Gin mengerutkan dahi ketika mendapatkan pertanyaan yang tak terduga. Entah majalah mana yang dimaksud calon istrinya itu, Gin sendiri belum paham. Bahkan ia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yura membahas majalah. Lalu apa katanya tadi? Pelukan dengan wanita?Selama ini sangat jarang ia menyentuh majalah, malah bisa jadi tidak sama sekali. Majalah digital pun ia jarang membaca jika tidak ada hal yang begitu viral mengenai perusahaannya atau terkait dengan hal-hal yang menurutnya penting. Ia tak terlalu tertarik dengan gosip."Majalah apa maksudmu, hm?" akhirnya pria itu bertanya. Satu hentakan dari belakang berhasil merapatkan tubuh mereka. Dua tangan Gin melingkar begitu posesif di pinggang Yura. Satu tangannya bergerak mengusap perut rata milik wanita itu."Majalah internal kantor. Beberapa waktu yang lalu, aku berkunjung ke ruang arsip untuk membantu Bu Rika merapikan beberapa berkas dan tidak sengaja aku menemukan kumpulan majalah yang sudah lama sekali. Aku iseng saja untuk l
"Wellcome home, Sweetheart!"Bibir Yura melengkung naik kala sambutan hangat terdengar dekat di telinganya. Pria bertubuh kekar itu mendorong pintu lebar-lebar mempersilakan Yura untuk masuk lebih dulu, sementara ia menyusul kemudian menyeret sebuah koper dan tas milik Yura.Setelah beberapa minggu Yura meninggalkan tempat itu akhirnya ia kembali. Sesuai dengan kesepakatan mereka kemarin, Yura kembali tinggal bersama Gin sebelum mereka melangsungkan pernikahan resmi. Dan, seperti yang dikatakan Gin tadi pagi, ia menjemput Yura malam hari. Tepat pukul sembilan malam mereka tiba di tempat ini.Tidak ada interior yang berubah. Semua masih sama. Hanya saja ada beberapa lukisan yang telah diganti—tak tahu apa sebabnya. "Kalau sudah lelah istirahatlah, baju-baju ini bisa diurus besuk." Gin membuka pintu kamar di lantai bawah. Koper dan tas yang dibawanya di letakkan di sudut ruangan. Sementara Yura hanya mengangguk saja mengikuti perintah calon suaminya."Iya, aku akan istirahat. Tapi ....
Selama ini Yura selalu bertanya apakah salah satu di antara Rama dan dirinya memiliki masalah dalam hal kesehatan reproduksi?Pasalnya setiap kali Yura melakukan pemeriksaan—pun telah berganti ke beberapa klinik dan rumah sakit—hasilnya tetaplah sama. Yura tidak memiliki masalah apa pun. Ia sehat, subur, dan sekarang telah terbukti bisa mengandung. Sejak dulu yang menjadi perdebatan hanyalah Rama yang tak ingin pergi ke dokter dengan banyak alasan. Pekerjaan yang padat, sering ke luar kota membuatnya tak pernah memiliki waktu luang dan rasanya hanya membuang waktu saja ketika ia mengambil hari libur. Juga Katrina yabg selalu mengatakan bahwa Rama baik-baik saja dan tidak punya riwayat dari orang tuanya.Ketika Rama hendak menikahinya pun Katrina mengatakan bahwa putranya sehat-sehat saja tetapi tak pernah memberikan bukti pemeriksaan ini ke tangan Yura. Saat itu, Yura terlalu bodoh dan percaya saja.Kini, setelah mereka benar-benar berpisah, Yura justru menemukan hasil tes tersebut.
"Sherina dan Rama menyebar undangan. Mereka akan bertunangan satu minggu lagi." Ucapan Arkatama membuat dahi Gin berkerut lebih dalam. Lelaki itu langsung menatap ajudannya dengan mata yang memicing tajam. Tak salahkah telinganya ini mendengar kabar? Bagaimana bisa dua orang itu dengan mudahnya meresmikan hubungan? Bahkan belum genap satu minggu Rama bercerai dengan Yura."Apa mereka tak punya adab? Aku sengaja menunda pernikahan karena masih menghargai Rama dan Yura yang baru saja bercerai tapi bajingan itu malah melangsungkan pertunangan?" Gin tertawa mengejek seraya menggelengkan kepalanya heran."Sepertinya itu karena desakan Bu Katrina, Tuan. Dari analisa saya Bu Katrina takut kehilangan Sherina bila tak segera mengikatkan hubungan dengan Rama. Jika mereka sudah bertunangan maka beliau akan lebih leluasa untuk merencanakan semua yang dimau. Kita sudah tahu tujuannya hanya uang sejak awal. