"Ibu,"
"Ibu dari mana saja?" Saat Wilona berjalan menyusuri lorong, dia mendengar suara yang tidak asing. "Rani," ucap Wilona. "Ibu dari mana? Kami semua mencari Ibu dari tadi," tanya Rani sembari berjalan menghampiri Wilona dan berusaha memapahnya. Wilona pun mengulas senyum tipis pada Rani. "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Wilona setelah mereka berdua terpaku beberapa saat. "Aku ... aku belum pernah melihat Ibu tersenyum padaku dengan tulus," jawab Rani dengan sedikit ragu. "Benarkah?" tanya Wilona. "Emmb," jawab Rani sembari mulai berjalan. "Apa aku dulu sejahat itu?" tanya Wilona lagi. "Ibu tidak jahat, Ibu sangat baik, hanya saja keadaan yang merubah Ibu dari ceria menjadi murung," jawab Rani dengan terus memapah lengan Wilona. "Keadaan? Keadaan yang seperti apa?" tanya Wilona. "Apa Ibu sudah lupa?" tanya Rani. "Kalau bisa ... memang sebaiknya Ibu melupakan hal-hal yang buruk, jadi Ibu bisa kembali menjadi diri Ibu sendiri," lanjut Rani. "Entahlah, apa itu memang lebih baik?" tanya Wilona, tapi Rani sudah tidak menjawabnya, dia hanya menoleh ke arah Wilona sebentar dan mengulas senyum dengan manis. "Kalau tidak salah, di tahun ini, kamu dan kakakmu baru selesai melaksanakan ujian kan?" tanya Wilona. "Iya bu, hasilnya pun sudah keluar," jawab Rani. "Waktu itu kami berdua ingin menunjukkan hasil ujian kami pada Ibu, karena bagaimanapun juga, hanya Ibu yang selalu mendukung kami berdua," "Meskipun Ibu terlihat tidak peduli, tapi kami berdua tahu kalau Ibu lah yang sangat peduli dengan kami," "Namun, setelah beberapa lama kami mengetuk pintu kamar, tidak ada jawaban dari Ibu, akhirnya kami memberanikan diri untuk masuk, dan ternyata kami menemukan Ibu sudah tergeletak di bawah wastafel," "Kami tahu Ibu sangat tidak senang jika ada yang masuk ke kamar Ibu, maka dari itu sebelum Ibu mendengar cerita dari orang lain, lebih baik aku bercerita dahulu," terang Rani. "Jadi Bu, aku juga mewakili kakak untuk minta maaf karena lancang masuk ke kamar Ibu," ucap Rani dengan terus berjalan secara perlahan. "Apa aku memang sedisiplin itu dari dulu?" gumam Wilona yang suaranya masih bisa didengar oleh Rani, terlihat Rani hanya tersenyum tipis saja. "Kalau begitu, bagaimana hasil ujian kalian?" tanya Wilona mencoba mencairkan suasana. "Alhamdulillah Bu, kami lulus dengan nilai yang memuaskan," jawab Rani dengan sangat antusias. "Nanti, setelah Ibu sudah pulih dan pulang ke rumah, akan kami tunjukkan hasilnya," lanjut Rani. "Apa kalian sudah mendaftar ke perguruan tinggi?" tanya Wilona. "Bagaimana kami bisa mendaftar ke sana Bu?" tanya Rani dengan wajah datar. "Kenapa? Apa karena biaya?" tanya Wilona. "Bukankah aku akan sangat sanggup untuk membiayai kalian berdua? Apa aku tidak mau membiayai kalian?" cecar Wilona. Tap. "Bukan itu Bu, apa Ibu sudah benar-benar lupa semua?" tanya Rani sembari menghentikan langkahnya. "Lalu?" tanya Wilona dengan penasaran. "Nyonya Arina selalu merasa keberatan jika kami menempuh pendidikan lebih tinggi, bahkan jika itu menggunakan bea siswa. Nyonya Arina merasa bahwa kami berdua harus membayar semua biaya yang sudah Ibu berikan untuk sekolah kami, dengan bekerja di rumah tanpa digaji," jelas Rani. "Sampai kapan?" pekik Wilona. "Selamanya, sampai Nyonya Arina merasa itu cukup," jawab Rani. "Gila! Seingatku, bukankah kalian berdua bersekolah dengan aku ambilkan jatah pendidikan dari perusahaan?" tanya Wilona. "Tapi kan ... yang mengelola perusahaan Pak Bram, bukan Ibu," Jawab Rani. "Tapi kan ... " "Rani!" Teriakan Raka seketika menghentikan obrolan mereka berdua. "Rani," ucap Raka seakan memberikan kode. "Ibu, maafkan adikku, tolong jangan diambil hati semua ucapannya," kata Raka, dia juga membungkukkan badan dengan sopan. "Apa yang sedang kamu lakukan Raka?" tanya Wilona. "Aku tidak mau, jika Ibu dan Nyonya Arina terus berselisih paham karena kami berdua," jawab Raka. "Sudah, sudah, jangan seperti itu, ayo kita kembali ke ruangan dulu, aku sudah merasa sedikit kedinginan di luar," ucap Wilona. Dengan sigap Raka segera melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Wilona, begitupun dengan Rani yang segera melepas syalnya serta membalut leher Wilona dengan syal tersebut. Wilona pun merasa sangat senang dengan perlakuan mereka berdua. Mereka bertiga segera berjalan ke ruangan dengan saling mengulas senyum. *** Ceklek. "Sayang ... dari mana saja kamu?" Bramasta segera beranjak dari sofa dan menghampiri Wilona yang baru saja membuka pintu. "Kalian berdua ini bagaimana sih! Disuruh jaga Ibu malah enak-enakan tidur!" "Kalian pikir ini hotel!" teriak Bramasta dengan nada yang sedikit tinggi dan juga melotot. "Ma ... maafkan kami Pak," ucap Raka. "Maaf, maaf! Awas ya, kalau sampai terjadi sesuatu dengan Ibu!" ucap Bramasta. "Mas ... kenapa kamu bentak mereka?" "Aku hanya keluar sebentar untuk jalan-jalan, juga untuk meredakan rasa pusingku," ucap Wilona. "Kenapa kamu sampai membentak mereka seperti itu? Mereka tidak bersalah Mas," lanjut Wilona. "Eh maaf sayang, kamu pasti sangat lelah, ayo naik ke atas ranjang dan beristirahat," ajak Bramasta yang dengan segera mengambil alih memapah Wilona, dia juga melotot ke arah Raka dan Rani, seakan memberi kode bahwa Raka dan Rani harus menjauh, tentu saja hal itu tanpa sepengetahuan istrinya. Dengan perlahan, Raka dan Rani memundurkan langkahnya dan keluar dari ruangan. "Sayang ... kenapa kamu tidak bilang kalau ingin jalan-jalan? Apa kamu sudah baikan?" tanya Bramasta dengan lembut sembari memegang telapak tangan Wilona. "Mas, kenapa kamu tadi membentak mereka seperti itu? Mereka sampai takut untuk melihat wajahmu," tanya Wilona. "Aku ... Aku hanya khawatir saja dengan kamu sayang," jawab Bramasta memberikan alasan. "Tapi kan kamu tidak harus seperti itu Mas," dengus Wilona. "Iya sayang, Mas minta maaf ya," ucap Bramasta yang terkesan tidak ingin lagi berdebat. "Mas, kenapa kamu tidak mendaftarkan mereka berdua ke perguruan tinggi?" tanya Wilona. "Emb ... bukankah kita sudah membahasnya dan sepakat," jawab Bramasta. "Kita?" tanya Wilona dengan penasaran sembari menarik selimutnya. "Hmmb, bukankah kamu mengatakan bahwa tanggung jawabmu sudah selesai saat mereka lulus, kamu begitu benci dengan Mbok Sum, tapi kamu juga tidak ingin mengabaikan yang sudah kamu mulai, maka dari itu ... kamu membiarkan mereka tetap di rumah hingga mereka kelas 3 dan juga lulus." "Tapi ... " Bramasta menghentikan ucapannya. "Tapi apa Mas?" sahut Wilona. "Tapi karena mereka tidak punya rumah dan tidak punya saudara lagi, maka Mama memutuskan untuk mempekerjakan mereka saja di rumah, lumayan kan