“Aku masih tidak habis pikir dengan Narendra. Kenapa bisa dia menyimpan dendam denganmu selama hampir lima tahun lebih. Lalu, tega sekali berbuat seperti itu padamu! Sakit jiwa dia!”Erna memasukkan sepotong kentang goreng pesanannya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan setengah kasar. Setelah mendengar penjelasan runtut dari Yura, menyimak bukti-bukti yang ditunjukkan, lalu pengakuan yang ia dengar dari bibir Narendra dia menjadi kesal. Memalukan! Pertemanan yang dijaga selama bertahun-tahun harus berakhir karena sebuah keegoisan. Padahal semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Semua bisa diatasi jika dua pihak sama-sama terbuka. Namun, bagaimana lagi? Semua sudah terjadi, Narendra kadung berjalanan dengan pikirannya sendiri dan Yura terlanjur sakit hati. Sekeras apa pun Erna berusaha memperbaiki, itu tak akan membuat hubungan kedua temannya merekat lagi.Dia juga tidak tahu, perseteruan ini akan berakhir. Satu hal yang pasti, Erna hanya akan ditengah-tengah. Dia menyalahkan Nar
Siapa wanita itu?Yura masih belum menemukan jawaban tentang siapa perempuan dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Erna barusan. Dia menggeledah isi kepala, mencoba mencari sebongkah ingatan barang kali ia pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Namun, yang namanya menerka pasti lah tak sepenuhnya benar, terlebih ciri-ciri yang disebutkan Erna terasa asing baginya.Ia tidak pernah memiliki teman wanita yang berprofesi sebagai model. Setahunya, keluarga Rama juga tidak memiliki relasi terkait profesi tersebut. Kebanyakan teman Katrina hanya ibu-ibu biasa yang berprofesi sebagai penjual dan pembuat perhiasan karena wanita paruh baya itu kolektor emas. Sementara putranya sendiri rata-rata berteman dengan sesama konsultan di berbagai bidang.Sebenarnya Yura biasa saja, tidak ada perasaan curiga, cemburu atau sejenisnya, hanya penasaran dengan wanita tersebut. Lalu, ada kepentingan apa menjenguk suaminya?“Ra?” Panggilan Erna dan kibasan tangan wanita itu membuat Yura tersentak. Entah suda
Gin meletakkan ponsel genggamnya di atas meja. Layar yang tadinya berpendar memancarkan sebuah pesan, kini digelapkan. Bersamaan dengan suara yang menggema di telinganya padam. True Wireless Bluetooth yang menyumpal dua lubang telinganya lantas dilepas. Satu detik setelahnya membenturkan punggung pada kursi kerjanya. Dia baru saja memutar beberapa rekaman suara yang dikirimkan oleh salah satu anak buahnya. Ada banyak kalimat Yura bertebangan di atas kepala. Terngiang-ngiang hingga membuatnya ingin memukul apa pun yang berada di ruangan ini.“Aku tidak bisa mengembalikan jumlah nominal itu dengan uang. Maka yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghargainya dan menerimanya sebagai suamiku, sebagai bentuk terima kasihku kepadanya.”Jadi, yang dilakukan Yura padanya hanyalah bentuk rasa terima kasih saja? Jika benar demikian lalu mengapa Yura memintanya untuk tak pergi? Sementara ia sendiri tak bisa memastikan bahwa apa yang Yura katakan benar-benar tulus dari hati, atau hanya sekadar
“Son? Kau mau kemana?”Sarah memandang bingung ke arah putranya yang baru saja tiba di lantai satu. Pasalnya, Gin telah berganti penampilan. Saat mereka bicara di ruang kerja tadi, putra semata wayangnya itu masih menggunakan pakaian harian. Tiba-tiba saja hanya beberapa menit jaraknya, pria itu sudah berganti dengan pakaian casual. Kemeja putih, celana jeans cokelat dan sepatu yang berwarna senada dengan bajunya telah melekat sempurna. Juga pengharum badan yang nampaknya baru saja digunakan. “Bu, maaf, aku tidak ikut makan malam. Aku harus pergi karena Arkatama membutuhkan aku.”Sarah semakin mengerutkan alisnya ketika menangkap sebuah kepanikan yang tersirat jelas pada wajah sang putra. Ada masalah apa memangnya? Dan mengapa Gin terlihat kalang kabut semacam ini meski wajah yang ia tunjukkan sangatlah datar. Sarah bahkan dapat membaca rencana dalam kepalanya. Dia harus pergi secepatnya dari rumah dan berkendara secepat mungkin ke tempat tujuan. “Kenapa bisa Arkatama membutuhkanmu
