Yura berjalan menerobos sebuah pintu. Dua orang berbadan gempal berdiri di masing-masing gawang menggunakan seragam serba hitam beringsut mundur memberinya askses jalan. Satu tangannya membawa sebuah paperbag hitam berlogo fashion brand terkenal. Satu tangan yang lain memegang clutch bag kesayangannya. Kedua netra spontan menyipit ketika mulai terganggu dengan kilau warna-warni spot light. Wanita bergaun hitam dengan tali model spagetti di pundak itu sudah mulai familiar dengan tempat yang menggetarkan jantung ini—walau hanya beberapa kali pergi ke club. Ketika sampai di barisan sofa merah, Yura mengedarkan pandangannya, mencari sesosok pria berkumis tipis. Narendra mengatakan bahwa menunggu Yura di tempat yang telah dia beritahukan sebelumnya melalui pesan singkat. Namun, Yura tak melihat satu pun manusia yang ada di tempat ini. Hanya ada beberapa orang berkerumun tetapi di bagian yang lain. Apakah ia datang terlalu dini? Batinnya bertanya demikian. Tiba-tiba saja sebuah tepukan
Satu per satu tamu mulai berdatangan. Kian lama manusia-manusia itu memadati ruangan yang Yura gunakan untuk duduk saat ini. Dari penampilan saja sudah bisa ditebak bahwa mereka adalah orang-orang golongan kelas atas dan tajir melintir. Bukan seperti Yura yang biasa saja—meskipun sekarang dia menjadi istri seorang pengusaha. Satu ruangan ini didominasi oleh kaum pria. Tidak ada perempuan kecuali dirinya dan beberapa orang di sudut ruangan. Aroma alkohol sudah menguar kemana-mana. Ditambah dengan para lelaki yang suka menghisap asap nikotin membuatnya hampir kehilangan pasokan udara. Yura ingin pergi, tetapi tak enak hati. Narendra duduk di hadapannya, ia takut menyinggung perasaannya. Alhasil, wanita itu memilih setia untuk duduk di atas kursinya. Sembari berkirim pesan dengan Erna, mengabaikan suasana yang hiruk pikuk ini. [Aku sedikit menyesal pergi ke sini.] Ia mengirim pesan kepada Erna. Musik berdentum keras. Teriakan heboh dari meja-meja para lelaki yang sedang bermain kart
“Brengsek!” Darah Gin yang sebelumnya memanas, kini berubah mendidih kala mendapati Yura dan Narendra duduk bersebelahan. Tak hanya itu, lengan Narendra yang melingkar di pinggang Yura dan kedekatan mereka bagai tak berjarak semakin membuatnya naik pitam! Bagaimana bisa Yura malah berduaan dengan Narendra seperti itu? Dua pupilnya membesar bersamaan, menyorot tajam ke arah dua manusia berlawan jenis itu. Tak perlu mendekat, Gin sudah jelas melihat bahwa Yura dan Narendra sama-sama terpengaruh oleh alkohol. Sial! Andai saja mereka langsung menemukan tempat ini lebih awal, mungkin Gin sudah lebih dulu menyeret Yura pulang dan keluar dari club. Sayangnya, Dia baru saja berhasil menembus para pengunjung club yang jumlahnya tak sedikit. Dan, sekarang ia sudah tidak sanggup menahan keinginan untuk melayangkan bogem mentah kepada pria kurang ajar itu. Bagaimana tidak? Istrinya sendiri sedang mabuk bersama pria lain! Haruskah ia memperpanjang kesabaran? Dua tangannya telah spontan meng
Di kamar hotel. Yura telah dibaringkan di atas ranjang, meski begitu tubuh mungilnya terus bergerak gelisah. Sepuluh jemarinya menempel di kepala, sesekali menjambak erat helaian rambut hitamnya. Dia mengerang, tak sanggup merasakan panas juga gelenyar asing yang terus bergejolak dalam dirinya. Bibir merah itu bahkan tak henti meracau meminta tolong. “Aku mohon! Ini .... ssh panas sekali! Tolong!” Yura bergumam. Di sisi lain seorang pria dalam keadaan setengah sadar menutup pintu kamar, diputarnya kunci itu satu kali. Sebuah senyum iblis terbit di bibirnya kala melihat kaki perempuan yang ia bawa telah melebarkan kaki dan merengek meminta tolong “Aku ti—dak tahan lagi!” Wanita itu mengerang dengan terbata. “Tidak tahan, ya?” Narendra berjalan mendekat ke arah Yura, menghampirinya dan duduk di ujung ranjang. Jemarinya bergerak mengelus tumit dengan gerakan memutar. Hal itu justru semakin membuat Yura terbakar oleh gairah yang tiba-tiba membara. Satu desahan lolos dari bibirnya.
