Sesampainya di rumah sakit. Di paling sudut cafetaria dua orang pria mendaratkan tubuhnya. Sengaja memilih tempat ini, sebab paling lengang di antara sisi lain. Sementara menunggu minuman yang telah mereka pesan, Gin hanya memainkan ponselnya, sedangkan Arkatama sejenak mengamati sang tuan. Lekuk lelah tergambar jelas di wajahnya. Dua mata yang berkantung telah menghitam di beberapa sudut, bibir pucat, dan rambut yang berantakan sudah menjelaskan bahwa atasannya itu tidak memiliki waktu istirahat yang cukup, atau bisa jadi malah belum sama sekali. Meski ia sudah memesan kamar sendiri untuk istirahat, tetapi mungkin tidak nyaman. Tidur di rumah sakit memang memiliki suasana yang berbeda meski tempat tidur yang digunakan hampir sama. Arkatama memaklumi kesibukan Gin saat ini. Atasannya itu harus menjaga sang ibunda yang dirawat beberapa hari lalu karena kelelahan dan hipertensi, kemudian urusan kantor, juga project hal yang harus segera di selesaikan, membuat pria setengah baya men
Yura berjalan menerobos sebuah pintu. Dua orang berbadan gempal berdiri di masing-masing gawang menggunakan seragam serba hitam beringsut mundur memberinya askses jalan. Satu tangannya membawa sebuah paperbag hitam berlogo fashion brand terkenal. Satu tangan yang lain memegang clutch bag kesayangannya. Kedua netra spontan menyipit ketika mulai terganggu dengan kilau warna-warni spot light. Wanita bergaun hitam dengan tali model spagetti di pundak itu sudah mulai familiar dengan tempat yang menggetarkan jantung ini—walau hanya beberapa kali pergi ke club. Ketika sampai di barisan sofa merah, Yura mengedarkan pandangannya, mencari sesosok pria berkumis tipis. Narendra mengatakan bahwa menunggu Yura di tempat yang telah dia beritahukan sebelumnya melalui pesan singkat. Namun, Yura tak melihat satu pun manusia yang ada di tempat ini. Hanya ada beberapa orang berkerumun tetapi di bagian yang lain. Apakah ia datang terlalu dini? Batinnya bertanya demikian. Tiba-tiba saja sebuah tepukan
Satu per satu tamu mulai berdatangan. Kian lama manusia-manusia itu memadati ruangan yang Yura gunakan untuk duduk saat ini. Dari penampilan saja sudah bisa ditebak bahwa mereka adalah orang-orang golongan kelas atas dan tajir melintir. Bukan seperti Yura yang biasa saja—meskipun sekarang dia menjadi istri seorang pengusaha. Satu ruangan ini didominasi oleh kaum pria. Tidak ada perempuan kecuali dirinya dan beberapa orang di sudut ruangan. Aroma alkohol sudah menguar kemana-mana. Ditambah dengan para lelaki yang suka menghisap asap nikotin membuatnya hampir kehilangan pasokan udara. Yura ingin pergi, tetapi tak enak hati. Narendra duduk di hadapannya, ia takut menyinggung perasaannya. Alhasil, wanita itu memilih setia untuk duduk di atas kursinya. Sembari berkirim pesan dengan Erna, mengabaikan suasana yang hiruk pikuk ini. [Aku sedikit menyesal pergi ke sini.] Ia mengirim pesan kepada Erna. Musik berdentum keras. Teriakan heboh dari meja-meja para lelaki yang sedang bermain kart
“Brengsek!” Darah Gin yang sebelumnya memanas, kini berubah mendidih kala mendapati Yura dan Narendra duduk bersebelahan. Tak hanya itu, lengan Narendra yang melingkar di pinggang Yura dan kedekatan mereka bagai tak berjarak semakin membuatnya naik pitam! Bagaimana bisa Yura malah berduaan dengan Narendra seperti itu? Dua pupilnya membesar bersamaan, menyorot tajam ke arah dua manusia berlawan jenis itu. Tak perlu mendekat, Gin sudah jelas melihat bahwa Yura dan Narendra sama-sama terpengaruh oleh alkohol. Sial! Andai saja mereka langsung menemukan tempat ini lebih awal, mungkin Gin sudah lebih dulu menyeret Yura pulang dan keluar dari club. Sayangnya, Dia baru saja berhasil menembus para pengunjung club yang jumlahnya tak sedikit. Dan, sekarang ia sudah tidak sanggup menahan keinginan untuk melayangkan bogem mentah kepada pria kurang ajar itu. Bagaimana tidak? Istrinya sendiri sedang mabuk bersama pria lain! Haruskah ia memperpanjang kesabaran? Dua tangannya telah spontan meng
Di kamar hotel. Yura telah dibaringkan di atas ranjang, meski begitu tubuh mungilnya terus bergerak gelisah. Sepuluh jemarinya menempel di kepala, sesekali menjambak erat helaian rambut hitamnya. Dia mengerang, tak sanggup merasakan panas juga gelenyar asing yang terus bergejolak dalam dirinya. Bibir merah itu bahkan tak henti meracau meminta tolong. “Aku mohon! Ini .... ssh panas sekali! Tolong!” Yura bergumam. Di sisi lain seorang pria dalam keadaan setengah sadar menutup pintu kamar, diputarnya kunci itu satu kali. Sebuah senyum iblis terbit di bibirnya kala melihat kaki perempuan yang ia bawa telah melebarkan kaki dan merengek meminta tolong “Aku ti—dak tahan lagi!” Wanita itu mengerang dengan terbata. “Tidak tahan, ya?” Narendra berjalan mendekat ke arah Yura, menghampirinya dan duduk di ujung ranjang. Jemarinya bergerak mengelus tumit dengan gerakan memutar. Hal itu justru semakin membuat Yura terbakar oleh gairah yang tiba-tiba membara. Satu desahan lolos dari bibirnya.
