"Memangnya .... Apa yang ingin kau bahas?" Yura berusaha memiringkan badannya menghadap kearah Gin. Sekuat tenaga ia bergulir ke kanan, memindahkan tumpuan tubuhnya ke sana, kemudian menaruh lengan kirinya yang terluka di atas paha Gin. Kebiasaan pria itu tidur tak mengenakan baju. Hanya celana boxer setinggi paha sehingga Yura bisa dengan jelas merasakan bulu-bulu kaki milik Gin bersentuhan dengan kulit tubuhnya.Dalam hati, menghitung detik demi detik yang berjalan menanti apa yang akan Gin katakan padanya. Perasaanya mengatakan bahwa topik pembicaraan mereka akan serius, kala mendengar perubahan intonasi yang tak lagi ramah."Hukuman untukmu!" Gin semakin mendingin."Hu—hukuman? Hukuman untuk apa?" tanyanya meninggalkan kerutan dahi dan debar kencang di dalam dada. Masalah apa yang dia perbuat hingga Gin memberinya hukuman? "Aku melarangmu pergi-pergi sementara ini. Termasuk mengunjungi Rama, atau pun bertemu dengan Erna! Setela
"Selamat pagi, Bu Yura, saya berharap kondisi Ibu sudah semakin membaik."Seorang pria mengenakan jas abu-abu menyapa ramah ketika Yura membuka pintu. Sebuah lengkung manis terbit menyambut di bibir sang pengunjung. Aroma amber dan musk yang berpadu langsung menguar menggelitik rongga hidungnya.Pandangan Yura tertuju pada tangan kekar yang menenteng sebuah tas jinjing bahan kulit berwarna hitam. Ingatan Yura lalu tertambat pada kalimat Gin sebelum mereka tidur semalam. Arkatama akan datang membawa perjanjian baru mereka. "Kebetulan saya sudah baikan, Pak Arka," balas Yura. "Silakan masuk."Yura beringsut mundur mempersilakan Arkatama untuk masuk dalam apartemen. Dengan kaki yang sedikit timpang wanita itu berjalan lebih dulu menuju ruang tamu. Sedangkan tangan kanan suami kontraknya itu berjalan di belakang."Pak Arka mau minum dulu?" tawar Yura setelah Arkatama tiba di sofa kendati Entah bisa entah tidak dirinya membuat minuman itu, adab seorang pemilik rumah tentu harus menghormat
"Kenapa surat keterangan sakit milik Yura bisa dibawa Bapak?" Tatapan seorang wanita berkacamata berubah menyelidik ketika sang atasan di hadapannya menyerahkan selembar amplop berisi surat keterangan sakit dn izin dokter. Lalu ketika memindai barisan huruf nama Yura Anastasia terpampang nyata di bagian depannya. Semalam wanita yang sering terlambat itu mengirim pesan jika dirinya tak masuk kerja hari ini karena mengalami sebuah musibah kecelakaan. Sehingga dirinya mengalami luka-luka ringan. Lalu surat izin dibawa oleh Arya. Semalam suntuk Yura memikirkan apa yang terjadi. Dan kini ia mendapatkan jawabannya.Tiga menit yang lalu, ia dikejutkan dengan kedatangan pria paruh baya di ruangannya. Arya mampir ke sana hanya untuk menyerahkan lembaran kertas tersebut. Ia melihat dengan jelas penampilan Arya yang baru saja datang, satu tangan bahkan masih menenteng tas kerja kesayangannya.Bukan Arya yang dikenalnya. Arya tak pernah begini sebelumnya. Rika juga sudah menandai setiap kejadia
Gin menghentikan kegiatannya saat mendengar pintu diketuk. Satu lembar denah cetak biru sebuah bangunan terpaksa diletakkan sejenak. Dari celah kaca ia sudah melihat siapa yang datang siang ini, Arkatama berdiri di depan sana. Dalam diam, Pria itu mengangguk mempersilakan sang ajudan untuk masuk."Selamat siang, Tuan," sapa pria berjas abu-abu itu seraya membungkukkan badan begitu tiba di seberang mejanya."Siang." Gin kemudian menyingkirkan lembaran kertas biru itu ke tepi meja. Selanjutnya, menunjuk kursi dengan dagunya agar Arkatama duduk pada kursi kosong di hadapannya. "Kau sudah mengurus kontrak baru?" Anggukan singkat diberikan Arkatama. Berkas-berkas yang disimpan dalam tasnya lantas dikeluarkan dijajarkan rapi di atas meja. "Sudah, Tuan, berikut dokumen perjanjian baru yang sudah ditandatangani oleh Yura. Bu Yura juga sudah menyerahkan sim-card yang digunakan untuk menghubungi Erna," lapornya seraya menyerahkan berkas dan sebuah plastik zip lock berisi kartu kecil.Sebelah a
