Deru mesin mobil yang berhenti di pekarangan rumah membuat Katrina segera mengakhiri aktivitas. Bantal yang sebelumnya ia letakkan di atas meja langsung ia rapikan ke sofa. Berikut dengan remote televisi dan vas yang belum rapi. Sesaat kemudian menyemprot ruang seluas 25 meter persegi itu dengan spray pengharum.Rona wajahnya berubah sumringah kala berjalan menuju pintu. Wanita paruh baya itu tak lupa memeriksa penampilannya. Tentu ia tak ingin terlihat buruk di depan orang yang saat ini sedang dekat dengannya. Sherina Hartantyo.Ya, Katrina sudah mengambil simpati pebisnis muda itu. Langkahnya tinggal sedikit lagi untuk berhasil mendapatkan keinginannya. Dengan begitu, maka ia tak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan uang.Seperti yang ia duga sebelumnya, begitu membuka pintu Sherina telah berdiri di hadapannya bersama dengan Rama. Katrina memang meminta Sherina untuk menjemput Rama di rumah sakit karena dokter sudah memperbolehkan putranya itu pulang. Namun, meski demikian kea
"Jika begitu keputusanmu, ibu mendukung. Percayalah selama Yura masih menjadi istrimu, hidup kita tak akan pernah tenang, Nak. Belum lagi nama keluarga kita akan tercemar. Secepatnya saja kau gugat istrimu. Tak perlu mediasi, langsung persidangan saja. Nanti ibu carikan pengacara yang baik." Katrina berkata lagi kepada sang putra. Sementara Rama hanya mengangguk. "Terserah saja. Aku serahkan semua pada ibu. Aku yakin ibu akan memikirkan yang terbaik untukku."Dua sudut bibir Katrina terangkat. "Tentu saja, Rama. Ibu pasti usahakan yang terbaik untuk kamu. Setelah bercerai, ibu harap kamu juga menurut untuk mengenal dekat dengan Sherina.""Maksud ibu?""Sherina itu gadis yang baik. Umur kalian juga sepantaran, bukan? Hanya dia yang bisa ibu andalkan sekarang. Ibu juga semakin tua, Rama, tidak mungkin terus mengurusmu. Setelah bercerai, siapa yang akan merawat kamu nanti? Jika kau tak cepat-cepat cari pengganti Yura, ibu hanya khawatir, kau terlalu nyaman sendiri. Lalu, ujungnya tidak
"Kemarin panggilan saya tidak terjawab, dan Yura tidak menelpon balik. Sekarang, dia menolak panggilan saya." Arkatama menghela napas lelah melaporkan kejadian yang baru saja dialaminya. Pria itu menggelengkan kepala beberapa kali sembari mengutak-atik layar ponsel. Dia masih saja mencoba peruntungan untuk menghubungi wanita yang menjadi istri gelap atasannya."Sepertinya Yura memang ingin membuat jarak dengan kita, tetapi akan saya coba lagi. Saya akan kirim pesan dulu."Sementara Gin yang sibuk dengan berkas-berkas di meja hanya menatap sang ajudan dengan datar. "Cari cara lain untuk menghubunginya," titahnya lalu kembali memusatkan perhatian pada helaian kertas yang bertumpuk di mejanya saat ini meskipun ia juga frustasi. Dengan nomor Arkatama saja tidak mendapatkan respon yang baik. Bagaimana dengan nomornya? Kemungkinan besar tidak akan mendapatkan atensi dari wanita itu."Gunakan nomor baru, atau hubungilah Erna. Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia bisa diajak kerjasama," peri
"Apa kau sudah siap ikut ibu bekerja?" Wanita yang telah bersiap menggunakan baju kerja itu mematut dirinya di depan cermin. Kepalanya menunduk, bibirnya menyimpul senyum. Sebelah tangannya bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Ia berkata seolah bayi dalam rahimnya sudah bisa merespon diajak berbicara.Yura bermonolog dengan dirinya sendiri lalu tertawa pelan setelahnya."Jangan nakal, ya? Ibu harus cari uang buat kamu. Kita bekerja sama-sama oke? Ibu janji akan pergi secepatnya dari perusahaan itu. Kita cari pekerjaan yang lebih menyenangkan? Okay Baby?" Entah keajaiban apa yang terjadi padanya, pagi ini Yura merasa dua kali lipat lebih baik daripada kemarin. Bahkan sangat bersemangat untuk menjalani hari yang panjang. Tiga hari meninggalkan kantor pastilah juga menumpuk pekerjaan. "Jadilah anak yang pintar, ya! Ibu tahu kau anak baik!" katanya lagi dengan senyuman penuh di wajahnya.Usai memastikan penampilannya sudah baik, juga riasan di wajahnya cukup, Yura segera melangka
