Gin meletakkan ponsel genggamnya di atas meja. Layar yang tadinya berpendar memancarkan sebuah pesan, kini digelapkan. Bersamaan dengan suara yang menggema di telinganya padam. True Wireless Bluetooth yang menyumpal dua lubang telinganya lantas dilepas. Satu detik setelahnya membenturkan punggung pada kursi kerjanya. Dia baru saja memutar beberapa rekaman suara yang dikirimkan oleh salah satu anak buahnya. Ada banyak kalimat Yura bertebangan di atas kepala. Terngiang-ngiang hingga membuatnya ingin memukul apa pun yang berada di ruangan ini.“Aku tidak bisa mengembalikan jumlah nominal itu dengan uang. Maka yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghargainya dan menerimanya sebagai suamiku, sebagai bentuk terima kasihku kepadanya.”Jadi, yang dilakukan Yura padanya hanyalah bentuk rasa terima kasih saja? Jika benar demikian lalu mengapa Yura memintanya untuk tak pergi? Sementara ia sendiri tak bisa memastikan bahwa apa yang Yura katakan benar-benar tulus dari hati, atau hanya sekadar
“Son? Kau mau kemana?”Sarah memandang bingung ke arah putranya yang baru saja tiba di lantai satu. Pasalnya, Gin telah berganti penampilan. Saat mereka bicara di ruang kerja tadi, putra semata wayangnya itu masih menggunakan pakaian harian. Tiba-tiba saja hanya beberapa menit jaraknya, pria itu sudah berganti dengan pakaian casual. Kemeja putih, celana jeans cokelat dan sepatu yang berwarna senada dengan bajunya telah melekat sempurna. Juga pengharum badan yang nampaknya baru saja digunakan. “Bu, maaf, aku tidak ikut makan malam. Aku harus pergi karena Arkatama membutuhkan aku.”Sarah semakin mengerutkan alisnya ketika menangkap sebuah kepanikan yang tersirat jelas pada wajah sang putra. Ada masalah apa memangnya? Dan mengapa Gin terlihat kalang kabut semacam ini meski wajah yang ia tunjukkan sangatlah datar. Sarah bahkan dapat membaca rencana dalam kepalanya. Dia harus pergi secepatnya dari rumah dan berkendara secepat mungkin ke tempat tujuan. “Kenapa bisa Arkatama membutuhkanmu
Bukan hanya Yura. Pria yang baru saja datang itu hampir kehilangan napas ketika namanya disebut. Itu semua di luar rencana karena ia tak berniat menemui Yura di tempat ini. Meski demikian, wajahnya tetaplah kaku. Tempo langkahnya tak berubah sedikit pun. Hanya dua alis yang bergerak menyatu beberapa mili saja. Itu pula karena mendapati penampilan sekretarisnya cukup mengenaskan. Cara berjalan wanita itu pincang bahkan harus dituntun oleh seorang perawat. Lengan kiri ditempeli dengan plester luka yang besar, bajunya sobek dan beberapa bagian terkena rebesan darah yang cukup banyak. Kemudian di bagian kaki kiri juga terdapat titik yang ditambal dengan perban berwarna putih. Celananya kerjanya bahkan tak layak digunakan.Oh, God! Dia tak membayangkan bagaimana wanita itu mengalami kecelakaan. Arya sangat optimis bahwa yang dialami Yura adalah kecelakaan. Tidak mungkin bila hanya sekadar jatuh atau terpleset saja. Bahkan rasanya, dia ingin menggendong Yura saja dari pada tersiksa berj
Dokter yang menangani sudah mempersilakan Yura untuk pulang. Kini wanita itu sedang duduk pada kursi panjang berbahan besi di depan sebuah poli, menanti Arkatama yang mengambil kursi roda. Yura sebenarnya sudah melarang, dia bisa berjalan kalau hanya sepanjang koridor menuju parkiran saja akan tetapi Arya memaksa agar menggunakan alternatif tersebut. Entah apa maunya, Yura menurut saja. Ia tidak mau membantah sebab itu semua hanya membuang tenaganya. Percuma, karena semua titah Arya tak akan bisa dilunakkan. Arkatama bahkan tunduk padanya. Tidak ada negosiasi yang dilakukan oleh pengacara itu, justru mempersilakan ketika Arya mengusulkan keinginannya. “Ya? Saya sedang di luar, kirim email saja. Besuk pagi bawa print out-nya ke ruangan saya.” Yura menoleh kepada pria berkemeja putih yang duduk di sampingnya. Sejak mereka keluar dari unit gawat darurat dan duduk di tempat ini, lelaki itu tak mengajaknya bicara. Ibu jarinya sibuk mengetuk layar ponsel dan kini pria itu sedang menjaw
TIINN! TINN!Bunyi klakson yang bersahutan dari beberapa kendaraan mengembalikan kesadaran mereka. Arya langsung menarik dirinya jauh-jauh dari tubuh Yura dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan. Mobil keluaran terbaru ini kembali melaju pelan mendahului kendaraan lain yang memadati jalanan. Ini sudah ke sekian kalinya, Arya bertindak di luar dugaan.Sementara Yura segera memasok oksigen ke dalam paru-parunya, setelah menahan napas untuk sekian lama. Astaga! Jantungnya bisa meledak bila saja pengendara lain tak mendesak agar mobil ini segera berjalan, atau malah bisa jadi Yura tenggelam dalam pesona atasannya sendiri.Hari ini benar-benar tidak terduga oleh Yura. Kasus Narendra yang berujung membuat pertemanannya berakhir, dirinya yang hampir meregang nyawa karena tertabrak motor, lalu sekarang atasannya sendiri hampir membuatnya jantungan!***Gin sedang berdiri di sebuah kamar bernuansa hitam yang dominan. Kemejanya telah terlepas entah kemana. Dia hanya bertelanjang dada. Cah
Yura terbaring dalam keadaan terjaga walau kedua matanya di bebat kain hitam. Kilas seorang wanita berambut panjang yang berdiri di dekat instalasi Gizi tadi terus menghantui pikirannya. Kini jelas, wanita yang dilihat Erna kemarin bukanlah sekadar seorang tamu asing pengunjung suaminya. Katrina, sampai tersenyum hangat dan lebar ke arahnya. Selama ini, sangat jarang Yura melihat senyum setulus itu dari sang ibu mertua. Mereka layaknya teman akrab yang sering bertemu. Tapi mengapa Yura sampai saat ini tak pernah tahu tentang wanita itu?Lalu, dia sedang merenungkan setiap kejadian yang terjadi padanya sepanjang hari ini. Dengan adanya pertengkaran bersama Narendra membuatnya pulang malam karena harus bertemu dengan Erna, lalu setelah bertemu Erna dia mengetahui sebuah informasi bahwa ada perempuan asing yang mengunjungi Rama. Usai pulang dari sana dia justru tertabrak motor dan berujung membawanya ke rumah sakit, bertemu dengan pimpinannya, hingga dirinya menemukan sendiri perempuan
"Memangnya .... Apa yang ingin kau bahas?" Yura berusaha memiringkan badannya menghadap kearah Gin. Sekuat tenaga ia bergulir ke kanan, memindahkan tumpuan tubuhnya ke sana, kemudian menaruh lengan kirinya yang terluka di atas paha Gin. Kebiasaan pria itu tidur tak mengenakan baju. Hanya celana boxer setinggi paha sehingga Yura bisa dengan jelas merasakan bulu-bulu kaki milik Gin bersentuhan dengan kulit tubuhnya.Dalam hati, menghitung detik demi detik yang berjalan menanti apa yang akan Gin katakan padanya. Perasaanya mengatakan bahwa topik pembicaraan mereka akan serius, kala mendengar perubahan intonasi yang tak lagi ramah."Hukuman untukmu!" Gin semakin mendingin."Hu—hukuman? Hukuman untuk apa?" tanyanya meninggalkan kerutan dahi dan debar kencang di dalam dada. Masalah apa yang dia perbuat hingga Gin memberinya hukuman? "Aku melarangmu pergi-pergi sementara ini. Termasuk mengunjungi Rama, atau pun bertemu dengan Erna! Setela
"Selamat pagi, Bu Yura, saya berharap kondisi Ibu sudah semakin membaik."Seorang pria mengenakan jas abu-abu menyapa ramah ketika Yura membuka pintu. Sebuah lengkung manis terbit menyambut di bibir sang pengunjung. Aroma amber dan musk yang berpadu langsung menguar menggelitik rongga hidungnya.Pandangan Yura tertuju pada tangan kekar yang menenteng sebuah tas jinjing bahan kulit berwarna hitam. Ingatan Yura lalu tertambat pada kalimat Gin sebelum mereka tidur semalam. Arkatama akan datang membawa perjanjian baru mereka. "Kebetulan saya sudah baikan, Pak Arka," balas Yura. "Silakan masuk."Yura beringsut mundur mempersilakan Arkatama untuk masuk dalam apartemen. Dengan kaki yang sedikit timpang wanita itu berjalan lebih dulu menuju ruang tamu. Sedangkan tangan kanan suami kontraknya itu berjalan di belakang."Pak Arka mau minum dulu?" tawar Yura setelah Arkatama tiba di sofa kendati Entah bisa entah tidak dirinya membuat minuman itu, adab seorang pemilik rumah tentu harus menghormat
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth