Terima kasih kakak yang sudah komen. saya jadi lebih bersemangat. Yuk ramaikan lagi! 🤍🤍
"Yura! Yura cepat keluar!" Saat langkah kakinya tiba di depan kamar, Yura tersentak. Itu bukan sebuah panggilan melainkan sebuah teriakan dari seorang pria. Masih diiringi dengan gedoran pintu yang kasar. Entah siapa, tetapi telinganya mendengar ciri suara yang familiar. Dia lantas mempercepat langkah, segera menghampiri ruang tamu dan ....Brakk!Sebuah tas berukuran besar terlempar ke arahnya. Benda itu mendarat tepat di depan ujung kakinya. Apa-apaan ini? Yura lantas mendongak ke arah sang pelempar.Tepat di depan pintu yang terbuka, ia melihat seorang laki-laki berambut comma berdiri dengan arogan. Tangan Yura langsung mengepal sempurna saat dua matanya berpapasan dengan milik pria itu. Ternyata dia dalang kerusuhan pagi ini! Rama, pria yang masih sah menjadi suaminya. "Bisakah kamu berkunjung ke rumah orang dengan sopan santun, Mas?" sindir Yura geram dengan perlakuan Rama yang semakin ke sini makin seenaknya sendiri.Sedangkan Rama, tanpa rasa bersalah spontan tertawa. Bukan
"Bagaimana dengan surat resign saya, Bu? Apakah sudah ada jawaban dari Bapak?"Yura dengan perasaan takut-takut bertanya kepada Bu Rika saat mereka hanya berdua di ruang arsip. Beberapa saat yang lalu, wanita berkacamata cukup tebal itu meminta bantuannya untuk merapikan beberapa dokumen di sana. Dengan terpaksa, Yura lantas meninggalkan pekerjaannya yang baru setengah jalan. Padahal ia berencana untuk menyelesaikan jadwal-jadwal itu siang ini sebelum akhirnya ia kirimkan kepada Arya."Saya belum sampaikan surat kamu, Yura. Itu bisa nanti, kalau Bapak sudah pulang. Sepertinya beliau baru sibuk sekali, pesan saya saja belum dibalas dari kemarin." Bu Rika menjawab dengan datar. Wanita itu sedang menata odner dengan warna senada. "Saya juga tidak pastinya Bapak pulang kapan, tetapi kemungkinan minggu depan. Bukankah seharusnya kamu yang lebih tahu?"Yura menggelengkan kepalanya. Seharusnya memanh begitu, tetapi belakangan sejak pria itu pergi belum ada komunikasi lagi yang terjalin di
["Pagi, Yura. Saya—"]Belum sempat mendengar lengkap ucapan Arya melalui seberang telepon, Yura segera menjauhkan benda pipih itu dan menekan ikon merah untuk menutup panggilan. Beberapa saat yang lalu, ia memberanikan diri untuk mengangkat panggilan pria itu, tetapi ternyata itu keberanian itu hanya sesaat karena setelahnya lenyap entah kemana. Ia juga menyadari bahwa mengangkat panggilan Arya adalah sebuah kesalahan besar. Suara bariton itu nyatanya mampu memanggil desir asing di dalam dirinya. Melonjak hebat sampai sampai Yura merasakan kejut yang menyengat. Rasanya tubuhnya seperti dialiri listrik tegangan tinggi.Katakan Yura berlebihan! Namun, itulah yang terjadi.Jantung wanita itu tidak aman setelahnya. Berdebar kencang, rasanya ingin meledak dan berhamburan.Alhasil Yura buru-buru menutup panggilan dan menjauh dari ponselnya sebentar. Kenapa?Kenapa jadi begini? Bukankah tadi dia ingin mendengar suara berat itu? Mengapa sekarang dia jadi tak punya nyali?Saat ini Yura mas
Riuh ruang persidangan terdengar setelah hakim mengetuk palu. Pihak dari penggugat sempat berdiri bahkan bersujud syukur atas keputusan hakim yang memenangkan telak gugatan kepada Rama. Mereka bertingkah seolah perpisahan ini bukan sebuah babar duka.Lain halnya dengan Yura yang tetap tenang. Wanita itu hanya menundukkan kepala, menahan air mata yang telah mengenang sejak berlangsungnya persidangan. Jika kalian mengira Yura sedih karena gagalnya pernikahan ini, maka jawabannya adalah tidak sama sekali! Ia tidak menangis karena perpisahan itu. Ia hanya tak mampu membendung rasa kecewa terhadap semua fakta dan opini yang diputarbalikkan di hadapan hakim penguji. Semua saksi menyudutkannya. Bukti-bukti palsu seakan menguasai hidupnya hari ini. Sementara ia hanya diam. Terlanjur pedih dengan perlakuan mereka. Sampai bibir itu tak mengucap kata. Setiap kali hakim bertanya, Yura bahkan hanya mampu menjawab "iya" dan "tidak" saja. Meski sebenarnya Yura bisa-bisa saja melawan, dia bahkan mas
"Ah, i—itu aku—" Madam Lily mendadak gugup. Wanita berambut pirang itu tampak gelagapan ketika menyadari bahwa dirinya salah bicara. "Itu apa, Madam? Kenapa Gin menginginkanku sejak lama? Apa Madam tahu tentang sesuatu?" desak Yura kembali. Topik yang baru saja dibuka Madam Lily membuatnya penasaran. Yura sampai menegakkan badan dan menatap lawan bicaranya dengan serius. Madam Lily tidak menjawab. Wanita itu termangu lantas mengatakan sebuah kalimat, "Aku .... Aku tidak bisa menjelaskan, Yura. Itu bukan kapasitasku untuk menjelaskan. Sebaiknya kau tanyakan saja pada Gin." Jawaban Madam Lily barusan masih saja tak membuat Yura puas. Justru malah menimbulkan pertanyaan lain di kepalanya. Namun, baru saja ia hendak membuka pertanyaan lagi, kedatangan Erna mengurungkan niatnya. Dan bersamaan dengan itu Madam Lily segera pamit pulang. "Aku pulang dulu, Yura. Jika kau membutuhkan sesuatu terkait keteranganku, atau apa pun, datang saja ke club, atau hubungi aku," ujar wanita itu seraya m
"Saya hanya ingin bertanya bagaimana keadaan Yura? Apakah dia baik-baik saja?"Gin membuka pintu apartemennya dengan sebuah key cards berwarna hitam. Pria itu datang tanpa seorang teman, satu tangannya lantas menyeret koper begitu pintu di hadapannya terbuka. Pria itu masih mengenakan setelan jas formal karena setelah meeting terakhir pagi tadi, ia langsung tancap gas kembali ke ibu kota. Berniat ingin hadir di acara persidangan Yura, barang kali sampai di sana saat sidang masih digelar, sayangnya waktu tak tercapai. Jalur yang ia lalui macet. Terlebih ia menggunakan jalur darat. Walau sebenarnya bisa saja ia pergi melalui jalur udara agar lebih cepat, itu efektif, tetapi tidak efisien. Harga tiket di hari-hari menjelang liburan lebih mahal dan mencapai empat kali lipat. Tak mungkin Gin mengambil pilihan itu hanya untuk terbang Semarang — Jakarta. ["Sejauh ini dia baik-baik saja, Pak. Hanya menangis sesekali karena kecewa saja. Setelah itu Yura bersikap biasa. Bapak jangan khawatir.
Mobil SUV hitam yang dikendarai oleh Gin terhenti di halaman sebuah fasad bangunan berwarna putih. Usai mendapat notifikasi bahwa ia telah sampai dari petunjuk arah yang memandunya, pria itu langsung mematikan mesin dan turun dari kemudi. Tak lupa mengantongi ponsel dan menyambar sebuah paper bag yang telah ia siapkan sebelumnya.Hari ini Gin menepati janjinya untuk mengunjungi Yura. Semoga saja wanita itu mau menerima kedatangannya. Walau ia ragu apakah Yura bisa bersikap baik padanya atau tidak. Mengingat Akhir-akhir ini Yura hanya membalas dan mengangkat panggilan jika Gin membahas pekerjaan. Selebihnya wanita itu berubah menjadi sedingin kutub utara. Namun, satu minggu terakhir Gin benar-benar kehilangan komunikasi dengan wanita yang ia cintai.Dengan langkah tegap pria yang masih memakai pakaian kerja itu menghampiri pintu utama. Setibanya di sana tangan kanannya langsung bergerak mengetuk pintu beberapa kali. Tak berlangsung lama sang penghuni rumah menyahut, samar-samar Gin me
"Akan aku jelaskan," jawab Gin seraya bangkit dari posisinya, "tapi sebelum itu, surut air matamu dan makan dulu, Erna bilang padaku kau tidak mau makan dari semalam."Gin meraih paper bag berisi satu paket makanan yang ia beli di perjalanan. Sup daging dengan sayuran yang ia harap mampu menggugah selera Yura. Namun, jawaban lain diberikan oleh wanita itu saat Gin sedang mengeluarkan satu per satu makanan itu di meja."Aku tidak lapar dan mual kalau makan, cepat katakan saja apa alasannya jangan mengulur waktu, Gin!" ujar wanita itu lagi. Nadanya terdengar kesal dan matanya memicing tajam."No! Makan dulu. Percaya padaku, kalau aku yang suapi, kau tidak akan mual," jawabnya optimis. Sementara Yura hanya mendengus kesal. "Buka mulutmu," titahnya seraya menyodorkan sesendok kuah kaldu di depan bibir Yura.Mau tak mau wanita itu menurut. Ajaibnya, apa yang dikatakan Gin beberapa detik yang lalu benar terjadi. Dia tidak mual, bahkan tertarik untuk mencicip lagi makanan itu. Bagaimana bis