Selera makan Yura mendadak lenyap. Bahkan, sepiring fettucini di hadapannya dibiarkan mendingin dilahap angin. Sesekali memandangi sosok pria di hadapannya yang sedang menyantap menu berjuluk Spicy Lobster Tails miliknya dengan tenang. Setiap hari bertegur sapa, tetapi malam ini Yura bisa mengamati dengan leluasa. “Gunakan pelembap bibir dan urai rambutmu! Saya tunggu di depan lift!” Setelah berhari-hari, mengapa baru menyadari bahwa nada bicara mereka mirip? Cara mereka menekankan sesuatu pada sebuah kalimat juga persis. Selain itu, Gin tak suka rambutnya diikat, berantakan apalagi basah, dan Arya juga demikian. Usia mereka sama, meski Yura tak bisa memastikan berapa tepatnya. Namun, apakah beberapa hal persamaan mereka cukup akurat untuk membuktikan dugaannya? Mungkin hanya kebetulan, berulang kali Yura menekankan dirinya sendiri. Lagipula, pimpinannya itu sudah memiliki istri, bukan? Hal ini jelas berbeda dengan Gin yang mengaku masih single. "Kita datang ke sini untuk
Dua manik hitam mereka beradu pandang. Beberapa saat dua insan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun, Yura yang lebih dulu tersadar, lalu spontan terkekeh dengan celotehan Arya yang memintanya menganggap agenda kali ini sebagai honeymoon. “Ada yang lucu dengan kalimat saya?” tanya Arya dengan kedua alis saling bertaut. “Bapak dan saya ini kan bukan suami istri, tidak mungkin jika saya menganggap ini sebagai honeymoon,” jawab Yura dengan masih tertawa kecil. Perempuan itu lalu bangkit dari tidurnya dan duduk bersila, sepasang tangannya menjulur ke belakang sebagai sandaran. “Lagipula, meskipun saya di tempat wisata, kenyataannya saya masih bekerja bersama Bapak.” “Bukan begitu maksud saya, maksudnya—” Arya mendadak kehilangan kosa kata. Pria berkaos putih itu merasa telah kelolosan mengucapkan sesuatu. Tubuhnya hampir bangkit dari tidur, tetapi tertahan ketika Yura menoleh ke arahnya. Wanita itu tersenyum tulus. “Saya tahu maksudnya hanya bercanda, tapi serius saya ing
TRING!Dering alarm yang di pasang pada ponsel meraung bersahutan dengan debur ombak di luar kamar. Dengan mata yang masih terpejam, Yura menggerakkan tangannya mencari sumber kebisingan. Baru pukul lima pagi. Masih ada beberapa menit untuk memperpanjang durasi tidurnya. Hanya saja, aktivitas berat yang ia lakukan dengan Gin semalam kembali membuat tulang-tulangnya bergemertakan. "Hah! Ya ampun!"Matanya kini bisa melihat dengan bebas, tak ada lagi kain membelit kepalanya. Yura lantas menyingkap selimut guna melihat tubuhnya sendiri. Tidak ada yang berubah, semua pakaian yang ia gunakan tidak ada satupun yang terlepas.Yura kembali memutar ingatannya. Masih terekam jelas bagaimana Gin mencumbu dan menggaulinya. Yura ingat betul lelaki itu menyusulnya ke tempat ini. Mereka bercinta dengan penuh gairah. Biasanya, usai melewati malam yang panas, lelaki itu akan meninggalkan Yura dengan keadaan tanpa busana. Namun, kali ini tidak demikian. Tempat tidur yang ia gunakan bahkan tampak
Dalam sekejap, Yura merasa dunianya berputar. Beberapa kali matanya mengerjap terpana kepada Arya yang dengan gagah duduk di atas motor dengan mesin berkapasistas lebih dari 400 cc itu. Ia sedang sibuk mengenakan sarung tangannya. Yura sendiri mendadak lupa dengan perintah yang Arya berikan sebelumnya. Kepalanya justru penuh dengan pertanyaan lain, ini motor siapa? “Sampai kapan kamu melamun seperti itu?” tegurnya saat Yura tak kunjung melakukan perintah. Sorot matanya yang tajam menghentikan angin ribut dalam pikiran Yura. “Cepat, naik!” “Ba—baik, Pak!” Mau tak mau Yura segera menyusul Arya menaiki motor tersebut. Mau bagaimana lagi, ingin menolak pun tidak bisa, bukan? Yura bahkan tidak tahu rencana apa yang di buat lelaki itu setelah ini. “Pegangan!” Arya menitah lagi. “Pe—pegangan?” “Perlu saya beritahu juga caranya?” Arya mendengus kesal akibat Yura yang tak bisa mencerna perintah dengan cepat. “Ayolah! Saya bukan pria yang banyak modus!” Tangan yang sudah siap memegang
