Lilin-lilin kecil tersusun rapi di atas meja makan. Beberapa menu besar turut tersaji. Dua piring pasta, satu porsi barbeque beef roll, satu porsi chicken mushroom, juga sebuah anggur merah favorit Gin telah disiapkan di sana. Lalu tepat di tengah susunan menu itu sebuah cake merah berbentuk hati berhias cream dan sprinkle berwarna emas menambah kesan romantis meski mereka tak berada di restoran mahal.Seorang wanita tersenyum puas. Tangannya mengetap saat semua yang di lakukan telah selesai. Sudut bibirnya semakin melebar memandangi hasil karyanya sendiri. Ah, manis sekali. Semoga saja pria yang sebentar lagi datang tak kecewa melihat barisan makanan ini.Sejak pagi Wanita itu berkutat di dapur untuk menyiapkan semuanya. Hanya untuk merealisasikan sebuah ide romantis yang tercetus di benaknya satu minggu yang lalu.Perayaan enam bulan pernikahan. Setengah tahun, adalah waktu yang cukup panjang. Beberapa orang menanti-nanti seraya berkoar gerutu mengapa hari berjalan begitu lambat. Na
Usai menikmati perayaan kecil-kecilan yang dibuat untuk memperingati hari jadi pernikahan, Yura dan Gin menghabiskan sisa malam dengan berbaring di atas ranjang. Hanya berbaring saja, dengan posisi saling memeluk sembari bertukar kecup, dan menikmati rendahnya suhu ruangan karena pendingin. Tidak ada yang berubah dari sepasang suami istri itu. Yura tetap mengenakan penutup mata seperti biasanya. Enam bulan lebih kain itu terbelit hampir di setiap malamnya. Meski ada malam-malam tertentu dimana Gin tidak berkunjung, atau sengaja melepas saat dalam keadaan gelap.Dahulu, wanita itu risih bahkan ragu apakah bisa menjalani tantangan itu atau tidak. Selain kerap merasa pusing karena setelah mengikatkan kain itu yang ia lihat hanyalah gulita, Yura tak akan bisa kemana-mana. Dia semacam orang buta dn lumpuh yang butuh tuntunan. Tidak bebas padahal dia memiliki organ dan anggota tubuh yang lengkap. Akan tetapi hari demi hari ia lalui hingga tak terasa, secara tidak langsung, ia telah bersa
"Ada apa, Arka?"Gin mengucapkan kalimatnya sepelan mungkin. Pria itu menarik gagang pintu dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara gaduh. Mencoba tetap tenang meski benaknya sedang kacau usai membaca pesan dari sang ajudan. Apa yang terjadi sampai Arkatama tak bisa menyampaikannya melalui pesan? Jumlah persoalan yang lebih dari satu semakin membuat kepala Gin buntu. Ingin ia cepat-cepat menelpon balik Arkatama lalu menuntut penjelasan yang sejelas-jelasnya. Namun, Yura baru saja terlelap dan ia tak ingin mengganggu waktu istirahat istrinya itu.Begitu tiba di luar unit, Gin lantas mencari tempat lengang, sejauh-jauhnya untuk bicara dengan Arkatama. Ia tak mau bila saja Yura terbangun dan mendengar semua percakapannya. Rasa kantuk mulai menyerang. Gin ingin secepatnya merebahkan diri di kasur dan memeluk tubuh istrinya. Menyelami alam mimpi bersama.Masalahnya, ia tak tahu Arkatama akan melaporkan apa. Panggilannya sudah tersambung tetapi Arkatama tak segera menjawab pertanyaann
Gin melesakkan pantatnya di pembaringan dengan hati-hati. Ia berusaha membuat gerakan seminimal mungkin agar tak mengusik ketenangan wanita yang tengah meringkuk nyaman di ranjang berukuran king size ini.Tubuh berbalut piyama hitam itu belum berbaring. Punggungnya bersandar ke kepala ranjang. Tatapannya kosong merenung ke arah dinding dengan bulatan pekat yang mengerling. Bukan masalah kebakaran yang sedang melanda pikirannya saat ini akan tetapi tentang Rama yang telah lama ia istirahatkan. Rentang waktu enam bulan ia hanya fokus dengan kehidupannya bersama Yura dan pekerjaannya saja. Selama itu tak pernah mengawasi Rama lagi, semua sudah ia serahkan sepenuhnya kepada Arkatama. Namun, sekarang di luar perkiraannya, dengan cara yang tiba-tiba, bahkan baru saja merayakan sebuah hari yang bahagia, sebuah penegas menuntutnya membuat kemungkinan-kemungkinan rencana yang akan ia lakukan beberapa waktu ke depan.Langkah yang akan membawanya pergi dari seorang wanita yang tidur di sampin
Yura menyesal baru membuka ponselnya di siang hari. Terkushus pada pesan-pesan yang tidak ia prioritaskan, seperti pesan Erna semalam. Ada kurang lebih 5 panggilan tak terjawab. Lalu sebuah pesan yang memintanya untuk cepat-cepat pergi ke rumah sakit.Kini tak ada gunanya dia terkejut. Terlambat. Sebab pesan itu dikirim kemarin bukan hari ini. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Yura sendiri bingung karena saat ini pekerjaannya sangatlah banyak dan tak bisa disela. Dia harus menemani Arya bertemu dengan tamu dari luar negeri. Tak mungkin ia tinggalkan karena ini berkaitan dengan investor baru. Bahkan setelah ini ia harus mengikuti sang pimpinan menyimak presentasi dari arsitek untuk renovasi gedung baru di sebelah selatan kantor ini. Tak mungkin ia tinggalkan juga sebab dirinya lah yang harus follow up masalah tersebut di kemudian hari.Semuanya penting. Rama pun tak kalah genting. Namun, pada akhirnya Yura memilih membalas pesan Erna terlebih dahulu. Disela-sela rapat yang membahas
Tautan tubuh wanita paruh baya terlepas. Katrina mengerutkan dahi seraya menyurut air mata lalu bergerak menyingkir ke samping. Sehingga Yura bisa melihat dengan jelas peristiwa apa yang terjadi. Satu hal membuat Yura sedikit tercenung. Ada wanita lain yang masuk di ruangan ini. Berpakaian modis berambut panjang sama seperti yang dia lihat terakhir kali di dekat instalasi gizi.Namun, Yura tak peduli karena saat ini perhatiannya bukan pada wanita itu. Dia lantas melempar pandangan ke arah lain.Seorang pria bertubuh kurus terduduk di atas brankar. Baju seragam rumah sakit yang digunakan bertahun-tahun itu telah lukat dari badannya. Tempat tidur yang ia gunakan bertahun-tahun seakan kuasa menggerus tubuhnya dari waktu ke waktu. Dada bidangnya terekspos, menampakkan kerut-kerut tulang rusuk yang begitu kentara. Banyak alat-alat medis yang masih melekat di sana. Selang oksigen membelit hidung dan infuse yang tertancap di lengannya.Saat itu lah ia menyadari satu hal:Ramaditya Chandra
Yura menapak jejak lantai berbahan marmer dengan langkah lunglai. Dua bahunya turun dan kepalanya tertunduk. Di depan pintu unit wanita itu menghentikan langkahnya. Sejenak memandang pintu bernomor: 16A02. Ingatannya lantas melayang pada saat ia pertama kali mengunjungi tempat ini.Sekitar delapan bulan yang lalu, di posisi yang sama ia memandang ragu ruangan itu. Dia takut dengan segala hal yang terjadi ke depannya. Lalu dengan segala keterpaksaaan juga rasa bersalahnya dia akhirnya menghuni tempat ini. Namun, siapa sangka, setelah hari-hari berjalan justru sekarang ia telah nyaman. Yura telah menganggap tempat itu sebagai rumah tinggalnya sendiri. Ada banyak cerita yang pernah ia rangkai di sana. Terutama perayaan kecil yang ia buat kemarin malam. Sekarang bagaimana caranya dia bicara dengan Gin? Bagaimana ia harus merangkai kata untuk mengakhiri hubungan mereka? Apakah setelah perpisahan itu dia akan baik-baik saja? Dadanya kembali sesak. Air matanya tumpah lagi.Dengan satu gera
Bel apartemen telah dibunyikan.Seharusnya Yura telah bersiap di dalam sana dan Gin hanya tinggal masuk ke dalam kamar lalu melakukan aktivitas mereka seperti biasa. Namun, untuk kali ini pria paruh baya itu meragu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Semakin melangkah dekat, semakin dadanya memberat. Tangan pria itu hendak meraih gagang pintu, tetapi hanya berakhir menggantung di udara dan mengepal sempurna. Kepalanya tertunduk dan bola matanya terkatup rapat. Ia sudah berusaha menerima semuanya melupakan sesak yang sejak tadi menghujam jantungnya, tetapi kenapa sekarang gerombolan pilu itu menyerangnya lagi. Tidak! Ia harus bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Gin sendiri yang telah memilih jalan ini untuk menjalin hubungannya dengan Yura. Maka dia harus menerima sebab akibat yang terjadiDia mencoba menutup telinga dari gaungan suara yang terlintas di benaknya. It is your last night with her.Ingin menyangkal, trtapi memang benar, jika malam ini adalah hari terak