BUGH!BUGH!BUGH!Kepalan tangan Gin menghantam wajah Narendra sebanyak tiga kali. Namun, seakan tak puas pria itu menambahnya empat pukulan lagi hingga Narendra terkapar di atas lantai. Bila Arkatama tak melerainya, maka kemungkinan besar ia akan terjerat kasus pembunuhan besuk pagi. Dalam Kondisi semacam ini, tak mungkin ia tak marah. Terlebih setelah melihat keadaan Yura yang memprihatinkan, rasanya tak akan ada ampun lagi bagi Narendra. Wanita itu tegeletak lemah tak berdaya, gaun yang dia gunakan telah robek di bagian dada. Lalu, ada satu hal lagi yang memupuk kemarahannya. Bekas merah Narendra di bagian pipi dan leher Yura. “Tuan, sudah! Tuan bisa membunuhnya!” Arkatama berseru. Dia menahan satu lengan Gin agar atasannya itu tak melakukan hal di luar batas. Narendra memang bersalah, tetapi bukan wewenang mereka untuk menghakimi. Lebih baik serahkan saja kepada kepolisian atau pihak hotel agar ditindaklanjuti.“Kendalikan emosi, Tuan. Kita harus membawa Yura pulang!” ujar Arka
Waktu telah berjalan setengah hari. Gin bahkan sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah walau tak banyak. Sekadar mencuci baju, menyapu beberapa ruangan, dan membeli makanan. Ya, jangan berharap Gin akan memasak! Dia jelas tak pandai soal urusan dapur. Lelaki sepertinya lebih memilih mengeluarkan uang dari pada repot-repot mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mengolah bahan makanan. Yura belum bangun sama sekali. Wanita itu masih berkutat dengan mimpi, meringkuk layaknya bayi di balik selimut. Entah karena kelelahan atau alkohol yang ditenggaknya semalam, ia tidur sampai mendengkur. Gin sendiri tak terganggu, ia juga tak berniat membangunkan. Biarkan saja Yura istirahat dahulu. Lelaki berkaos hitam itu duduk di atas ranjang, lebih tepatnya di samping Yura. Sebelah lututnya tertekuk, pahanya memangku sebuah komputer jinjing dengan layar menyala. Sementara satunya lagi terselonjor bebas. Dia tidak sedang bekerja, tetapi sedang mengamati satu per satu gambar juga rekaman CCTV y
“Buka mulutmu!” Yura merapatkan bibir kala mendengar perintah dari Gin. Dengan kedua mata yang belum sama sekali terbuka, dia merasakan bahwa tubuh lelaki itu telah mendarat di samping kanannya. Ketuk benda yang berbenturan dengan meja kaca di hadapannya juga tertangkap indera pendengaran.Yura sendiri tidak mengerti apa yang membuat Gin memintanya membuka mulut. Sebelumnya, Gin meminta menunggu sebentar kemudian pergi entah kemana. Lalu tidak sampai lima menit dia kembali lagi. Wanita itu hanya tahu jika mereka sedang duduk di atas sebuah sofa. Gin sendiri yang menuntun ke sana setelah memandikannya.Memandikannya? Benar, siang ini pria itu beralih profesi menjadi seorang perawat dan Yura sudah semacam anak bayi atau malah lansia yang tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. Gin yang membersihkan tubuhnya, bahkan hingga mengeringkan rambut suaminya terlihat sangat terampil. Sebenarnya Yura tak setuju akan hal ini, dia masih bisa melakukan semua itu sendiri. Dia sudah dewasa,
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth