Di rumah sakit."Yura? Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan"Wanita yang terbaring di atas ranjang sakit itu mengerjapkan mata beberapa kali tatkala suara seseorang menodongnya dengan berbagai pertanyaan.Dia bahkan belum bisa menerka apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Dia ada dimana? Dan kenapa bisa berada di ruangan berbau antiseptik itu. Tepat saat kedua matanya terbuka lebar, ia baru menyadari jjka Erna yang berdiri di hadapannya. Wajahnya menunjukkan kepanikan, sekilas Yura melihatnya."Aku dimana? Aku .... Ssh .... Kenapa?" gumamnya pelan. Pening berpusat di puncak kepala. Bibirnya kembali mendesis menahan nyeri dan mual yang datang bersamaan. "Kau ada di unit gawat darurat. Tadi kau pingsan di kantor dan aku diminta Bu Rika untuk membawamu ke rumah sakit. Aku sudah bilang, kan, jangan bekerja kalau belum baik. Tapi kenapa nekat?"Yura menghempas napas panjang. "Maaf, Erna. Tadi aku merasa lebih baik dari kemarin. Aku tidak tahu kalau malah jadi se
Yura sedang mengandung.Tiga kata yang menjadi fakta tak terelakkan bagi sang pemilik nama. Selain dua hasil testpack yang menunjukkan indikator sama persis, dokter sudah memvalidasi dengan hasil ultrasonografi. Ada janin kecil yang tubuh di dalam rahim Yura. Usianya sudah hampir empat minggu. Bagaimana bisa Yura melewatkan itu?Entah sekarang dia harus bereaksi seperti apa. Haruskah ia senang karena hasil itu mematahkan kesimpulan yang selama ini ia tanamkan padanya bahwa tak akan bisa mengandung. Dua telinganya mendengar sendiri bahwa ada kehidupan di dalam tubuhnya. Haruskah dia bahagia akan segera menjadi ibu?Atau, haruskah ia bersedih? Sebab jabang bayi itu tumbuh dari seorang pria yang suami sahnya. Mereka bahkan berpisah sekarang. Haruskah ia memberitahu Gin tentang ini? Bagaimana jika dia masih bekerja di Satwika Group dengan keadaan hamil? Bukankah itu akan menjadi bahan olokan? Karena tak mungkin suami yang baru saja koma bisa menghamilinya secepat itu. Terlebih usianya ya
Jika kerumitan sedang melanda Yura, maka hal yang sama juga terjadi kepada Gin. Pria itu sejak tadi tak henti menghempas napas lelah, berusaha membuang energi negatif yang menyelimutinya. Ia sedang pusing mengurus masalah yang terjadi di kantor. Tetapi saat kembali memusatkan perhatian pada pekerjaan, pikirannya kembali bercabang kemana-mana. Tentang usaha ibunya yang menemui masalah baru hingga harus menahannya di Semarang. Mungkin ia akan menetap di Kota Lumpia itu lebih lama lagi. Masyarakat menuntut perusahaannya, padahal ia adalah korban. Dia harus meluangkan waktu dan tenaganya untuk bermediasi dengan banyak pihak, terutama memberantas oknum yang membuat kasus ini semakin memanas. Pekerjaan rutin yang ia tinggalkan di Jakarta turut mengusik ketenangannya belum lagi dengan anak perusahaan yang sedang di-branding perlahan. Meski di sana sudah ada struktur organisasi sendiri tetap saja keputusan final juga tak lepas dari atensinya. Kemudian, kesehatan sang ibu kembali menurun
Deru mesin mobil yang berhenti di pekarangan rumah membuat Katrina segera mengakhiri aktivitas. Bantal yang sebelumnya ia letakkan di atas meja langsung ia rapikan ke sofa. Berikut dengan remote televisi dan vas yang belum rapi. Sesaat kemudian menyemprot ruang seluas 25 meter persegi itu dengan spray pengharum.Rona wajahnya berubah sumringah kala berjalan menuju pintu. Wanita paruh baya itu tak lupa memeriksa penampilannya. Tentu ia tak ingin terlihat buruk di depan orang yang saat ini sedang dekat dengannya. Sherina Hartantyo.Ya, Katrina sudah mengambil simpati pebisnis muda itu. Langkahnya tinggal sedikit lagi untuk berhasil mendapatkan keinginannya. Dengan begitu, maka ia tak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan uang.Seperti yang ia duga sebelumnya, begitu membuka pintu Sherina telah berdiri di hadapannya bersama dengan Rama. Katrina memang meminta Sherina untuk menjemput Rama di rumah sakit karena dokter sudah memperbolehkan putranya itu pulang. Namun, meski demikian kea
