Pagi Yura terasa kelabu. Rasanya langit begitu mendung meski matahari telah mengumbar terik. Hingga hari minggu Yura menunggu, tetapi Gin tak kunjung menampakkan diri. Dapur yang menjadikan tempat penghilang rasa penat saja tak mampu mengatasi perasaan Yura. Tok tok tok!Suara pintu diketuk menyadarkan Yura. Dia tersentak dan segera mematikan kompornya. Setelahnya, buru-buru melepas apron hitam yang dia kenakan, melemparnya sembarang ke atas meja makan lalu segera beranjak ke arah pintu utama. Entah siapa yang berkunjung di minggu pagi seperti ini, tetapi Yura berharap bahwa seseorang itu berkaitan dengan Gin. Ketika pintu terbuka, Yura mendapati seorang pria berdiri di ambang pintu. Dua tangannya dipenuhi dengan kantung kresek dan beberapa paper bag.Pria berkaos hijau muda dengan stelan kasualnya itu Arkatama. “Selamat pagi, Bu Yura.” Dia menyapa dengan sebuah senyum yang melebar sempurna. Sementara Yura hanya menganggukkan kepala untuk menjawab sapaannya. Dua matanya tert
Usai kepergian Arkatama dan urusan dapurnya, ia berusaha menghibur diri dengan menonton televisi. Sayangnya, itu tak berdampak apa-apa, tak terhitung sudah berapa banyak Yura mengganti saluran. Ia pikir akan menemukan berbagai acara seru, tetapi ternyata justru sebaliknya. Tidak ada satu pun acara yang dapat memikat hatinya. Ting! Wanita yang masih mengenakan kimono tidurnya itu segera meraih ponsel saat mendengar denting notifikasi. Yura mengira pesan yang masuk itu dikirim oleh Gin. Namun, ia harus kembali menelan kekecewaan setelah mendapati sebuah nama pada layar ponselnya. Pesan dari Erna. [Yura, apa kau sibuk hari ini? Aku ingin kita bertemu sebentar.] [Ada hal yang harus aku bicarakan denganmu.] [Tentang Ibu Katrina, mertuamu.] Begitu membaca rentetan pesan yang dikirimkan oleh Erna, Yura spontan menekuk dahi. Apa maksudnya? Dan hal apa yang akan Erna bicarakan padanya? [Aku sedang tidak bisa keluar, Erna. Bisakah kita berbicara lewat telepon saja?] Yura mengirim pes
“Sungguh, aku tidak tahu apa pun! Bahkan jika kau tidak memberitahuku saat ini, aku akan menjadi manusia yang minim informasi. Memangnya ... mereka ada hubungan apa?” [“Sebenarnya kabar ini sudah lama, tapi seperti biasa mereka akan mengali appaun peristiwa yang pernah terjadi untuk menjadi bahan gosip. Aku juga tahu pastinya karena hanya mendengar dari beberapa senior bercerita padaku kemarin.”] Merasa pembahasan mereka cukup serius, Yura belum ingin berkomentar apa-apa, wanita itu masih setia menunggu apa yang akan Erna ceritakan. Hanya bergumam sebagai sahutan sembari melirihkan lagi volume televisinya. “Iya, lalu? Mereka bercerita apa?” [“Hm .... Jadi, Bu Rika dan Pak Arya dulu pernah bertunangan tapi baru setengah tahun mereka putus tiba-tiba. Padahal waktu itu mereka sudah merencanakan pernikahan beberapa bulan lagi, banyak juga media yang menyorot sampai Satwika Group menjadi trending topic. Aku tidak tahu mana yang benar karena ada banyak versi cerita. Ada yang bilang Pak A
Yura baru saja tiba di kantor. Meski harus mengeringkan beberapa bagian baju yang basah karena hujan, ia cukup menghela napas lega sebab tak datang terlambat. Sungguh dia sangat benci hujan deras di pagi hari.Air yang menggenang di jalanan akan terciprat-ciprat ke segala arah. Lalu meskipun ia telah mengenakan jas tahan air, tetap saja ada beberapa celah yang membuat bajunya basah. Wanita itu duduk tepat di depan lift seraya sibuk menyeka tangannya yang basah menggunakan handuk kecil miliknya. Sengaja ia bawa karena ia tahu akan basah saat hujan deras semacam ini. Tak berapa lama, bersamaan dengan selesainya Yura menyeka baju, seorang pria berkemeja putih datang ke arahnya. Itu Arya, pimpinannya. Namun, Yura mengerutkan dahi kala mendapati ada yang aneh dengan penampilannya hari ini. Meski masih terkesan rapi, tetap saja bagi Yura itu bukanlah gaya anadalan Arya. Sebuah jas tersampir di lengan kanan, sementara tangan kirinya mencangking sebuah tas kerja berwarna hitam. Lalu kemeja
Sudah lama Yura tidak mengunjungi Rama. Ia belum berani pergi ke rumah sakit meski Gin telah memberinya kebebasan. Ia masih ingat perjanjian yang dibuatnya dan lelaki itu bisa mengubah sesuka hatinya. Namun, ada satu hal yang aneh dengan dirinya. Dulu, satu hari tak bertemu Rama saja Yura bisa menangis seharian, khawatir, dan cemas. Akan tetapi seiring denga berjalannya waktu, entah kenapa rasa itu tak ada lagi. Masih memikirkan, hanya saja tidak seperti dulu. Sekarang justru kepalanya dipenuhi rasa gundah karena seorang pria bernama Gin. Dia sulit untuk dihubungi. Yura tak bisa pergi kemana pun tanpa seijin lelaki itu. Dan, sampai hari ini Yura belum menemukan satu pun jawaban dan alasan, mengapa sikap Gin berubah padanya. Beberapa hari terakhir ia menghubungi, pesannya terkirim tetapi tidak terbalas. Jangankan memberi jawaban, dibaca saja tidak. Wanita bersurai cokelat itu memberanikan diri untuk menelpon sang suami—kedua. Bila pesan yang dikirimkan seminggu lalu sudah terkir
Arkatama tidak ingin gegabah untuk membuat sebuah kesimpulan. Ia harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu. Acara apakah itu? Apakah Yura akan pergi ke atau tidak? Dengan siapa wanita itu akan pergi? Jika Yura menghadirinya, maka mau tidak mau Arkatama harus melakukan sesuatu, setidaknya memberikan sebuah pengawasan untuk Yura. Mengingat ini adalah acara bebas dan personal, semua di luar tanggung jawab perusahaan—dan oleh sebab itu sang Tuan kemungkinan tak diundang ke sana—sehingga bila luput pengawasan apa saja bisa terjadi kepada Yura. Terlebih saat ini Tuannya sedang memiliki masalah lain yang berkaitan kepentingan keluarga. Arkatama lantas meraih ponselnya sendiri, lalu membuka aplikasi kamera dan memotret layar ponsel Yura. Setelahnya lelaki itu menelpon seseorang. “Temui aku setelah makan siang, aku punya tugas untukmu!” *** [“Narendra juga mengundangku, tapi aku tidak bisa datang karena mertuaku tidak ada yang menjaga dan suamiku shift malam. Kau yakin akan berang
Sesampainya di rumah sakit. Di paling sudut cafetaria dua orang pria mendaratkan tubuhnya. Sengaja memilih tempat ini, sebab paling lengang di antara sisi lain. Sementara menunggu minuman yang telah mereka pesan, Gin hanya memainkan ponselnya, sedangkan Arkatama sejenak mengamati sang tuan. Lekuk lelah tergambar jelas di wajahnya. Dua mata yang berkantung telah menghitam di beberapa sudut, bibir pucat, dan rambut yang berantakan sudah menjelaskan bahwa atasannya itu tidak memiliki waktu istirahat yang cukup, atau bisa jadi malah belum sama sekali. Meski ia sudah memesan kamar sendiri untuk istirahat, tetapi mungkin tidak nyaman. Tidur di rumah sakit memang memiliki suasana yang berbeda meski tempat tidur yang digunakan hampir sama. Arkatama memaklumi kesibukan Gin saat ini. Atasannya itu harus menjaga sang ibunda yang dirawat beberapa hari lalu karena kelelahan dan hipertensi, kemudian urusan kantor, juga project hal yang harus segera di selesaikan, membuat pria setengah baya men
Yura berjalan menerobos sebuah pintu. Dua orang berbadan gempal berdiri di masing-masing gawang menggunakan seragam serba hitam beringsut mundur memberinya askses jalan. Satu tangannya membawa sebuah paperbag hitam berlogo fashion brand terkenal. Satu tangan yang lain memegang clutch bag kesayangannya. Kedua netra spontan menyipit ketika mulai terganggu dengan kilau warna-warni spot light. Wanita bergaun hitam dengan tali model spagetti di pundak itu sudah mulai familiar dengan tempat yang menggetarkan jantung ini—walau hanya beberapa kali pergi ke club. Ketika sampai di barisan sofa merah, Yura mengedarkan pandangannya, mencari sesosok pria berkumis tipis. Narendra mengatakan bahwa menunggu Yura di tempat yang telah dia beritahukan sebelumnya melalui pesan singkat. Namun, Yura tak melihat satu pun manusia yang ada di tempat ini. Hanya ada beberapa orang berkerumun tetapi di bagian yang lain. Apakah ia datang terlalu dini? Batinnya bertanya demikian. Tiba-tiba saja sebuah tepukan