“Apa yang ingin Bapak bicarakan?”Sayangnya, belum juga mendapat jawaban, pelayan telah lebih dulu menghadirkan beberapa menu.Dua porsi kentang goreng, dua cup popcorn, dua gelas lychee tea, dan dua spagetti bolognese. Mungkin ini yang menjadi alasan tiket mereka mahal?Harga sudah satu paket dan area ini khusus. Cukup worth it, mengingat ini di Bali. Namun tetap saja, terlalu mahal untuk Yura yang terbiasa hidup pas-pasan.“Anything. Feel free to ask.”Seolah sadar tatapan Yura, Arya lantas bertanya padanya membuat wanita itu kelimpungan. Kenapa dia yang ditodong pertanyaan?Bukan apa-apa, Yura hanya takut pertanyaannya tak berkenan. Secara, Arya masih pimpinannya sekali pun saat ini sedang duduk berdua layaknya seorang teman. Walau ... Yura sebenarnya ingin bertanya dengan kejadian akhir-akhir ini. Mengapa sikap Arya yang —tidak seperti dengan karyawan biasa—begitu posesif? Terlebih, terlihat sangat marah hanya karena rambut yang tidak digerai? Apakah itu juga yang menjadi a
Musik yang sedang berdentum seharusnya dirayakan dengan sebuah tarian, bukan isakan dan air mata yang beruraian. Namun, begitulah adanya yang terjadi. Arya sendiri Tidak peduli dengan mereka yang mencuri-curi pandang dan ingin tahu apa yang terjadi. Dia memilih acuh mengusap pundak Yura sesekali.Nampaknya Yura sendiri tidak keberatan. Bahkan, pelukan semakin mengerat dari setiap detiknya. Bebannya perasaan selama lima tahun ini mungkin tak pernah diceritakan kepada siapa-siapa.Tidak tahu sudah berapa lama mereka berpelukan, tetapi Yura yang lebih dulu melepas tautan tubuh mereka.“Maaf, Pak Arya. Saya sepertinya terbawa perasaaan,” ujarnya seraya mengusap air mata yang masih mengalir deras di pipinya. Dua bola matanya telah memerah dan bengkak.Arya menanggapi dengan anggukan, kemudian mengulurkan beberapa lembar tissue yang sebelumnya telah disediakan di meja. “Bersihkan wajahmu, dan rapikan rambut.”“Terima kasih, Pak.” Yura menerima lembaran tisue itu dan mengelap wajahnya. Berh
“G—gin? Bagaimana kau bisa masuk ke kamar ini?”Yura menyambut dekapan lengan berotot di pinggangnya. Tidak keberatan dengan perlakuan Gin yang begitu intim. Dalam kegelapan, dia merasakan sebuah sebuah dada keras di belakang punggungnya, juga napas berat di dekat telinga. Sekarang Yura percaya bahwa ini semua bukanlah mimpi. Lalu kejadian malam itu juga bukanlah sebuah halusinasi. Memang benar Gin menyusulnya ke tempat ini.“Apa pun bisa aku lakukan,” jawab Gin kemudian memberi sebuah kecup hangat di pelipisnya. Perlahan bergerak turun hingga leher jenjang lalu naik kembali sampai kepada bibir. Dengan satu kali hentakan, tubuh ramping Yura sudah berganti posisi, menghadap ke arah Gin yang kini semakin melipat jarak. Seperti biasa, pria itu menginisiasi permainan bibirnya, membungkam milik Yura dengan lumatan-lumatan sederhana yang kemudian berubah menjadi liar.Beberapa menit mereka bertukar saliva. Yura tak bisa lagi menahan keinginan untuk segera melanjutkan sesi permainan di atas
Untungnya, Yura harus pulang malam itu juga.Disusurinya koridor menuju unit apartemen sembari menyeret koper. ‘Masa liburan’ singkat selama lima hari telah berakhir. Kini, ia harus kembali kepada rutinitas yang serba padat. Tidak ada lagi kerja melalui pesan, tidak ada lagi bekerja sembari tiduran atau melihat festival lampion. Ia harus on duty di atas kursi kerjanya mulai besuk pagi. Padahal, Yura masih ingin berlama-lama di sana dan kalau bisa tidak perlu kembali. Ia masih ingin menikmati keindahan pulau Bali, masih ada banyak tempat yang belum dia explore. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak bisa mengelak. Kembali bekerja adalah fakta yang harus dia terima dengan senang hati. Hanya saja ... Yura tak bisa mengelak jika dia sulit tersenyum dan lebih banyak melamun karena catatan singkat Gin.Ditambah dengan nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Semua pesan yang dikirimkan Yura kepadanya terkirim, tetapi tidak tersampaikan. Beruntung Arya tak banyak mengajaknya bicara hari ini.
Malam semakin larut, tetapi Yura tak mampu terpejam meski lelah. Batinnya terus memaksa kepalanya berpikir. Menerka-nerka keberadaan seorang pria yang seharunya tak perlu ia pikirkan.Gin, pria yang sampai saat ini Yura tak tahu identitas aslinya dan suka menghilang lalu datang seenak hati. Sejak merebahkan diri di ranjang ini Yura mengharap suara bel berdering, dan kertap pintu yang terbuka. Dengan begitu ia akan menggunakan penutup mata secepat mungkin dan melewati malam dengan pria itu. Tiba-tiba saja keinginannya terasa aneh. Yura ingin tidur dalam dekapan nyamannya. Lalu suara serak yang bergema telinganya mengucapan ucapan selamat tidur sebelum ia menyelami alam mimpi.Namun, hingga kedua matanya berair dan menangis karena kantuk, tak ada satupun tanda-tanda yang mengabulkan harapannya.Yura lantas memutuskan bangkit dari tidur, mendudukan dirinya di atas ranjang. Diraihnya ponsel yang tak jauh dari posisinya lalu menekan-nekan sebuah nomor bernama Gin.Semua masih sama. Pesa
Pagi Yura terasa kelabu. Rasanya langit begitu mendung meski matahari telah mengumbar terik. Hingga hari minggu Yura menunggu, tetapi Gin tak kunjung menampakkan diri. Dapur yang menjadikan tempat penghilang rasa penat saja tak mampu mengatasi perasaan Yura. Tok tok tok!Suara pintu diketuk menyadarkan Yura. Dia tersentak dan segera mematikan kompornya. Setelahnya, buru-buru melepas apron hitam yang dia kenakan, melemparnya sembarang ke atas meja makan lalu segera beranjak ke arah pintu utama. Entah siapa yang berkunjung di minggu pagi seperti ini, tetapi Yura berharap bahwa seseorang itu berkaitan dengan Gin. Ketika pintu terbuka, Yura mendapati seorang pria berdiri di ambang pintu. Dua tangannya dipenuhi dengan kantung kresek dan beberapa paper bag.Pria berkaos hijau muda dengan stelan kasualnya itu Arkatama. “Selamat pagi, Bu Yura.” Dia menyapa dengan sebuah senyum yang melebar sempurna. Sementara Yura hanya menganggukkan kepala untuk menjawab sapaannya. Dua matanya tert
Usai kepergian Arkatama dan urusan dapurnya, ia berusaha menghibur diri dengan menonton televisi. Sayangnya, itu tak berdampak apa-apa, tak terhitung sudah berapa banyak Yura mengganti saluran. Ia pikir akan menemukan berbagai acara seru, tetapi ternyata justru sebaliknya. Tidak ada satu pun acara yang dapat memikat hatinya. Ting! Wanita yang masih mengenakan kimono tidurnya itu segera meraih ponsel saat mendengar denting notifikasi. Yura mengira pesan yang masuk itu dikirim oleh Gin. Namun, ia harus kembali menelan kekecewaan setelah mendapati sebuah nama pada layar ponselnya. Pesan dari Erna. [Yura, apa kau sibuk hari ini? Aku ingin kita bertemu sebentar.] [Ada hal yang harus aku bicarakan denganmu.] [Tentang Ibu Katrina, mertuamu.] Begitu membaca rentetan pesan yang dikirimkan oleh Erna, Yura spontan menekuk dahi. Apa maksudnya? Dan hal apa yang akan Erna bicarakan padanya? [Aku sedang tidak bisa keluar, Erna. Bisakah kita berbicara lewat telepon saja?] Yura mengirim pes
“Sungguh, aku tidak tahu apa pun! Bahkan jika kau tidak memberitahuku saat ini, aku akan menjadi manusia yang minim informasi. Memangnya ... mereka ada hubungan apa?” [“Sebenarnya kabar ini sudah lama, tapi seperti biasa mereka akan mengali appaun peristiwa yang pernah terjadi untuk menjadi bahan gosip. Aku juga tahu pastinya karena hanya mendengar dari beberapa senior bercerita padaku kemarin.”] Merasa pembahasan mereka cukup serius, Yura belum ingin berkomentar apa-apa, wanita itu masih setia menunggu apa yang akan Erna ceritakan. Hanya bergumam sebagai sahutan sembari melirihkan lagi volume televisinya. “Iya, lalu? Mereka bercerita apa?” [“Hm .... Jadi, Bu Rika dan Pak Arya dulu pernah bertunangan tapi baru setengah tahun mereka putus tiba-tiba. Padahal waktu itu mereka sudah merencanakan pernikahan beberapa bulan lagi, banyak juga media yang menyorot sampai Satwika Group menjadi trending topic. Aku tidak tahu mana yang benar karena ada banyak versi cerita. Ada yang bilang Pak A