Tautan tubuh wanita paruh baya terlepas. Katrina mengerutkan dahi seraya menyurut air mata lalu bergerak menyingkir ke samping. Sehingga Yura bisa melihat dengan jelas peristiwa apa yang terjadi. Satu hal membuat Yura sedikit tercenung. Ada wanita lain yang masuk di ruangan ini. Berpakaian modis berambut panjang sama seperti yang dia lihat terakhir kali di dekat instalasi gizi.Namun, Yura tak peduli karena saat ini perhatiannya bukan pada wanita itu. Dia lantas melempar pandangan ke arah lain.Seorang pria bertubuh kurus terduduk di atas brankar. Baju seragam rumah sakit yang digunakan bertahun-tahun itu telah lukat dari badannya. Tempat tidur yang ia gunakan bertahun-tahun seakan kuasa menggerus tubuhnya dari waktu ke waktu. Dada bidangnya terekspos, menampakkan kerut-kerut tulang rusuk yang begitu kentara. Banyak alat-alat medis yang masih melekat di sana. Selang oksigen membelit hidung dan infuse yang tertancap di lengannya.Saat itu lah ia menyadari satu hal:Ramaditya Chandra
Yura menapak jejak lantai berbahan marmer dengan langkah lunglai. Dua bahunya turun dan kepalanya tertunduk. Di depan pintu unit wanita itu menghentikan langkahnya. Sejenak memandang pintu bernomor: 16A02. Ingatannya lantas melayang pada saat ia pertama kali mengunjungi tempat ini.Sekitar delapan bulan yang lalu, di posisi yang sama ia memandang ragu ruangan itu. Dia takut dengan segala hal yang terjadi ke depannya. Lalu dengan segala keterpaksaaan juga rasa bersalahnya dia akhirnya menghuni tempat ini. Namun, siapa sangka, setelah hari-hari berjalan justru sekarang ia telah nyaman. Yura telah menganggap tempat itu sebagai rumah tinggalnya sendiri. Ada banyak cerita yang pernah ia rangkai di sana. Terutama perayaan kecil yang ia buat kemarin malam. Sekarang bagaimana caranya dia bicara dengan Gin? Bagaimana ia harus merangkai kata untuk mengakhiri hubungan mereka? Apakah setelah perpisahan itu dia akan baik-baik saja? Dadanya kembali sesak. Air matanya tumpah lagi.Dengan satu gera
Bel apartemen telah dibunyikan.Seharusnya Yura telah bersiap di dalam sana dan Gin hanya tinggal masuk ke dalam kamar lalu melakukan aktivitas mereka seperti biasa. Namun, untuk kali ini pria paruh baya itu meragu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Semakin melangkah dekat, semakin dadanya memberat. Tangan pria itu hendak meraih gagang pintu, tetapi hanya berakhir menggantung di udara dan mengepal sempurna. Kepalanya tertunduk dan bola matanya terkatup rapat. Ia sudah berusaha menerima semuanya melupakan sesak yang sejak tadi menghujam jantungnya, tetapi kenapa sekarang gerombolan pilu itu menyerangnya lagi. Tidak! Ia harus bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Gin sendiri yang telah memilih jalan ini untuk menjalin hubungannya dengan Yura. Maka dia harus menerima sebab akibat yang terjadiDia mencoba menutup telinga dari gaungan suara yang terlintas di benaknya. It is your last night with her.Ingin menyangkal, trtapi memang benar, jika malam ini adalah hari terak
Malam yang terasa singkat sudah berlalu berganti dengan cahaya yang cerah di pagi hari. Yura masih terbaring di atas tempat tidur, enggan membuka mata walau sinar matahari telah menyiram kota tempatnya tinggal ini. Kelopak matanya seperti ditindih beban yang berat. Rasanya malas untuk membukanya. Hari ini dia libur. Sebab memang tanggal merah. Terlebih semalam dia menangis cukup lama setelah membuat perpisahan bersama sang Tuan berimbas pada mata yang terasa sembab.Ah! Jika mengingat momen itu dadanya hanya akan kembali sesak. Bola matanya bahkan spontan memanas, ingin menangis lagi. Peristiwa malam kemarin tak akan pernah terlupakan. Jasa pria yang berusia sepantaran pamanya itu akan selalu ia kenang sepanjang hayatnya. Meski ia tak pernah tahu nama aslinya. Meski ia tak pernah melihat wajahnya secara langsung. Gin mengatakan semalam jika dia butuh bantuan, pintunya akan selalu terbuka untuknya. Dia tak pernah melarang Yura membuka komunikasi. Pria itu juga mengatakan, Yura akan
