak ingin melepaskan Wilona, padahal sudah jelas-jelas dia pasti mandul," gerutu Rosa dalam hati. "Haduh ... Mama semakin pusing kalau seperti ini," "Heh, kalian berdua, jangan hanya berdiri saja, cepat ambilkan kami semua minum," suruh Mama Arina pada Raka dan Rani. "Biar aku saja," ucap Rosa sembari bergegas ke dapur. "Enak-enakan ya kalian berdua bisa tinggal di rumah mewah, kalian pikir yang perlu kalian layani hanya Wilona saja!" umpat Mama Arina, Wilona pun segera menoleh ke arah mereka berdua dan mengulas senyum, agar mereka tidak terlalu merasa terintimidasi. "Ingat ya kalian berdua! Kalian harus bekerja di sini seumur hidup, untuk menggantikan semua biaya sekolah kalian yang kami keluarkan!" tegas Mama Arina pada Raka dan Rani. Mereka berdua pun hanya bisa menundukkan kepala, tanpa ada keinginan untuk melawan. "Tenang ... selama ada Ibu Wilona, kami masih akan diperlakukan seperti manusia," monolog Rani dalam hati. Tidak lama kemudian, Rosa datang dengan membawa nampan, tentu saja dia bahkan sudah hafal letak perabotan di rumah tersebut. Satu per satu Rosa meletakkan gelas berisi air di dekat Mama Arina, Bramasta dan juga Wilona. Tap. Byur. Namun, saat dia meletakkan gelas di dekat Wilona, dengan cepat Wilona menyambar gelas tersebut dan mengguyurkan air ke kepala Rosa. "Wilona! Apa yang kamu lakukan?" teriak Mama Arina. "Emmb, aku hanya menguji kesabarannya, mungkin saja nanti dia benar-benar akan menjadi maduku, bukankah dia harus selalu menghormati ku," ucap Wilona dengan senyum tanpa bersalah, Rosa hanya bisa tetap tertunduk sembari mengepalkan tangannya. "Sabar Rosa ... sabar, sekarang masih belum giliranmu," monolog Rosa dalam hati. "Baiklah, Obrolan kita sampai disini dulu, aku mau istirahat untuk memulihkan tenaga ku," ucap Wilona yang kemudian berlalu meninggalkan mereka semua, dia tidak peduli pada pandangan Mama mertuanya yang begitu mengintimidasi. Mama Arina dan Bramasta segera mengelap rambut dan baju Rosa yang tengah basah, tanpa memperdulikan lagi kepergian Wilona. *** Tap. Tap. "Ibu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Rani dengan terkejut. Saat berjalan menuju kamar, tiba-tiba saja Wilona merasa bahwa kakinya sangat lemas, hingga dia hampir terjatuh, beruntung di belakangnya ada Raka dan Rani. "Tidak apa, aku baik-baik saja," "Hanya ... ini pertama kalinya aku berbicara tegas pada mereka bertiga," ucap Wilona dengan malu. "Bagaimana? Apa aku sudah terlihat keren?" gurau Wilona. "Ibu sangat keren sekali," ucap Rani dengan antusias. "Mari Bu, aku bantu," sementara Raka tidak merespon, karena lebih fokus pada memapah Wilona. "Seharusnya Ibu seperti itu dari dulu, agar Nyonya Rosa tidak bisa masuk ke sini," "Ssst ... diamlah." Raka seketika memotong ucapan Rani, agar tidak menuai keributan. sementara Wilona lagi-lagi tersenyum dengan tingkah Raka dan Rani. Rani pun segera ikut memapah Wilona menuju kamar, dia juga saling bertukar senyum dengan Wilona."Apa kamu sudah ingat, bahwa kamu masih mempunyai istri?" tanya Wilona saat mendapati Bramasta baru saja masuk ke kamar. Saat ini Wilona sudah mengenakan piyama, berbaring di atas ranjang sembari memainkan ponselnya. "Sayang ... aku hanya menolongnya sebagai tamu," jawab Bramasta sembari duduk di ujung ranjang. "Sayang, apa kamu harus berbuat sejauh itu? Kenapa perbuatanmu tidak mencerminkan sebagai wanita yang bermartabat?" cecar Bramasta. "Bermartabat?" "Justru aku sedang melindungi martabatku, bagaimana bisa aku diam saja saat suamiku dijodohkan dengan wanita lain?" "Bak air susu dibalas dengan air tuba, semua kebaikan yang sudah aku berikan padanya, sepertinya itu tidak berarti apa-apa kan?" jelas Wilona. "Hmm, ya, cukup masuk akal," "Lagi pula sekeras apapun Mama dan Rosa memaksa, jika kamu tidak setuju, maka pernikahan itu juga tidak akan pernah terjadi," "Bukankah selama ini aku memang hanya badut bagimu?" tanya Bramasta dengan tetap memunggungi Wilona. "Badut?" "
"Bagaimana hasilnya? Kalian berdua sehat kan? Bisa segera program hamil kan?" cecar Mama Arina saat baru saja Wilona membuka pintu."Entahlah," jawab Wilona dengan cuek, sembari dia terus berjalan masuk."Apa maksud kamu entahlah?" Mama Arina mengekor di belakang Wilona."Dari dulu aku tidak begitu peduli dengan keturunan, kenapa Mama selalu mendesakku?" tanya Wilona sembari dia duduk di ruang makan, Rani pun segera menuangkan air putih untuk Wilona."Apa sih yang kamu bicarakan? Bukankah kamu sudah sepakat untuk mencoba?""Dan kata Rani, kamu tadi pergi ke dokter untuk mengambil hasil tes pemeriksaan kalian tempo hari?" cecar Mama Arina tidak mau menyerah."Aku tadi memang pergi ke dokter, tapi bukan untuk mengambil hasil tes," ucap Wilona."Lalu?" sahut Mama Arina."Emb ... aku pergi untuk membatalkan tes yang kita lakukan tempo hari," jawab Wilona tanpa merasa bersalah.Brak!"Gila kamu ya!" sentak Mama Arina, bahkan beliau juga menggebrak meja."Kenapa? ini tubuhku, terserah aku m
Malam hari.Tap.Tap.Tap."Nyonya Wilona?" sapa seorang pelayan restoran, saat Wilona baru saja sampai di depan pintu sebuah restoran."Iya," jawab Wilona dengan ramah."Silahkan, tuan Bramasta sudah menunggu," ucap pelayan tersebut.Pelayan itu pun segera menunjukkan jalan dan Wilona mengekor di belakangnya.Tadi siang, saat Wilona tengah bersantai di taman sebelah kolam renang, tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Bramasta, bahwa Bramasta akan mengajaknya untuk makan malam disebuah restoran."Apa tempat ini di sewa?" tanya Wilona saat dia mendapati bahwa tidak ada pengunjung lain di restoran tersebut."Benar Nyonya, tuan Bramasta melakukan reservasi tadi pagi," jawab pelayan tersebut dengan tersenyum ramah."Apa semua ini juga disiapkan olehnya?" tanya Wilona lagi, karena di sepanjang dia berjalan, sangat banyak sekali bunga mawar, baik di meja, kursi, dinding, bahkan di lantai juga bertaburan banyak bunga mawar, tidak lupa juga dengan banyak lilin."Benar Bu," "Itu, tuan Bramasta
"Selamat pagi," sapa Wilona sembari menuruni anak tangga."Pagi ... " jawab semua orang secara serentak."Kenapa pagi-pagi kamu sudah rapi?" tanya Bramasta."Kan aku sudah bilang, kalau aku mau bekerja lagi," jawab Wilona yang sudah sampai di meja makan dan segera duduk."Mbak, apa Mbak memang perlu bekerja lagi?" tanya Rosa yang tentu saja sudah menjadi anggota keluarga saat ini, bahkan juga tinggal satu atap."Kenapa Ros? Apa kamu keberatan? Bukankah kamu sudah menandatangani syarat untuk menikah dengan Mas Bram tempo hari?" cecar Wilona."Bukan begitu Mbak, Mbak kan sudah berhenti bekerja selama beberapa tahun, takutnya nanti Mbak malah sudah lupa dengan semua yang biasa dikerjakan di kantor, malah repot nanti kalau Mbak harus belajar lagi,""Lebih baik Mbak di rumah saja, mengurusi urusan rumah, bukankah itu sudah menjadi keahlian Mbak Ona," sindir Rosa."Tenang saja, aku adalah orang yang cerdas, tidak mungkin aku melupakan semua tentang urusan kantor, lagi pula di rumah kan suda
"Kenapa lampu ruangan kamu masih menyala?" tanya Furi yang juga baru saja menyelesaikan pekerjaannya, saat dia hendak pergi, dia melihat lampu di ruangan Wilona masih menyala, maka dari itu Furi memutuskan untuk mengecek."Aku harus lembur," jawab Wilona."Kamu sendiri kenapa belum pulang?" tanya Wilona."Aku harus menyelesaikan semua pekerjaanku, sebelum aku kembali mengabdi padamu paduka," jawab Furi yang seketika membuat Wilona mengulas senyum."Kamu tidak harus menyelesaikannya dalam semalam semua map yang aku kasih tadi," ucap Furi."Aku tidak sedang mengecek map dari kamu," ucap Wilona."Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Furi sembari duduk di hadapan Wilona."Aku sedang membuat proposal untuk kerja sama dengan grup Salim," jawab Wilona."Apa kamu sudah tahu?" tanya Furi dengan terkejut."Tidak, Rosa yang menyuruhku membuat ini," jawab Wilona."Hais, dasar wanita gila," gerutu Furi."Emb, aku tahu kamu memang pekerja keras, tapi ..." "Tapi apa?" tanya Wilona."Pikirkanlah juga
"Apa belum berkumpul semua?" tanya Wilona yang baru saja memasuki cafe, serta melihat Furi dan beberapa karyawan di sana."Sudah," jawab Furi sembari membungkukkan sedikit tubuhnya dengan sopan, karena dia menghormati Wilona sebagai atasannya."Apa?" Wilona pun terkejut dengan jawaban Furi, karena dia mendapati hanya ada 7 karyawan saja di sana."Memang hanya mereka saja yang bertahan," bisik Furi.Tap.Wilona pun segera duduk dan tersenyum pada mereka semua, para karyawan itu pun juga menunduk dengan segan. "Wajah-wajah tidak asing," ucap Wilona."Apa kalian semua masih mengingatku?" tanya Wilona."Tentu saja Bu, kami sangat senang sekali saat mendengar Ibu kembali ke kantor," jawab salah seorang karyawan."Apa Ibu sehat?" tanya karyawan lain."Tentu saja, aku sangat sehat dan tetap cantik," jawab Wilona dengan sedikit mengulas senyum, untuk meminimalisir kecanggungan diantara mereka.Meskipun Wilona nampak sangat dingin dan juga berekspresi datar, tapi para karyawan sangat senang da
Krincing."Kalian masih di sini?" tanya Rosa yang baru saja masuk ke cafe tempat Wilona makan siang tadi."Apa urusannya denganmu?" tanya Wilona dengan nada datar, juga dengan tetap memainkan ponselnya."Rugi dong cafe ini, jika kamu di sini seharian," ucap Rosa yang kemudian ikut duduk di tempat Wilona."Aku sudah menyewanya satu hari, jangan banyak cing cong," ucap Wilona."Apa kamu sudah berhasil menghubungi grup Salim?" tanya Rosa dengan nada mengejek. Wilona meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menarik nafas dalam sembari melihat ke arah Rosa dengan kesal."Taraaam ..." "Aku sudah berhasil membuat janji," ucap Rosa dengan tersenyum, sembari menyodorkan ponselnya ke arah Wilona.Wilona dan Furi pun segera mendekatkan kepala mereka untuk melihat pesan di ponsel Rosa lebih dekat dan lebih jelas."Nih, baca aja sendiri." Rosa meletakan ponselnya di meja."Secepat itu?" tanya Wilona seakan tidak percaya, sementara Furi segera mencatat tempat pertemuan mereka, serta nomor telepon
"Berpikir Wilona, berpikirlah dengan cepat," monolog Wilona dalam hati.Pria tadi segera berjalan ke arah sofa mengikuti Wilona. "Eh tunggu, aku tadi kan haus, cepat pesankan aku minum dulu, bagaimana aku bisa melayani kalian dengan baik, jika tubuhku lemas seperti ini.""Pasti tidak akan menyenangkan bukan?" tanya Wilona sembari memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah semua pria tadi."Cepat kalian pesan minuman," suruh pria yang mereka panggil 'Bos'."Oh, ternyata dia yang membawa kunci," batin Wilona dengan memandangi sekeliling agar tidak menimbulkan kecurigaan.Karena dia saat ini sedang berusaha mengulur waktu, Wilona pun berjalan ke arah meja makan, dia mengurungkan niatnya untuk duduk di sofa.Wilona memperhatikan sekeliling dan melihat ada CCTV di mana-mana. "Hmb, tidak mungkin para karyawan tidak tahu kejadian di sini, kecuali mereka memang sudah disuap sehingga mereka menutup mata," monolog Wilona dalam hati.Ceklek.Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa mi
"Permisi," ucap petugas kebersihan yang ada di perusahaan pink, saat ini dia tengah mencoba mengetuk pintu ruangan CCTV."Ada apa?" tanya seorang petugas yang baru saja membuka pintu."Ini, aku bawakan minuman untuk kalian, ada salah satu orang perusahaan yang bagi-bagi," jelas seorang paruh baya yang menjadi petugas kebersihan tersebut."Wah ... kebetulan sekali, kami sedang mengantuk, makasih ya Bu," ucap petugas CCTV tersebut dengan ramah sembari menerima 2 gelas es cappucino."Bekerjalah dengan baik, jangan sampai kamu ketiduran," ucap petugas kebersihan tersebut sembari mendorong trolinya dan pergi dari sana. 2 petugas CCTV pun segera menyeruput es cappucino tersebut hingga habis setengah gelas, sepertinya mereka benar-benar kehausan."Satu ... " "Dua ... ""Tiga ... "Sementara itu, Furi yang berada di balik tembok, dia terus menghitung dengan menggunakan jarinya, juga sembari memainkan kakinya."Lima puluh sembilan." Setelah menghitung hingga satu menit, Furi pun segera berjal
"Memangnya Wilona tahu dari mana kalau kita bisa melawan Rosa pakai daun kelor, dia aja gak pernah pergi ke dukun!" hardik Mama Risma. Pagi itu, Rani segera pergi ke kediaman Mama Risma untuk mengajaknya berbelanja bahan yang disuruh oleh Wilona ke pasar, sekalian juga memberi kabar Mama Risma, bahwa putrinya baik-baik saja."Ada Ma di buku catatannya Bu Rosa, lengkap dari ritual sampai pantangannya," jelas Rani."Oh, jadi selain bermain santet, dia juga bermain susuk. Apa lagi yang dia mainkan?" tanya Mama Risma dengan penasaran."Guna-guna," jawab Rani singkat."Guna-guna?" gumam Mama Risma."Ayo Ma kita segera ke pasar untuk beli semua bahan dan kita segera eksekusi dia, biar dia tahu rasanya senjata makan tuan," ajak Rani dengan geram."Memangnya kamu tahu bentuknya daun kelor? Mama aja baru denger namanya barusan dari kamu," ucap Mama Risma."Lah? Mama juga gak tau? Aku kira Mama tahu, makannya aku mau ngajak Mama," gerutu Rani.Mama Risma terdiam sejenak, beliau mengambil ponsel
Bunga sampai di depan mansion Melisa, ada perasaan gelisah dan berkecamuk di sana, terlebih saat dia melihat pengawal Melisa yang selalu sigap. Dengan perasaan yang masih ragu, Bunga pun turun dari mobil, setelah sebelumnya menarik nafas panjang dan mencoba menguasai pikirannya sendiri."Aku hanya akan mencari ponselku yang kemarin hilang," ucap Bunga pada salah satu pengawal Melisa."Di mana?" tanya pengawal tersebut."Ya mana aku tahu, namanya juga hilang. Seingatku semalam aku hanya mendatangi atap dan juga pantai, tidak banyak ruangan yang aku kunjungi di sini," jelas Bunga."Aku akan memeriksanya di atap," ucap pengawal tersebut."Oke kalau begitu, aku akan menyusuri pantai," ucap Bunga yang kemudian pergi ke pantai, pantai tersebut ada di depan mansion.Bunga berjalan pelan sembari melihat laut, sesekali juga dia melihat ke mansion. "Bu Wilona ada di kamar yang mana ya," gumam Bunga sembari mengingat kejadian tadi malam, saat Wilona baru dibawa keluar oleh dua pengawal dalam kea
Bramasta datang ke Mansion Melisa dengan perasaan berkecamuk. BRAAAK! Tentu saja tidak ada lagi yang menahannya saat masuk ke mansion tersebut, karena semua anak buah Melisa sudah tahu, bahwa Bramasta adalah salah satu partner kerja Melisa. Begh! "Kenapa kamu melakukan itu?" Saat baru saja masuk ke mansion, Bramasta mendapati Melisa berdiri di ruang kerjanya. Bramasta segera masuk dan mencekik leher Melisa menggunakan satu tangan hingga Melisa memundurkan langkahnya dan berhenti karena menabrak meja. Merasakan bahwa tangan Bramasta semakin erat dan membuatnya kesulitan bernafas, Melisa segera meraih pistol yang memang ada di atas meja. Setelah mendapatkan pistol tersebut dengan susah payah, Melisa pun segera menodongkan pistol itu ke pelipis Bramasta. Mereka berdua sempat bersitegang sebentar dengan saling menatap. "Oke." Tepat saat Melisa hendak menarik pelatuknya, Bramasta melepaskan tangannya yang mencengkeram leher Melisa. Melisa mengatur nafas sejenak, dia menoleh ke arah
BRUUAAAKKK!!Raka, Debby, Firman dan Furi segera menoleh ke arah sumber suara. "Tolong selamatkan dia dulu, nanti aku akan kembali," ucap Bunga sembari membopong Alex dan juga memberi sesuatu dari sakunya ke Raka.Bunga segera meninggalkan villa Debby, sementara Debby, Firman dan Furi masih terpaku sembari melihat seorang pria yang tengah duduk di lantai dengan darah bercucuran di lengannya."Bukankah tadi itu adalah sekretarisnya Pak Bram?" tanya Furi dengan keheranan."Apa???" pekik Firman dan Debby secara bersamaan.Grep.Begh.Debby segera berjalan ke arah Raka dan mencekik lehernya dengan satu tangan, hal itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut. "Apa maksud kamu memberitahu villa ini pada sekretarisnya Bramasta?" tanya Debby dengan kesal."Atau kamu adalah pengkhianatnya sejak awal?" Debby tidak memberi celah untuk Raka menjelaskan."Lepaskan aku," ucap Raka dengan terbata dan mencari celah untuk bernafas."Lepaskan Debby." Firman segera beranjak dan mencoba menarik tan
Bramasta sampai di depan mansion, dia mengikuti arah yang diberikan oleh Melisa. Namun Bramasta terkejut, saat seseorang segera menodongkan senjata tepat ke mobil Bramasta, sehingga harus membuatnya mengangkat kedua tangan, untuk memberitahu, bahwa dia tengah bersih, tidak membawa senjata dan tidak mengancam.Bramasta menelan salivanya, dia melirik kesana dan kemari dengan keringat bercucuran yang sudah membasahi seluruh wajahnya."Apa benar alamat ini yang diberikan oleh Melisa? Atau ini jebakan?" monolog Bramasta dalam hati."Baik." Terdengar suara pria yang tadi menodongkan senjata sembari memegang telinganya yang tengah mengenakan earpiece dan terhubung dengan seseorang. Bramasta menggunakan kesempatan tersebut untuk melihat ke arah bawah jok mobil, memastikan bahwa dia saat ini juga membawa pistol."Maaf tuan." Tepat saat Bramasta hendak mengambil pistolnya, pria yang ada di hadapannya menurunkan senjata dan segera membuka pintu mobil Bramasta."Mari saya antar," ucap pria tersebu
Saat melirik ke sela pintu, Melisa mendapati Wilona tengah menatapnya ."Kamu sudah bangun?" tanya Melisa seraya membuka pintu. "Melisa ... " "Ada apa ini Mel? Kenapa kamu sampai mengotori tanganmu seperti ini?" tanya Wilona tanpa basa-basi. "Pasti kamu mencari benda ini kan?" tanya Melisa sembari melempar gelang milik Wilona, gelang tersebut sudah putus dan tentu saja Mati. "Aku tidak terkejut kamu menemukan gelang itu sebagai ancaman, karena kamu memang pintar," ucap Wilona. "Sekarang katakan, kenapa kamu harus menculikku seperti itu?" tanya Wilona dengan keadaan kedua tangan dan kaki yang masih terikat. Melisa yang sedari tadi masih berdiri di ambang pintu pun segera mendekati Wilona seraya mengeluarkan pisau kecil. "Hmm ... aku sebenarnya tidak punya alasan khusus untuk melakukan ini semua, aku hanya tidak suka saja melihatmu," jelas Melisa sembari memainkan pisau kecil tersebut di wajah Wilona. "Jangan main-main dengan benda itu Mel," ucap Wilona yang mulai tegang. "Apa
"HAI PACARNYA ROSA!" Pagi-pagi buta Wilona mencoba membuat keributan."PACARNYA ROSA, AKU HAUS NIH!" "APA KAMU TULI?"BRAAAK!"Apa sih? Pagi-pagi buta sudah berisik, bahkan matahari saja belum muncul!" gerutu Rama sembari membuka pintu dengan keras."Aku haus nih," keluh Wilona."Aku tidak boleh memberimu makan ataupun minum sama Rosa," ucap Rama."Bagaimana jika Rosa tidak segera kesini, lalu aku kehausan sampai dehidrasi dan meninggal?" "Kamu tidak mau berurusan dengan polisi kan?" "Kamu juga tahu aku mantan CEO kan? Tidak mungkin orang tidak mencariku jika aku tiba-tiba saja hilang." Wilona mencoba menyabotase pikiran Rama."Baiklah, baiklah, tapi kamu jangan kasih tahu Rosa kalau aku beri minum ya," ucap Rama."Tenang saja, aku pandai menyimpan rahasia," ucap Wilona dengan meyakinkan.Rama pun segera membuka satu botol air mineral yang masih tersegel."Nih," ucap Rama sembari menyodorkan botol air tersebut pada Wilona."Ayolah, tanganku sedang terikat ke belakang, bagaimana aku
Sayup-sayup Wilona mulai membuka matanya, dia merasa sangat pusing, serta pandangannya sedikit kabur, Wilona memperhatikan sekeliling, dia mendapati bahwa dirinya tengah berada di sebuah ruangan kumuh, kasur dari kapuk yang sudah berwarna kecoklatan, begitu juga dengan bantal dan guling."Arrgh ... " desis Wilona saat mendapati tangannya rupanya terikat ke belakang, saat ini dia dalam keadaan tidur menghadap ke samping."Biarkan saja dia di sini dulu." Mendengar ada suara, Wilona buru-buru menutup matanya kembali."Tapi pastikan ini akan baik-baik saja, aku tidak mau jika harus berurusan dengan polisi," ucap seorang pria."Tenang saja, semua yang aku lakukan tidak akan melibatkan polisi." "Rosa," monolog Wilona dalam hati, saat mendengar suara yang familiar di telinganya."Lalu siapa pria yang bersamanya? Kurasa itu bukan suara Bramasta," batin Wilona.Tit.Tit.Wilona segera menekan tombol yang ada di gelangnya, untuk memberikan sinyal pada Raka. Sejak banyak ancaman yang mengincar,