BUGH!BUGH!BUGH!Kepalan tangan Gin menghantam wajah Narendra sebanyak tiga kali. Namun, seakan tak puas pria itu menambahnya empat pukulan lagi hingga Narendra terkapar di atas lantai. Bila Arkatama tak melerainya, maka kemungkinan besar ia akan terjerat kasus pembunuhan besuk pagi. Dalam Kondisi semacam ini, tak mungkin ia tak marah. Terlebih setelah melihat keadaan Yura yang memprihatinkan, rasanya tak akan ada ampun lagi bagi Narendra. Wanita itu tegeletak lemah tak berdaya, gaun yang dia gunakan telah robek di bagian dada. Lalu, ada satu hal lagi yang memupuk kemarahannya. Bekas merah Narendra di bagian pipi dan leher Yura. “Tuan, sudah! Tuan bisa membunuhnya!” Arkatama berseru. Dia menahan satu lengan Gin agar atasannya itu tak melakukan hal di luar batas. Narendra memang bersalah, tetapi bukan wewenang mereka untuk menghakimi. Lebih baik serahkan saja kepada kepolisian atau pihak hotel agar ditindaklanjuti.“Kendalikan emosi, Tuan. Kita harus membawa Yura pulang!” ujar Arka
Waktu telah berjalan setengah hari. Gin bahkan sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah walau tak banyak. Sekadar mencuci baju, menyapu beberapa ruangan, dan membeli makanan. Ya, jangan berharap Gin akan memasak! Dia jelas tak pandai soal urusan dapur. Lelaki sepertinya lebih memilih mengeluarkan uang dari pada repot-repot mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mengolah bahan makanan. Yura belum bangun sama sekali. Wanita itu masih berkutat dengan mimpi, meringkuk layaknya bayi di balik selimut. Entah karena kelelahan atau alkohol yang ditenggaknya semalam, ia tidur sampai mendengkur. Gin sendiri tak terganggu, ia juga tak berniat membangunkan. Biarkan saja Yura istirahat dahulu. Lelaki berkaos hitam itu duduk di atas ranjang, lebih tepatnya di samping Yura. Sebelah lututnya tertekuk, pahanya memangku sebuah komputer jinjing dengan layar menyala. Sementara satunya lagi terselonjor bebas. Dia tidak sedang bekerja, tetapi sedang mengamati satu per satu gambar juga rekaman CCTV y
“Buka mulutmu!” Yura merapatkan bibir kala mendengar perintah dari Gin. Dengan kedua mata yang belum sama sekali terbuka, dia merasakan bahwa tubuh lelaki itu telah mendarat di samping kanannya. Ketuk benda yang berbenturan dengan meja kaca di hadapannya juga tertangkap indera pendengaran.Yura sendiri tidak mengerti apa yang membuat Gin memintanya membuka mulut. Sebelumnya, Gin meminta menunggu sebentar kemudian pergi entah kemana. Lalu tidak sampai lima menit dia kembali lagi. Wanita itu hanya tahu jika mereka sedang duduk di atas sebuah sofa. Gin sendiri yang menuntun ke sana setelah memandikannya.Memandikannya? Benar, siang ini pria itu beralih profesi menjadi seorang perawat dan Yura sudah semacam anak bayi atau malah lansia yang tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. Gin yang membersihkan tubuhnya, bahkan hingga mengeringkan rambut suaminya terlihat sangat terampil. Sebenarnya Yura tak setuju akan hal ini, dia masih bisa melakukan semua itu sendiri. Dia sudah dewasa,
“Kenapa tidak menelponku lebih dulu kalau kau akan datang, Arka?”Sehabis membawa istrinya masuk ke dalam kamar, Gin kembali lagi ke ruang tamu untuk menemu orang yang tadi menganggu aktivitas olahraganya. Sorot mata pria itu kesal bercampur malu ke arah Arkatama. Ayolah! Ini pertama kalinya Gin tertangkap basah saat sedang hampir bercinta!Sebenarnya, Arkatama juga tidak sepenuhnya salah. Dia sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Dia sudah menghubungi, sayangnya tidak tersambung. Lantas pada akhirnya, dia membuat keputusan untuk masuk ke dalam rumah ini. Gin pun tahu, Arkatama tak akan menyelonong masuk bila tanpa sebab. Untung saja Gin dan Yura belum melucuti pakaian mereka, jika tidak maka habislah nama baiknya di depan bawahannya sendiri. Sementara Arkatama tersenyum menunduk. Ingin tertawa tetapi tertahan sebab tatapan Gin begitu intens ke arahnya. “Maaf, Tuan, sebelumnya saya sudah menelpon. Namun, tidak terangkat, jadi saya pikir Tuan masih menyuapi Yura.” Dia meng