"Terserah kau ingin menganggapnya apa." Jawaban Arya mengundang sebuah tekuk dahi dari Louis. Awalnya mengira lelaki itu serius sebab tak ada gurat lucu sedikit pun. Wajahnya tetap datar dan sebuah senyuman tipis. Namun tak berlangsung lama karena Louis langsung memukul lengan Arya seraya mengubar tawa, lalu menambahkan opininya. “Oh, come on! Dia hanya sekretarismu, benar? Ayolah! Aku sangat tahu seleramu, Dude! Lagian, kalian sangat tidak cocok menjadi suami istri. Kalian lebih cocok menjadi paman dan keponakan!” Arya sendiri tidak menanggapinya dengan serius. Lelaki itu malah sibuk melihat-lihat pemandangan di sekitar villa. Mengamati satu per satu detail bangunan yang terlihat di indera penglihatan. Sedangkan Yura bungkam seribu bahasa sembari berjalan di belakang kedua insan itu. Sesekali mendengarkan Louis yang menjelaskan asal-muasal juga kegunaan beberapa bagian. Lalu, Arya yang sudah lama berkecimpung dalam dunia properti juga memberikan tanggapan singkat. Hanya itu yan
“Louis berikan apa ke kamu?”Arya memarkirkan kendaraan motor yang mereka gunakan. Setelah melalui jalan yang panjang, juga menghentikan sejenak perjalanan di sebuah resto, mereka telah tiba kembali di hotel.Matahari sedang terik-teriknya, tetapi dua insan itu nekat menerobos jalanan untuk pulang. Sebab jika tidak segera kembali, mereka tidak akan memiliki waktu untuk beristirahat sebelum menghadiri agenda di sore hingga malam nanti.Yura sendiri hanya mengikuti kehendak Arya yang memang tidak meminta pendapat apapun padanya. Begitu Arya meminta pulang, maka saat itu juga ia harus ikut pergi“Maaf, saya hanya dibawakan cokelat saja, Pak.” Yura berusaha melepas pengait helm dan ia cukup beruntung karena tak memerlukan bantuan Arya lagi. Ah, itu melegakan dan jika bisa mungkin ia sudah berteriak kegirangan. “Bu Louisa juga menitip beberapa pack untuk Bapak. Semuanya ada di dalam tas ini. Bapak ingin membawanya?” tanyanya lagi seraya menunjukkan sebuah tote bag kain cukup besar berwarna
Setelah "diomeli" oleh sang atasan, tidak ada lagi yang spesial di malam kemarin--menurut Yura.Hanya makan bersama dengan para pertinggi Prastaga dan beberapa orang internal perusahaan. Yura dan Arya sendiri tak banyak terlibat percakapan.Dan kini sudah berganti hari.Seharian Yura tak keluar kamar dan memanfaatkan waktu senggang untuk membaca novel fiksi yang tesedia di rak kamar. Beruntung Arya sibuk meeting dari pagi hingga sore. Ia tak perlu repot-repot pergi dengannya, atau bertatap muka dengan atasannya itu. Semua pekerjaan cukup diingatkan lewat pesan.Jujur, wanita itu masih belum sanggup untuk menemui Arya lagi sejak kejadian kemarin. Demi Tuhan, Yura rasanya ingin resign saja, atau menghilang dari muka bumi!Sorot mata setajam elang itu masih terkenang jelas diingatan. Hembusan napas yang beradu, hingga wajah Arya yang berjarak sedekat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Tidak hilang sebanyak apapun Yura mengusap wajahnya.Suara beratnya entah kenapa terngiang di t
“Apa yang ingin Bapak bicarakan?”Sayangnya, belum juga mendapat jawaban, pelayan telah lebih dulu menghadirkan beberapa menu.Dua porsi kentang goreng, dua cup popcorn, dua gelas lychee tea, dan dua spagetti bolognese. Mungkin ini yang menjadi alasan tiket mereka mahal?Harga sudah satu paket dan area ini khusus. Cukup worth it, mengingat ini di Bali. Namun tetap saja, terlalu mahal untuk Yura yang terbiasa hidup pas-pasan.“Anything. Feel free to ask.”Seolah sadar tatapan Yura, Arya lantas bertanya padanya membuat wanita itu kelimpungan. Kenapa dia yang ditodong pertanyaan?Bukan apa-apa, Yura hanya takut pertanyaannya tak berkenan. Secara, Arya masih pimpinannya sekali pun saat ini sedang duduk berdua layaknya seorang teman. Walau ... Yura sebenarnya ingin bertanya dengan kejadian akhir-akhir ini. Mengapa sikap Arya yang —tidak seperti dengan karyawan biasa—begitu posesif? Terlebih, terlihat sangat marah hanya karena rambut yang tidak digerai? Apakah itu juga yang menjadi a