"Jika begitu keputusanmu, ibu mendukung. Percayalah selama Yura masih menjadi istrimu, hidup kita tak akan pernah tenang, Nak. Belum lagi nama keluarga kita akan tercemar. Secepatnya saja kau gugat istrimu. Tak perlu mediasi, langsung persidangan saja. Nanti ibu carikan pengacara yang baik." Katrina berkata lagi kepada sang putra. Sementara Rama hanya mengangguk. "Terserah saja. Aku serahkan semua pada ibu. Aku yakin ibu akan memikirkan yang terbaik untukku."Dua sudut bibir Katrina terangkat. "Tentu saja, Rama. Ibu pasti usahakan yang terbaik untuk kamu. Setelah bercerai, ibu harap kamu juga menurut untuk mengenal dekat dengan Sherina.""Maksud ibu?""Sherina itu gadis yang baik. Umur kalian juga sepantaran, bukan? Hanya dia yang bisa ibu andalkan sekarang. Ibu juga semakin tua, Rama, tidak mungkin terus mengurusmu. Setelah bercerai, siapa yang akan merawat kamu nanti? Jika kau tak cepat-cepat cari pengganti Yura, ibu hanya khawatir, kau terlalu nyaman sendiri. Lalu, ujungnya tidak
"Kemarin panggilan saya tidak terjawab, dan Yura tidak menelpon balik. Sekarang, dia menolak panggilan saya." Arkatama menghela napas lelah melaporkan kejadian yang baru saja dialaminya. Pria itu menggelengkan kepala beberapa kali sembari mengutak-atik layar ponsel. Dia masih saja mencoba peruntungan untuk menghubungi wanita yang menjadi istri gelap atasannya."Sepertinya Yura memang ingin membuat jarak dengan kita, tetapi akan saya coba lagi. Saya akan kirim pesan dulu."Sementara Gin yang sibuk dengan berkas-berkas di meja hanya menatap sang ajudan dengan datar. "Cari cara lain untuk menghubunginya," titahnya lalu kembali memusatkan perhatian pada helaian kertas yang bertumpuk di mejanya saat ini meskipun ia juga frustasi. Dengan nomor Arkatama saja tidak mendapatkan respon yang baik. Bagaimana dengan nomornya? Kemungkinan besar tidak akan mendapatkan atensi dari wanita itu."Gunakan nomor baru, atau hubungilah Erna. Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia bisa diajak kerjasama," peri
"Apa kau sudah siap ikut ibu bekerja?" Wanita yang telah bersiap menggunakan baju kerja itu mematut dirinya di depan cermin. Kepalanya menunduk, bibirnya menyimpul senyum. Sebelah tangannya bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Ia berkata seolah bayi dalam rahimnya sudah bisa merespon diajak berbicara.Yura bermonolog dengan dirinya sendiri lalu tertawa pelan setelahnya."Jangan nakal, ya? Ibu harus cari uang buat kamu. Kita bekerja sama-sama oke? Ibu janji akan pergi secepatnya dari perusahaan itu. Kita cari pekerjaan yang lebih menyenangkan? Okay Baby?" Entah keajaiban apa yang terjadi padanya, pagi ini Yura merasa dua kali lipat lebih baik daripada kemarin. Bahkan sangat bersemangat untuk menjalani hari yang panjang. Tiga hari meninggalkan kantor pastilah juga menumpuk pekerjaan. "Jadilah anak yang pintar, ya! Ibu tahu kau anak baik!" katanya lagi dengan senyuman penuh di wajahnya.Usai memastikan penampilannya sudah baik, juga riasan di wajahnya cukup, Yura segera melangka
"Yura! Yura cepat keluar!" Saat langkah kakinya tiba di depan kamar, Yura tersentak. Itu bukan sebuah panggilan melainkan sebuah teriakan dari seorang pria. Masih diiringi dengan gedoran pintu yang kasar. Entah siapa, tetapi telinganya mendengar ciri suara yang familiar. Dia lantas mempercepat langkah, segera menghampiri ruang tamu dan ....Brakk!Sebuah tas berukuran besar terlempar ke arahnya. Benda itu mendarat tepat di depan ujung kakinya. Apa-apaan ini? Yura lantas mendongak ke arah sang pelempar.Tepat di depan pintu yang terbuka, ia melihat seorang laki-laki berambut comma berdiri dengan arogan. Tangan Yura langsung mengepal sempurna saat dua matanya berpapasan dengan milik pria itu. Ternyata dia dalang kerusuhan pagi ini! Rama, pria yang masih sah menjadi suaminya. "Bisakah kamu berkunjung ke rumah orang dengan sopan santun, Mas?" sindir Yura geram dengan perlakuan Rama yang semakin ke sini makin seenaknya sendiri.Sedangkan Rama, tanpa rasa bersalah spontan tertawa. Bukan
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth