"Saya hanya ingin bertanya bagaimana keadaan Yura? Apakah dia baik-baik saja?"Gin membuka pintu apartemennya dengan sebuah key cards berwarna hitam. Pria itu datang tanpa seorang teman, satu tangannya lantas menyeret koper begitu pintu di hadapannya terbuka. Pria itu masih mengenakan setelan jas formal karena setelah meeting terakhir pagi tadi, ia langsung tancap gas kembali ke ibu kota. Berniat ingin hadir di acara persidangan Yura, barang kali sampai di sana saat sidang masih digelar, sayangnya waktu tak tercapai. Jalur yang ia lalui macet. Terlebih ia menggunakan jalur darat. Walau sebenarnya bisa saja ia pergi melalui jalur udara agar lebih cepat, itu efektif, tetapi tidak efisien. Harga tiket di hari-hari menjelang liburan lebih mahal dan mencapai empat kali lipat. Tak mungkin Gin mengambil pilihan itu hanya untuk terbang Semarang — Jakarta. ["Sejauh ini dia baik-baik saja, Pak. Hanya menangis sesekali karena kecewa saja. Setelah itu Yura bersikap biasa. Bapak jangan khawatir.
Mobil SUV hitam yang dikendarai oleh Gin terhenti di halaman sebuah fasad bangunan berwarna putih. Usai mendapat notifikasi bahwa ia telah sampai dari petunjuk arah yang memandunya, pria itu langsung mematikan mesin dan turun dari kemudi. Tak lupa mengantongi ponsel dan menyambar sebuah paper bag yang telah ia siapkan sebelumnya.Hari ini Gin menepati janjinya untuk mengunjungi Yura. Semoga saja wanita itu mau menerima kedatangannya. Walau ia ragu apakah Yura bisa bersikap baik padanya atau tidak. Mengingat Akhir-akhir ini Yura hanya membalas dan mengangkat panggilan jika Gin membahas pekerjaan. Selebihnya wanita itu berubah menjadi sedingin kutub utara. Namun, satu minggu terakhir Gin benar-benar kehilangan komunikasi dengan wanita yang ia cintai.Dengan langkah tegap pria yang masih memakai pakaian kerja itu menghampiri pintu utama. Setibanya di sana tangan kanannya langsung bergerak mengetuk pintu beberapa kali. Tak berlangsung lama sang penghuni rumah menyahut, samar-samar Gin me
"Akan aku jelaskan," jawab Gin seraya bangkit dari posisinya, "tapi sebelum itu, surut air matamu dan makan dulu, Erna bilang padaku kau tidak mau makan dari semalam."Gin meraih paper bag berisi satu paket makanan yang ia beli di perjalanan. Sup daging dengan sayuran yang ia harap mampu menggugah selera Yura. Namun, jawaban lain diberikan oleh wanita itu saat Gin sedang mengeluarkan satu per satu makanan itu di meja."Aku tidak lapar dan mual kalau makan, cepat katakan saja apa alasannya jangan mengulur waktu, Gin!" ujar wanita itu lagi. Nadanya terdengar kesal dan matanya memicing tajam."No! Makan dulu. Percaya padaku, kalau aku yang suapi, kau tidak akan mual," jawabnya optimis. Sementara Yura hanya mendengus kesal. "Buka mulutmu," titahnya seraya menyodorkan sesendok kuah kaldu di depan bibir Yura.Mau tak mau wanita itu menurut. Ajaibnya, apa yang dikatakan Gin beberapa detik yang lalu benar terjadi. Dia tidak mual, bahkan tertarik untuk mencicip lagi makanan itu. Bagaimana bis
"Karena aku tidak mau saja. Hanya takut ketika kau tahu aku pimpinanmu, kau justru menolak tawaranku. Apa lagi kau tahu usia kita jauh berbeda."Yura berusaha menelisik masuk ke dalam dua pualam hitam milik Gin. Ia mencari sesuatu yang bisa ia andalkan untuk mendapatkan kejujuran. Namun, tidak ada satu pun hal yang menunjukkan keraguan di sana. Wanita itu hanya melihat pancaran tulus dari kedua bola mata pria berahang tegas itu. Gin tidak berdusta dengan penjelasannya.Apa yang dikatakan lelaki itu masuk akal. Jika pun ia tahu sejak awal tentangnya, Yura tak akan mau menerima Gin. Kemungkinan besar ia akan marah atau justru mengajukan resign lalu berujung pada sebuah jalan kegelapan. Namun, sekarang semuanya perlahan terbongkar. Pria itu memiliki banyak misteri. Satu per satu telah terbuka dan Yura tak tahu misteri apa lagi yang dimiliki olehnya. Masihkah ada? Atau semuanya sebatas di sini saja? Atau justru malah ada rahasia besar lainnya yang disembunyikan darinya?"Sekarang keingi
Sebuah ekspresi tak terbaca dari Gin membuat Yura menekuk dahinya samar. Syarat yang baru saja ia ajukan kepada Gin bukankah sebuah hal yang wajar? Dan, seharusnya mudah dilakukan untuk pria yang niatnya menyatakan sebuah keseriusan.Yura ingin pria itu memberikan bukti nyata bahwa benar-benar mencintainya, seperti kalimat yang sempat ia ucapkan beberapa saat yang lalu. Lantas, mengapa lelaki itu tampak terdiam saat Yura memberikannya? Mereka saling mencintai, lalu apa salahnya?"Apa kau keberatan, Gin? Aku hanya ingin hubungan kita sah secara agama dan negara. Bukan hanya sebuah kontrak tertulis semata. Tapi jika kau keberatan untuk menikah denganku, lebih baik kita tidak bersama saja." Yura kembali memberikan argumennya. Gin yang sempat terdiam lantas mendongak. Ia mendengkus dalam hati. Wanita ini memang selalu membuat sebuah kesimpulan sendiri bahkan sebelum Gin menjawab pertanyaannya. "Bukan begitu, Aku pasti menikahimu, Ra," jawab Gin sebelum menghela napas panjang. Yura meng
"Bisakah lain kali kau melihat situasi dulu sebelum kau masuk ke dalam rumah?"Yura menyorot Erna dengan tatapan tajam setelah deru mobil milik Gin terdengar menjauh. Benar, lelaki itu langsung pamit untuk menyelesaikan urusan usai beradu ketegangan bersama dua wanita di rumah itu. Sementara wanita yang tengah berdiri di hadapan Yura hanya memamerkan barisan giginya yang rapi. "Maaf, tadi aku pikir kalian sedang ngobrol saja, tidak tahunya kalian sedang berbuat ...." Erna tidak melanjutkan kalimatnya. Napas kasar ia lemparkan ke udara. "Lagi pula, kalau niatnya seperti itu, kenapa tidak di kamar saja? Untung aku yang masuk bukan orang lain. Kalau ketahuan orang lain kemungkinan besar besuk pagi kalian tak memiliki wajah untuk keluar!" "Mulutmu itu kalau berkata memang suka sembarangan. Aku tidak mungkin mengajak Gin ke kamar!" jawab Yura setelah mendecakkan bibirnya, hal itu memicu kelakar tawa dari Erna."Jangan salahkan aku lah! Aku bahkan tidak tahu kalau Pak Arya akan ke sini, t
Berganti hari.Suara ketukan pintu cukup keras mengambil alih atensi Yura yang sedang menghangatkan susu di atas kompor. Menduga ada seseorang yang berkunjung, Yura segera mengecilkan api dan meninggalkan dapur. Entah siapa yang datang pagi-pagi begini, yang pasti bukan Erna atau pun pengantar katering. Sahabatnya itu sudah berkata semalam bahwa pagi ini tak bisa berkunjung karena harus pergi bersama suaminya sejak subuh ke stasiun. Entahlah mereka akan mengurus apa, wanita itu juga berpesan kepada Yura untuk memasak sarapannya sendiri karena kebetulan katering langganannya hari ini sedang libur.Lalu siapa yang datang pagi-pagi begini? Sebelum melangkah jauh, Yura melirik sekilas ke arah jam dinding dan saat ini baru pukul setengah enam. Masih terlalu pagi untuk seorang tamu biasa.Begitu tiba di ruang tamu, Yura segera membuka pintu. Wanita itu spontan menautkan kedua alisnya kala melihat seorang pria berkemeja batik hitam lengan panjang terpadu dengan celana kain senada sedang b
Gin mengerutkan dahi ketika mendapatkan pertanyaan yang tak terduga. Entah majalah mana yang dimaksud calon istrinya itu, Gin sendiri belum paham. Bahkan ia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yura membahas majalah. Lalu apa katanya tadi? Pelukan dengan wanita?Selama ini sangat jarang ia menyentuh majalah, malah bisa jadi tidak sama sekali. Majalah digital pun ia jarang membaca jika tidak ada hal yang begitu viral mengenai perusahaannya atau terkait dengan hal-hal yang menurutnya penting. Ia tak terlalu tertarik dengan gosip."Majalah apa maksudmu, hm?" akhirnya pria itu bertanya. Satu hentakan dari belakang berhasil merapatkan tubuh mereka. Dua tangan Gin melingkar begitu posesif di pinggang Yura. Satu tangannya bergerak mengusap perut rata milik wanita itu."Majalah internal kantor. Beberapa waktu yang lalu, aku berkunjung ke ruang arsip untuk membantu Bu Rika merapikan beberapa berkas dan tidak sengaja aku menemukan kumpulan majalah yang sudah lama sekali. Aku iseng saja untuk l