Bunyi kertap pintu dibuka tertangkap di indera pendengaran membuat Yura terkesiap. Belum sempat pusat sarafnya mencerna, ia mendengar derit pintu ditutup lalu dibuka lagi. Wanita yang sedang terbaring miring dengan kedua mata tertutup segera mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Satu aroma konstan tercium. Derap langkah yang terhenti di samping telinganya sudah menjelaskan bahwa sosok yang sedang memasuki ruang istirahatnya saat ini adalah Tuan Gin. Dia sudah pulang. Entah kapan pria itu membunyikan lonceng kedatangannya, Yura tidak tahu, lebih tepatnya tidak mendengar. Terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri, larut ke dalam sebuah renung. Apakah keputusan yang ia ambil selama ini sudah benar? Jika mungkin benar apakah tepat? Karena segala sesuatu yang benar saja belum tentu tepat. Salahkan dia mengorbankan hatinya dan mempertaruhkan pernikahannya sendiri demi pernyataan sebuah cinta? Jika cinta, mengapa sampai rela mengorbankan? Itu lah yang sejak tadi bergejolak dalam b
"Suntikan apa?"Gin tak mampu lagi membendung rasa penasarannya. Pria yang tak mengenakan sehelai benang ditubuhnya itu lantas segera menarik tubuh mungil di hadapannya kembali dan menyelenggarakan sebelah tangannya sebagai bantal.Yura mendongak sebentar kemudian menurunkan dagunya kembali. Dia membenarkan posisi tidurnya setelah lengan Gin berhasil menopang kepalanya."Suntikan hormon." Alih-alih meredakan kerut kening Gin, kalimat yang meluncur dari bibir Yura justru memperdalam lipatannya. Hormon apa? Mengapa sampai begitu banyaknya?"Satu bulan sebelum menikah, ibu mertuaku meminta agar aku konsultasi kepada dokter dan menjalankan terapi kesuburan dengan cara herbal. Tujuannya setelah menikah kami bisa cepat punya anak. Tapi satu bulan setelah menikah. Tidak ada hasilnya. Karena itu aku disarankan menjalani terapi hormon secara medis. Aku harus suntik HCG tiga kali seminggu."Sekarang Gin cukup mengerti, mengapa bekas luka itu banyak sekali. Tiga kali seminggu masih dikalikan lagi
Lilin-lilin kecil tersusun rapi di atas meja makan. Beberapa menu besar turut tersaji. Dua piring pasta, satu porsi barbeque beef roll, satu porsi chicken mushroom, juga sebuah anggur merah favorit Gin telah disiapkan di sana. Lalu tepat di tengah susunan menu itu sebuah cake merah berbentuk hati berhias cream dan sprinkle berwarna emas menambah kesan romantis meski mereka tak berada di restoran mahal.Seorang wanita tersenyum puas. Tangannya mengetap saat semua yang di lakukan telah selesai. Sudut bibirnya semakin melebar memandangi hasil karyanya sendiri. Ah, manis sekali. Semoga saja pria yang sebentar lagi datang tak kecewa melihat barisan makanan ini.Sejak pagi Wanita itu berkutat di dapur untuk menyiapkan semuanya. Hanya untuk merealisasikan sebuah ide romantis yang tercetus di benaknya satu minggu yang lalu.Perayaan enam bulan pernikahan. Setengah tahun, adalah waktu yang cukup panjang. Beberapa orang menanti-nanti seraya berkoar gerutu mengapa hari berjalan begitu lambat. Na
Usai menikmati perayaan kecil-kecilan yang dibuat untuk memperingati hari jadi pernikahan, Yura dan Gin menghabiskan sisa malam dengan berbaring di atas ranjang. Hanya berbaring saja, dengan posisi saling memeluk sembari bertukar kecup, dan menikmati rendahnya suhu ruangan karena pendingin. Tidak ada yang berubah dari sepasang suami istri itu. Yura tetap mengenakan penutup mata seperti biasanya. Enam bulan lebih kain itu terbelit hampir di setiap malamnya. Meski ada malam-malam tertentu dimana Gin tidak berkunjung, atau sengaja melepas saat dalam keadaan gelap.Dahulu, wanita itu risih bahkan ragu apakah bisa menjalani tantangan itu atau tidak. Selain kerap merasa pusing karena setelah mengikatkan kain itu yang ia lihat hanyalah gulita, Yura tak akan bisa kemana-mana. Dia semacam orang buta dn lumpuh yang butuh tuntunan. Tidak bebas padahal dia memiliki organ dan anggota tubuh yang lengkap. Akan tetapi hari demi hari ia lalui hingga tak terasa, secara tidak langsung, ia telah bersa