Bukan hanya Yura. Pria yang baru saja datang itu hampir kehilangan napas ketika namanya disebut. Itu semua di luar rencana karena ia tak berniat menemui Yura di tempat ini. Meski demikian, wajahnya tetaplah kaku. Tempo langkahnya tak berubah sedikit pun. Hanya dua alis yang bergerak menyatu beberapa mili saja. Itu pula karena mendapati penampilan sekretarisnya cukup mengenaskan. Cara berjalan wanita itu pincang bahkan harus dituntun oleh seorang perawat. Lengan kiri ditempeli dengan plester luka yang besar, bajunya sobek dan beberapa bagian terkena rebesan darah yang cukup banyak. Kemudian di bagian kaki kiri juga terdapat titik yang ditambal dengan perban berwarna putih. Celananya kerjanya bahkan tak layak digunakan.Oh, God! Dia tak membayangkan bagaimana wanita itu mengalami kecelakaan. Arya sangat optimis bahwa yang dialami Yura adalah kecelakaan. Tidak mungkin bila hanya sekadar jatuh atau terpleset saja. Bahkan rasanya, dia ingin menggendong Yura saja dari pada tersiksa berj
Dokter yang menangani sudah mempersilakan Yura untuk pulang. Kini wanita itu sedang duduk pada kursi panjang berbahan besi di depan sebuah poli, menanti Arkatama yang mengambil kursi roda. Yura sebenarnya sudah melarang, dia bisa berjalan kalau hanya sepanjang koridor menuju parkiran saja akan tetapi Arya memaksa agar menggunakan alternatif tersebut. Entah apa maunya, Yura menurut saja. Ia tidak mau membantah sebab itu semua hanya membuang tenaganya. Percuma, karena semua titah Arya tak akan bisa dilunakkan. Arkatama bahkan tunduk padanya. Tidak ada negosiasi yang dilakukan oleh pengacara itu, justru mempersilakan ketika Arya mengusulkan keinginannya. “Ya? Saya sedang di luar, kirim email saja. Besuk pagi bawa print out-nya ke ruangan saya.” Yura menoleh kepada pria berkemeja putih yang duduk di sampingnya. Sejak mereka keluar dari unit gawat darurat dan duduk di tempat ini, lelaki itu tak mengajaknya bicara. Ibu jarinya sibuk mengetuk layar ponsel dan kini pria itu sedang menjaw
TIINN! TINN!Bunyi klakson yang bersahutan dari beberapa kendaraan mengembalikan kesadaran mereka. Arya langsung menarik dirinya jauh-jauh dari tubuh Yura dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan. Mobil keluaran terbaru ini kembali melaju pelan mendahului kendaraan lain yang memadati jalanan. Ini sudah ke sekian kalinya, Arya bertindak di luar dugaan.Sementara Yura segera memasok oksigen ke dalam paru-parunya, setelah menahan napas untuk sekian lama. Astaga! Jantungnya bisa meledak bila saja pengendara lain tak mendesak agar mobil ini segera berjalan, atau malah bisa jadi Yura tenggelam dalam pesona atasannya sendiri.Hari ini benar-benar tidak terduga oleh Yura. Kasus Narendra yang berujung membuat pertemanannya berakhir, dirinya yang hampir meregang nyawa karena tertabrak motor, lalu sekarang atasannya sendiri hampir membuatnya jantungan!***Gin sedang berdiri di sebuah kamar bernuansa hitam yang dominan. Kemejanya telah terlepas entah kemana. Dia hanya bertelanjang dada. Cah
Yura terbaring dalam keadaan terjaga walau kedua matanya di bebat kain hitam. Kilas seorang wanita berambut panjang yang berdiri di dekat instalasi Gizi tadi terus menghantui pikirannya. Kini jelas, wanita yang dilihat Erna kemarin bukanlah sekadar seorang tamu asing pengunjung suaminya. Katrina, sampai tersenyum hangat dan lebar ke arahnya. Selama ini, sangat jarang Yura melihat senyum setulus itu dari sang ibu mertua. Mereka layaknya teman akrab yang sering bertemu. Tapi mengapa Yura sampai saat ini tak pernah tahu tentang wanita itu?Lalu, dia sedang merenungkan setiap kejadian yang terjadi padanya sepanjang hari ini. Dengan adanya pertengkaran bersama Narendra membuatnya pulang malam karena harus bertemu dengan Erna, lalu setelah bertemu Erna dia mengetahui sebuah informasi bahwa ada perempuan asing yang mengunjungi Rama. Usai pulang dari sana dia justru tertabrak motor dan berujung membawanya ke rumah sakit, bertemu dengan pimpinannya, hingga dirinya menemukan sendiri perempuan