kita juga bisa berhemat, dari pada kita harus menyewa pembantu rumah tangga," jelas Bramasta. "Jadi maksud kamu ... mereka bekerja di rumah tanpa digaji?" tegas Wilona. "Jadi benar apa yang tadi diceritakan Rani," monolog Wilona dalam hati. "Mau bagaimana lagi, itung-itung juga untuk mengganti biaya pendidikan mereka, toh mereka juga masih bisa berteduh, masih punya kamar dan juga masih bisa makan, dari pada mereka harus keloyongan di jalan," terang Bramasta tanpa berperasaan. "Apa ini benar-benar Bramasta yang aku kenal?" monolog Wilona dalam hati dengan ekspresi yang terkejut. "Kenapa ekspresi kamu seperti itu? Bukankah kamu juga sudah menyetujuinya," ucap Bramasta yang seketika menyadarkan Wilona dari lamunannya. "Aku?" "Menyetujuinya ... ?" Wilona seakan tidak bisa mempercayai apa yang diucapkan oleh suaminya."Sayang, ini aku bawakan handphone kamu, agar kamu tidak bosan selama menjalani perawatan disini," ucap Bramasta mencoba mencairkan suasana, setelah keadaan menjadi kikuk sejenak. "Oh iya, aku memang sangat membutuhkannya," ucap Wilona sembari menerima handphone tersebut. "Sebentar lagi aku akan pulang, karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, mereka berdua yang akan menjagamu," "Apa tidak masalah?" tanya Bramasta. "Emb, tentu saja tidak masalah, terima kasih karena kamu selalu bekerja keras untuk keluarga, jangan lupa makan dan istirahat," ucap Wilona sembari mengulas senyum manis. "Tentu saja, kamu juga makan yang banyak ya, agar segera pulih dan bisa segera kembali ke rumah," ucap Bramasta sembari mengecup kening istrinya. Wilona pun mengangguk dan tersenyum dengan perlakuan Bramasta tersebut. *** Beberapa saat kemudian setelah kepergian Bramasta, Raka dan Rani pun masuk ke ruangan Wilona. "Dari mana kalian?" tanya Wilona. "Kami hanya di luar Bu," jawab Raka. "Kenap
Keesokan harinya."Hais, rasanya malas sekali aku harus pura-pura baik pada keluarga ini," gerutu Rosa sembari berjalan di lorong rumah sakit."Kalau bukan karena harta mas Bram yang berlimpah dan tidak akan habis sampai 7 turunan, aku tidak akan mau melayani mereka." "Lebih-lebih melayani istrinya, demi mendapatkan restu, agar aku bisa menikah dengan Mas Bram, aku harus rela masak dan membawakan makanan untuk istrinya itu, huft." Rosa terus menggerutu sembari membawa rantang yang berisi makanan, yang akan diberikan pada Wilona."Lagian itu perempuan nyawanya banyak banget ya, aku sudah melakukan banyak cara untuk mencelakainya, tapi dia masih saja selamat." "Kalau dia mampus kan enak, tidak perlu lagi untuk mengemis restu darinya." "Lagian Mas Bram juga cinta gila banget sih sama dia, apa dia benar bisa menerimaku jadi istrinya nanti?""Hais, sudahlah, yang pasti aku akan terus berusaha untuk menggodanya, toh aku juga lebih montok kan dari pada istrinya itu," ucap Rosa dengan penu
Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata. “Ssst … aw,” desis Wilona sembari memegang kepalanya yang terasa sangat berat, pemandangannya juga berkunang-kunang.Ceklek.“Kak Ona sudah sadar?” Terdengar suara seorang wanita yang sangat tidak asing ditelinga Wilona, baru saja membuka pintu.Wanita itu pun segera berjalan ke arah Wilona dengan antusias, juga dengan senyum yang merekah. Meskipun pandangan Wilona masih sedikit kabur, tapi dia tahu betul siapa gerangan wanita yang menghampirinya saat ini.“Kak Wilona sudah sadar?” tanya wanita itu lagi sembari memegang telapak tangan Wilona.Plak! Bruk!Dengan kepala yang masih terasa sangat berat dan pandangan tidak jelas, Wilona bangun dari tidurnya serta menampar wanita tersebut dengan kekuatan penuh, hingga dia tersungkur di bawah ranjang. “Aw, apa yang Kakak lakukan?” jerit wanita itu.“Pergi kamu! Pergi … ! Wilona berteriak sekencang-kencangnya.“Kak Ona, ini aku Rosa.” Wanita itu mencoba menenangkan Wilona sembari berusaha berdiri.“Perg
Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata, kali ini dia melihat ke sekeliling dan mendapati bahwa hari sudah gelap. Wilona terus berusaha duduk sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat.Wilona melihat kesana dan kemari, ia mendapati bahwa Raka dan Rani tengah tidur di sofa, sedangkan Bramasta tidak ada di ruangan. “Sssst … kemana Mas Bram ini,” gumam Wilona dengan menahan rasa sakit.Wilona menyibakkan selimutnya dan berusaha turun dari ranjang rumah sakit, dengan terhuyung-huyung dia mencoba berjalan keluar ruangan sembari memegang tongkat, yang digunakan untuk mengaitkan infus. “Permisi, sekarang tanggal berapa ya?” tanya Wilona pada seseorang yang sedang duduk santai di depan ruangan sebelah Wilona.“Sekarang tanggal 17 Juni,” jawab orang tersebut sembari melihat telepon genggamnya.“Emb … apa sekarang tahun 2021?” tanya Wilona dengan ragu.“Iya, sekarang memang tahun 2021,” jawab orang tersebut dengan yakin.“Baik, terima kasih,” ucap Wilona sembari sedikit membungkukkan ba
Keesokan harinya."Hais, rasanya malas sekali aku harus pura-pura baik pada keluarga ini," gerutu Rosa sembari berjalan di lorong rumah sakit."Kalau bukan karena harta mas Bram yang berlimpah dan tidak akan habis sampai 7 turunan, aku tidak akan mau melayani mereka." "Lebih-lebih melayani istrinya, demi mendapatkan restu, agar aku bisa menikah dengan Mas Bram, aku harus rela masak dan membawakan makanan untuk istrinya itu, huft." Rosa terus menggerutu sembari membawa rantang yang berisi makanan, yang akan diberikan pada Wilona."Lagian itu perempuan nyawanya banyak banget ya, aku sudah melakukan banyak cara untuk mencelakainya, tapi dia masih saja selamat." "Kalau dia mampus kan enak, tidak perlu lagi untuk mengemis restu darinya." "Lagian Mas Bram juga cinta gila banget sih sama dia, apa dia benar bisa menerimaku jadi istrinya nanti?""Hais, sudahlah, yang pasti aku akan terus berusaha untuk menggodanya, toh aku juga lebih montok kan dari pada istrinya itu," ucap Rosa dengan penu
"Sayang, ini aku bawakan handphone kamu, agar kamu tidak bosan selama menjalani perawatan disini," ucap Bramasta mencoba mencairkan suasana, setelah keadaan menjadi kikuk sejenak. "Oh iya, aku memang sangat membutuhkannya," ucap Wilona sembari menerima handphone tersebut. "Sebentar lagi aku akan pulang, karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, mereka berdua yang akan menjagamu," "Apa tidak masalah?" tanya Bramasta. "Emb, tentu saja tidak masalah, terima kasih karena kamu selalu bekerja keras untuk keluarga, jangan lupa makan dan istirahat," ucap Wilona sembari mengulas senyum manis. "Tentu saja, kamu juga makan yang banyak ya, agar segera pulih dan bisa segera kembali ke rumah," ucap Bramasta sembari mengecup kening istrinya. Wilona pun mengangguk dan tersenyum dengan perlakuan Bramasta tersebut. *** Beberapa saat kemudian setelah kepergian Bramasta, Raka dan Rani pun masuk ke ruangan Wilona. "Dari mana kalian?" tanya Wilona. "Kami hanya di luar Bu," jawab Raka. "Kenap
"Ibu,""Ibu dari mana saja?" Saat Wilona berjalan menyusuri lorong, dia mendengar suara yang tidak asing."Rani," ucap Wilona."Ibu dari mana? Kami semua mencari Ibu dari tadi," tanya Rani sembari berjalan menghampiri Wilona dan berusaha memapahnya. Wilona pun mengulas senyum tipis pada Rani."Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Wilona setelah mereka berdua terpaku beberapa saat."Aku ... aku belum pernah melihat Ibu tersenyum padaku dengan tulus," jawab Rani dengan sedikit ragu."Benarkah?" tanya Wilona."Emmb," jawab Rani sembari mulai berjalan."Apa aku dulu sejahat itu?" tanya Wilona lagi."Ibu tidak jahat, Ibu sangat baik, hanya saja keadaan yang merubah Ibu dari ceria menjadi murung," jawab Rani dengan terus memapah lengan Wilona."Keadaan? Keadaan yang seperti apa?" tanya Wilona."Apa Ibu sudah lupa?" tanya Rani."Kalau bisa ... memang sebaiknya Ibu melupakan hal-hal yang buruk, jadi Ibu bisa kembali menjadi diri Ibu sendiri," lanjut Rani."Entahlah, apa itu memang lebih
Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata, kali ini dia melihat ke sekeliling dan mendapati bahwa hari sudah gelap. Wilona terus berusaha duduk sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat.Wilona melihat kesana dan kemari, ia mendapati bahwa Raka dan Rani tengah tidur di sofa, sedangkan Bramasta tidak ada di ruangan. “Sssst … kemana Mas Bram ini,” gumam Wilona dengan menahan rasa sakit.Wilona menyibakkan selimutnya dan berusaha turun dari ranjang rumah sakit, dengan terhuyung-huyung dia mencoba berjalan keluar ruangan sembari memegang tongkat, yang digunakan untuk mengaitkan infus. “Permisi, sekarang tanggal berapa ya?” tanya Wilona pada seseorang yang sedang duduk santai di depan ruangan sebelah Wilona.“Sekarang tanggal 17 Juni,” jawab orang tersebut sembari melihat telepon genggamnya.“Emb … apa sekarang tahun 2021?” tanya Wilona dengan ragu.“Iya, sekarang memang tahun 2021,” jawab orang tersebut dengan yakin.“Baik, terima kasih,” ucap Wilona sembari sedikit membungkukkan ba
Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata. “Ssst … aw,” desis Wilona sembari memegang kepalanya yang terasa sangat berat, pemandangannya juga berkunang-kunang.Ceklek.“Kak Ona sudah sadar?” Terdengar suara seorang wanita yang sangat tidak asing ditelinga Wilona, baru saja membuka pintu.Wanita itu pun segera berjalan ke arah Wilona dengan antusias, juga dengan senyum yang merekah. Meskipun pandangan Wilona masih sedikit kabur, tapi dia tahu betul siapa gerangan wanita yang menghampirinya saat ini.“Kak Wilona sudah sadar?” tanya wanita itu lagi sembari memegang telapak tangan Wilona.Plak! Bruk!Dengan kepala yang masih terasa sangat berat dan pandangan tidak jelas, Wilona bangun dari tidurnya serta menampar wanita tersebut dengan kekuatan penuh, hingga dia tersungkur di bawah ranjang. “Aw, apa yang Kakak lakukan?” jerit wanita itu.“Pergi kamu! Pergi … ! Wilona berteriak sekencang-kencangnya.“Kak Ona, ini aku Rosa.” Wanita itu mencoba menenangkan Wilona sembari berusaha berdiri.“Perg