Tok tok tok.Pintu ruangan rawat inap diketuk tiga kali. Dua orang yang sedang menyimak siaran televisi segera menoleh ke arah papan berkelir biru muda itu. Pada detik yang bersamaan seorang wanita berambut panjang muncul setelah menarik pintu. Senyum wanita itu mengembang sempurna kala bertegur sapa dengan Katrina. Dress rajut tanpa lengan berwarna coklat membuat tubuhnya terlihat memikat. Rambutnya dikuncir kuda menambah kecantikannya menjadi sempurna. Riasan wajahnya yang ia gunakan cukup tebal tapi tak berlebihan. Wangi parfum mahal pun tercium menguar ke seluruh ruangan. Rama bahkan sempat terhipnotis sepersekian detik. Gerakan geraham mengunyah makanannya sampai terhenti.Sherina, wanita yang semalam menemaninya saat Katrina berkonsultasi dengan para medis. Dia pula yang beberapa saat lalu menjadi topik obrolannya dengan sang ibu.Wanita itu membawa satu paper bag berbahan eco friendly. Tak perlu dijelaskan Rama sudah tahu isinya. Makan siang untuk ibunya. "Maaf, Bu, aku lama
Yura bimbang ingin melanjutkan langkahnya menghampiri pria yang kini bertelanjang dada itu atau tidak. Atau memilih opsi lain untuk pergi saja dari tempat ini? Hatinya terlanjur sesak melihat wanita yang sampai detik ini tak ia ketahui statusnya sebagai apa dalam hidup Rama kembali muncul di hadapannya. Dia tak suka, jujur. Terlebih melihat mereka sedekat itu, saling menatap mesra layaknya sepasang suami istri. Oh, no! Seharusnya Yura yang berada di sana. Seharusnya Yura yang memeluk tubuh itu sekarang.Satu ide konyol muncul tiba-tiba. Kepalanya merencanakan sebuah tindakan. Bagaimana jika Yura yang lemah ini mengumpulkan keberanian, lalu menarik rambut panjang itu sampai rontok, menampar pipi mulusnya berkali-kali karena telah lancang menyentuh suaminya tanpa izin, kemudian mengeluarkan makian kasar lantas mengusir wanita itu pergi?Yura bahkan telah mengepalkan tangan bersiap menjalankan rencana terakhirnya. Namun, ketika ia menyadari bahwa perlakuan itu terlalu urakan dan murahan
"Bagaimana bisa, Yura? Kau yang bekerja keras selama lima tahun ini! Bukan Sherina! Apa lagi Bu Katrina, dia hanya tukang suruh dan memerintah semaunya saja, bicara pun tak enak di dengar! Bagaimana bisa mereka memutar balikkan fakta?"Erna menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Raut wajah syok, tak percaya, dan heran bercampur menjadi satu. Dia baru saja mendengarkan cerita Yura tentang apa yang terjadi ketika datang menjenguk Rama di ruangan tadi. Erna tak tahu menahu sebab ia memilih menunggu di luar karena memang hanya keluarga pasien saja yang diijinkan untuk menjenguk. Urusan dan pertanyaan mengapa Sherina bisa masuk ke sana itu ia tak tahu awal sebabnya. Dia hanya mematuhi peraturan yang ada saja.Sejak awal Yura meninggalkannya, Erna memang sempat mendengar sedikit keributan dari dalam ruangan inap. Hingga akhirnya Sherina keluar. Ia juga mendengar Rama berteriak mengusirnya pergi. Lalu Yura keluar ruangan dengan keadaan kacau. Tubuhnya lemas hampir ambruk, untuk melangkah sa
Dialog terakhirnya bersama Erna terus menggaung di kepala Yura. Ucapan yang memintan untuk berhenti berjuang dan merelakan Rama menghantuinya setiap detik. Bahkan sebelum Erna pamit untuk pulang, kalimat-kalimat itu sudah menyerang kepalanya.Dan di sini lah dia sekarang. Terbaring mangu di atas kasur. Sorot matanya tawar ke arah plafon bercat putih bersih. Sedang memikirkan aksi yang tepat untuk ia lakukan. Mengikuti kata hati atau akal budi? Tidak tahu. Hatinya berkata ini menyakitkan, tetapi ego dalam kepalanya menyayangkan bila mereka harus berpisah. Kilas balik perjuangannya dengan Rama membangun hubungan begitu luar biasa. Mendapatkan restu Katrina untuk menikah itu tak mudah. Melewati hari dan beradaptasi dengan cacian Katrina itu juga tidak gampang. Hubungan mereka sudah sejauh ini. Apakah harus berakhir hanya karena sebuah kesalahpahaman? Bukankah itu masih bisa diluruskan? Tetapi yang dikatakan Erna beberapa waktu yang lalu ada benarnya. Apa pun yang akan Yura lakukan,
"Jangan-jangan aku kenapa? Aku tidak tahu maksudmu, Erna."Rasa mual yang tadi membabi buta, kini mereda. Meski masih terus mengacau isi perutnya, setidaknya rasa itu sedikit teralihkan dengan penasaran. Entah Erna yang tak gamblang, atau memang Yura yang sedang tak satu frekuensi dengannya, wanita itu mendadak dungu. Tidak menangkap maksud kalimat Erna yang patah-patah saat diucapkan."Sorry, tapi aku curiga ini berkaitan dengan pregnancy," jawab Erna dan seketika kedua mata Yura terbelalak lebar. Wanita itu langsung menggeleng cepat menyangkal tudingan Erna."Tidak mungkin!"Erna menghempas napas kasar. "Bagaimana kau yakin mengatakan tidak mungkin? Sementara kenyataannya kalian berhubungan setiap malam, Yura. Coba ingat kapan kalian terakhir melakukannya?" tuntut Erna meminta keterangan.Yura diam sejenak, melakukan perintah Erna untuk memutar reka adegan intim itu di kepalanya, memastikan kapan tanggal terakhir melakukannya dengan Gin. Mereka berhubungan sebagai perpisahan terak
Hari libur telah berganti menjadi hari kerja. Libur dua hari rasanya seperti hanya dua jam bagi Yura. Terlalu singkat. Padahal, satu hari kemarin hanya dihabiskan dengan tiduran sepanjang hari. Badannya sedang tidak bersahabat untuk beraktivitas.Mualnya memang tak parah, ia sesekali merasakan gejolak itu. Hanya saja demam dan gigil yang menyerang membuat tubuhnya seperti wanita sekarat di atas pembaringan. Tak bisa kemana-mana. Maunya tidur saja.Erna sudah kali berulang memintanya agar mau di antar ke dokter. Namun, wanita itu mengatakan penolakan dan memilih beristirahat di rumah. Mengandalkan obat dalam kotak PPPK miliknya.Dan sekarang, keadaan tubuh tak sepenuhnya baik, tetapi wanita itu menguatkan diri untuk menapaki setiap ubin berlapis marmer di gedung perusahaan bernama Satwika Group ini. Dia memiliki tekad yang besar agar apa yang ia rencanakan sejak kemarin tersampaikan kepada sang pimpinan.Dia menjelajahi koridor di lantai satu untuk menuju sebuah ruangan di sudut bangu
Jika semua keputusan bergantung pada Gin bagaimana dengan nasib hidupnya? Apakah pria itu akan melepasnya begitu saja? Sejak tadi pertanyaan-pertanyaan ini yang mengganggu konsentrasi Yura. Tabel jadwal bulanan dan daftar janji temu pimpinannya sampai detik ini belum rampung jua. Padahal, hanya tinggal memasukkan sejumlah agenda saja. Tidak perlu mengurutkan, tidak perlu membuat ulang.Selain itu, perut yang kembali bereaksi membuatnya menunda setiap gerakan jari. Kepalanya terasa berat, rasanya ingin rebahan saja. Penyakit apakah ini? Mengapa Yura malas sekali untuk melakukan pekerjaan apa pun hari ini?Sebenarnya ada tempat untuk berbaring di ruangan Presdir. Namun, tidak mungkin Yura memakainya, bukan?Dia lebih memilih menahan perasaanya daripada berbuat lancang dan sembarangan. Ini baru pukul sepuluh. Lebih kurang masih ada enam jam lagi dia berada di tempat ini. Entah kenapa waktu berjalan sangat lambat. Padahal biasanya Yura seperti tak memiliki waktu lebih. "Kenapa aku mual
Di rumah sakit."Yura? Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan"Wanita yang terbaring di atas ranjang sakit itu mengerjapkan mata beberapa kali tatkala suara seseorang menodongnya dengan berbagai pertanyaan.Dia bahkan belum bisa menerka apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Dia ada dimana? Dan kenapa bisa berada di ruangan berbau antiseptik itu. Tepat saat kedua matanya terbuka lebar, ia baru menyadari jjka Erna yang berdiri di hadapannya. Wajahnya menunjukkan kepanikan, sekilas Yura melihatnya."Aku dimana? Aku .... Ssh .... Kenapa?" gumamnya pelan. Pening berpusat di puncak kepala. Bibirnya kembali mendesis menahan nyeri dan mual yang datang bersamaan. "Kau ada di unit gawat darurat. Tadi kau pingsan di kantor dan aku diminta Bu Rika untuk membawamu ke rumah sakit. Aku sudah bilang, kan, jangan bekerja kalau belum baik. Tapi kenapa nekat?"Yura menghempas napas panjang. "Maaf, Erna. Tadi aku merasa lebih baik dari kemarin. Aku tidak tahu kalau malah jadi se
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth