“Kenapa tidak menelponku lebih dulu kalau kau akan datang, Arka?”Sehabis membawa istrinya masuk ke dalam kamar, Gin kembali lagi ke ruang tamu untuk menemu orang yang tadi menganggu aktivitas olahraganya. Sorot mata pria itu kesal bercampur malu ke arah Arkatama. Ayolah! Ini pertama kalinya Gin tertangkap basah saat sedang hampir bercinta!Sebenarnya, Arkatama juga tidak sepenuhnya salah. Dia sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Dia sudah menghubungi, sayangnya tidak tersambung. Lantas pada akhirnya, dia membuat keputusan untuk masuk ke dalam rumah ini. Gin pun tahu, Arkatama tak akan menyelonong masuk bila tanpa sebab. Untung saja Gin dan Yura belum melucuti pakaian mereka, jika tidak maka habislah nama baiknya di depan bawahannya sendiri. Sementara Arkatama tersenyum menunduk. Ingin tertawa tetapi tertahan sebab tatapan Gin begitu intens ke arahnya. “Maaf, Tuan, sebelumnya saya sudah menelpon. Namun, tidak terangkat, jadi saya pikir Tuan masih menyuapi Yura.” Dia meng
Hari berikutnya.Yura menapaki petak marmer yang membentang luas di halaman lobby apartemen tempat ia tinggal—sementara—ini. Satu rencana panjang tersusun rapi di kepalanya. Menunggu taksi, berangkat, lalu dia akan pergi ke kantor. Dia harus segera tiba di sana untuk menyiapkan belasan bendel berkas yang telah ditumpuk di atas mejanya oleh beberapa karyawan lain. Deretan pesan masuk dalam ponselnya pagi ini penuh dengan permintaan para karyawan yang menyampaikan pekerjaan mereka kepada Arya. Dan itu juga membuatnya pusing karena Yura harus meneliti satu per satu berkas itu dengan seksama. Bila tidak—seandainya ada kesalahan—Yura yang akan kena semprot.Detik demi detik berlalu. Entah sudah berapa kali dia menengok arloji yang melingkar di tangan kiri. Namun mobil yang dia tunggu-tunggu belum juga datang. Lalu, saat dia memeriksa aplikasi taksi online tersebut ada sebuah pesan dari sang pengemudi. [Sebentar, ya, Bu. Mohon maaf jika terjadi keterlambatan. Trafic jalanan sedang padat.]
Di depan meja bundar berbahan kaca ketuk stileto hitam milik seorang wanita berkemeja putih terhenti. Begitu juga dengan gerakan melambat sepasang kaki jenjang yang menyusul di belakangnya. Arya mendongak, mendapatkan Rika dan Narendra terpaku di hadapannya. “Selamat pagi, Pak.” Rika yang pertama memecah kecanggungan.Lekuk wajah Arya tidak berubah sedikit pun. Tidak menjual ekpresi apa pun. Lima jemarinya mengacung bersamaan, memberi intruksi kepada dua orang itu untuk bergeser dan mendaratkan tubuh pada sofa di hadapannya. Narendra dan Rika menurut.President Direktur Satwika Group tidak memberikan kata sambutan maupun pengantar. Dia hanya meletakkan tablet kerjanya di tengah meja. Layarnya terang menampilkan sebuah berita terkini yang dimuat di website media cukup terkenal di Indonesia. Tanpa mereka melirik, gurat datar wajah Arya sudah menunjukkan ketidaksenangan. “Saya sebenarnya tidak peduli. Perkara seperti ini bukan urusan saya, tetapi karena nama Satwika Group terseret, mak
Diberhentikannya Narendra dari Satwika Group telah menyebar dari telinga satu ke telinga yang lainnya. Kabar semakin meledak saat yang bersangkutan berpamitan dengan rekan satu divisi. Sontak saja, ratusan pegawai heboh dalam waktu kurun beberapa detik setelahnya. Sebagian yang sudah menebak bahwa hal ini akan terjadi terus membahasanya tanpa henti. Sebagian lain yang masih tidak percaya hanya bisa mendecakkan bibir dan menggelengkan kepala, menyayangkan perbuatan tidak terpujinya. Sisanya tak ingin menanggapi dan memilih berkutat dengan pekerjaan. Tak lain halnya dengan Yura. Di antara pegawai lain wanita itu tahu lebih dahulu tetapi ia tak ingin memberikan reaksi apa pun. Ia belum sanggup untuk bertatap muka dengan Narendra. Bahkan saat mengetahui lelaki itu akan ke luar dari ruangan pimpinannya, Yura cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi di bilik kamar mandi. Ia mendengar semuanya, begitu juga dengan suara Arya yang lantang terdengar di penghujung percakapan. Dia tak berma
“Aku masih tidak habis pikir dengan Narendra. Kenapa bisa dia menyimpan dendam denganmu selama hampir lima tahun lebih. Lalu, tega sekali berbuat seperti itu padamu! Sakit jiwa dia!”Erna memasukkan sepotong kentang goreng pesanannya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan setengah kasar. Setelah mendengar penjelasan runtut dari Yura, menyimak bukti-bukti yang ditunjukkan, lalu pengakuan yang ia dengar dari bibir Narendra dia menjadi kesal. Memalukan! Pertemanan yang dijaga selama bertahun-tahun harus berakhir karena sebuah keegoisan. Padahal semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Semua bisa diatasi jika dua pihak sama-sama terbuka. Namun, bagaimana lagi? Semua sudah terjadi, Narendra kadung berjalanan dengan pikirannya sendiri dan Yura terlanjur sakit hati. Sekeras apa pun Erna berusaha memperbaiki, itu tak akan membuat hubungan kedua temannya merekat lagi.Dia juga tidak tahu, perseteruan ini akan berakhir. Satu hal yang pasti, Erna hanya akan ditengah-tengah. Dia menyalahkan Nar
Siapa wanita itu?Yura masih belum menemukan jawaban tentang siapa perempuan dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Erna barusan. Dia menggeledah isi kepala, mencoba mencari sebongkah ingatan barang kali ia pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Namun, yang namanya menerka pasti lah tak sepenuhnya benar, terlebih ciri-ciri yang disebutkan Erna terasa asing baginya.Ia tidak pernah memiliki teman wanita yang berprofesi sebagai model. Setahunya, keluarga Rama juga tidak memiliki relasi terkait profesi tersebut. Kebanyakan teman Katrina hanya ibu-ibu biasa yang berprofesi sebagai penjual dan pembuat perhiasan karena wanita paruh baya itu kolektor emas. Sementara putranya sendiri rata-rata berteman dengan sesama konsultan di berbagai bidang.Sebenarnya Yura biasa saja, tidak ada perasaan curiga, cemburu atau sejenisnya, hanya penasaran dengan wanita tersebut. Lalu, ada kepentingan apa menjenguk suaminya?“Ra?” Panggilan Erna dan kibasan tangan wanita itu membuat Yura tersentak. Entah suda
Gin meletakkan ponsel genggamnya di atas meja. Layar yang tadinya berpendar memancarkan sebuah pesan, kini digelapkan. Bersamaan dengan suara yang menggema di telinganya padam. True Wireless Bluetooth yang menyumpal dua lubang telinganya lantas dilepas. Satu detik setelahnya membenturkan punggung pada kursi kerjanya. Dia baru saja memutar beberapa rekaman suara yang dikirimkan oleh salah satu anak buahnya. Ada banyak kalimat Yura bertebangan di atas kepala. Terngiang-ngiang hingga membuatnya ingin memukul apa pun yang berada di ruangan ini.“Aku tidak bisa mengembalikan jumlah nominal itu dengan uang. Maka yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghargainya dan menerimanya sebagai suamiku, sebagai bentuk terima kasihku kepadanya.”Jadi, yang dilakukan Yura padanya hanyalah bentuk rasa terima kasih saja? Jika benar demikian lalu mengapa Yura memintanya untuk tak pergi? Sementara ia sendiri tak bisa memastikan bahwa apa yang Yura katakan benar-benar tulus dari hati, atau hanya sekadar
“Son? Kau mau kemana?”Sarah memandang bingung ke arah putranya yang baru saja tiba di lantai satu. Pasalnya, Gin telah berganti penampilan. Saat mereka bicara di ruang kerja tadi, putra semata wayangnya itu masih menggunakan pakaian harian. Tiba-tiba saja hanya beberapa menit jaraknya, pria itu sudah berganti dengan pakaian casual. Kemeja putih, celana jeans cokelat dan sepatu yang berwarna senada dengan bajunya telah melekat sempurna. Juga pengharum badan yang nampaknya baru saja digunakan. “Bu, maaf, aku tidak ikut makan malam. Aku harus pergi karena Arkatama membutuhkan aku.”Sarah semakin mengerutkan alisnya ketika menangkap sebuah kepanikan yang tersirat jelas pada wajah sang putra. Ada masalah apa memangnya? Dan mengapa Gin terlihat kalang kabut semacam ini meski wajah yang ia tunjukkan sangatlah datar. Sarah bahkan dapat membaca rencana dalam kepalanya. Dia harus pergi secepatnya dari rumah dan berkendara secepat mungkin ke tempat tujuan. “Kenapa bisa Arkatama membutuhkanmu