"Yura! Yura cepat keluar!" Saat langkah kakinya tiba di depan kamar, Yura tersentak. Itu bukan sebuah panggilan melainkan sebuah teriakan dari seorang pria. Masih diiringi dengan gedoran pintu yang kasar. Entah siapa, tetapi telinganya mendengar ciri suara yang familiar. Dia lantas mempercepat langkah, segera menghampiri ruang tamu dan ....Brakk!Sebuah tas berukuran besar terlempar ke arahnya. Benda itu mendarat tepat di depan ujung kakinya. Apa-apaan ini? Yura lantas mendongak ke arah sang pelempar.Tepat di depan pintu yang terbuka, ia melihat seorang laki-laki berambut comma berdiri dengan arogan. Tangan Yura langsung mengepal sempurna saat dua matanya berpapasan dengan milik pria itu. Ternyata dia dalang kerusuhan pagi ini! Rama, pria yang masih sah menjadi suaminya. "Bisakah kamu berkunjung ke rumah orang dengan sopan santun, Mas?" sindir Yura geram dengan perlakuan Rama yang semakin ke sini makin seenaknya sendiri.Sedangkan Rama, tanpa rasa bersalah spontan tertawa. Bukan
"Bagaimana dengan surat resign saya, Bu? Apakah sudah ada jawaban dari Bapak?"Yura dengan perasaan takut-takut bertanya kepada Bu Rika saat mereka hanya berdua di ruang arsip. Beberapa saat yang lalu, wanita berkacamata cukup tebal itu meminta bantuannya untuk merapikan beberapa dokumen di sana. Dengan terpaksa, Yura lantas meninggalkan pekerjaannya yang baru setengah jalan. Padahal ia berencana untuk menyelesaikan jadwal-jadwal itu siang ini sebelum akhirnya ia kirimkan kepada Arya."Saya belum sampaikan surat kamu, Yura. Itu bisa nanti, kalau Bapak sudah pulang. Sepertinya beliau baru sibuk sekali, pesan saya saja belum dibalas dari kemarin." Bu Rika menjawab dengan datar. Wanita itu sedang menata odner dengan warna senada. "Saya juga tidak pastinya Bapak pulang kapan, tetapi kemungkinan minggu depan. Bukankah seharusnya kamu yang lebih tahu?"Yura menggelengkan kepalanya. Seharusnya memanh begitu, tetapi belakangan sejak pria itu pergi belum ada komunikasi lagi yang terjalin di
["Pagi, Yura. Saya—"]Belum sempat mendengar lengkap ucapan Arya melalui seberang telepon, Yura segera menjauhkan benda pipih itu dan menekan ikon merah untuk menutup panggilan. Beberapa saat yang lalu, ia memberanikan diri untuk mengangkat panggilan pria itu, tetapi ternyata itu keberanian itu hanya sesaat karena setelahnya lenyap entah kemana. Ia juga menyadari bahwa mengangkat panggilan Arya adalah sebuah kesalahan besar. Suara bariton itu nyatanya mampu memanggil desir asing di dalam dirinya. Melonjak hebat sampai sampai Yura merasakan kejut yang menyengat. Rasanya tubuhnya seperti dialiri listrik tegangan tinggi.Katakan Yura berlebihan! Namun, itulah yang terjadi.Jantung wanita itu tidak aman setelahnya. Berdebar kencang, rasanya ingin meledak dan berhamburan.Alhasil Yura buru-buru menutup panggilan dan menjauh dari ponselnya sebentar. Kenapa?Kenapa jadi begini? Bukankah tadi dia ingin mendengar suara berat itu? Mengapa sekarang dia jadi tak punya nyali?Saat ini Yura mas
Riuh ruang persidangan terdengar setelah hakim mengetuk palu. Pihak dari penggugat sempat berdiri bahkan bersujud syukur atas keputusan hakim yang memenangkan telak gugatan kepada Rama. Mereka bertingkah seolah perpisahan ini bukan sebuah babar duka.Lain halnya dengan Yura yang tetap tenang. Wanita itu hanya menundukkan kepala, menahan air mata yang telah mengenang sejak berlangsungnya persidangan. Jika kalian mengira Yura sedih karena gagalnya pernikahan ini, maka jawabannya adalah tidak sama sekali! Ia tidak menangis karena perpisahan itu. Ia hanya tak mampu membendung rasa kecewa terhadap semua fakta dan opini yang diputarbalikkan di hadapan hakim penguji. Semua saksi menyudutkannya. Bukti-bukti palsu seakan menguasai hidupnya hari ini. Sementara ia hanya diam. Terlanjur pedih dengan perlakuan mereka. Sampai bibir itu tak mengucap kata. Setiap kali hakim bertanya, Yura bahkan hanya mampu menjawab "iya" dan "tidak" saja. Meski sebenarnya Yura bisa-bisa saja melawan, dia bahkan mas