Kepala Yura sedang berkecamuk hebat. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya melihat situasi di luar jendela mobil taksi online-nya dengan tatapan hampa. Beberapa kali membuang napas berat kala mengingat kejadian lalu. Sekarang, semua kejanggalan yang tersimpan di benaknya telah menemukan jawaban. Dua pria yang ia kira berbeda ternyata adalah sosok yang sama. Dia masih tidak percaya jika sosok Gin yang selama ini berhubungan dengannya adalah atasannya sendiri. Arya Girindra Satwika, mungkin panggilan Gin berasal dari nama tengahnya? Entah mana yang benar.Sampai detik ini Yura masih bertanya-tanya, bagaimana bisa pria itu melakukannya dengan rapi? Semua strategi yang ia lakukan begitu apik sehingga Yura tak menyadari meski beberapa kali menaruh sangsi. Jadi, ini alasan Yura menjadi sekretaris dadakan di kantor? Dengan mudahnya dia menempati kursi jabatan penting tanpa melakukan apa-apa. Bahkan ketika bagian personalia telah memberikan masukan, Arya tetap saja teguh dengan keputusann
"Pengunduran diri."Tautan di kedua alis Erna belum terurai. Sekarang justru memiringkan kepalanya dan menatap bingung ke arah Yura. Mengapa Yura malah mengundurkan diri? Dan, dari mana?"Pengunduran diri dari mana?" tanyanya kemudian disusul dengan sebuah tebakan, "Maksudnya kau ingin mengundurkan diri dari perusahaan? Resign?"Yura memberikan satu anggukan sebagai jawaban. Benar. Itu adalah tujuannya. "Aku rasa itu solusi yang tepat. Aku tidak sanggup jika harus bertemu dengan Gin lagi. Aku—"Wanita itu mengatakan kalimatnya dengan nada panik. Dia sendiri yang memungkas kalimat itu lalu meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Namun, lain halnya dengan Erna. Wanita itu menggelengkan kepala tak setuju dengan keputusan Yura. "Jangan gegabah. Ini masalah pekerjaan dan uang, Yura. Jika kau keluar dari Satwika Group sementara kau sendiri belum punya pekerjaan pengganti bagaimana kau dapat uang nanti?" Apa yang dikatakan oleh Erna tidak salah. Pun sempat singgah di benak Yura beberap
Pada jam yang sama, di rumah sakit.Katrina meletakkan gelas yang dipakai baru saja dipakai Rama untuk meminum obat tiga puluh menit sebelum makan.Wanita itu duduk di samping kanan tempat brankar Rama berada. Ada rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Senyumnya mengembang tatkala melihat putranya mulai bisa mendapatkan kekuatan untuk memegang sesuatu—termasuk gelas kaca yang ia berikan— setelah sekian lama hanya menyaksikan putra sulungnya ini terpejam dan tak berdaya di atas pembaringan."Bagaimana perasaanmu, Nak? Sudah lebih baik? Apakah pusingnya masih terus muncul?" tanyanya kemudian.Rama menjawab dengan gelengan lemah. Pria itu masih terduduk dengan punggung bersandar pada kepala brankar. "Sudah lebih baik, Bu. Pusingnya sudah tidak seperti semalam."Karina menerbitkan senyumnya lagi. Lantas jemarinya mengusap lengan kurus putranya. "Kenapa memandangku begitu?" Rama menginterupsi bingung. Dia merasa terganggu lebih tepatnya canggung dengan Katrina yang tersenyum ke arahn
Tok tok tok.Pintu ruangan rawat inap diketuk tiga kali. Dua orang yang sedang menyimak siaran televisi segera menoleh ke arah papan berkelir biru muda itu. Pada detik yang bersamaan seorang wanita berambut panjang muncul setelah menarik pintu. Senyum wanita itu mengembang sempurna kala bertegur sapa dengan Katrina. Dress rajut tanpa lengan berwarna coklat membuat tubuhnya terlihat memikat. Rambutnya dikuncir kuda menambah kecantikannya menjadi sempurna. Riasan wajahnya yang ia gunakan cukup tebal tapi tak berlebihan. Wangi parfum mahal pun tercium menguar ke seluruh ruangan. Rama bahkan sempat terhipnotis sepersekian detik. Gerakan geraham mengunyah makanannya sampai terhenti.Sherina, wanita yang semalam menemaninya saat Katrina berkonsultasi dengan para medis. Dia pula yang beberapa saat lalu menjadi topik obrolannya dengan sang ibu.Wanita itu membawa satu paper bag berbahan eco friendly. Tak perlu dijelaskan Rama sudah tahu isinya. Makan siang untuk ibunya. "Maaf, Bu, aku lama
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth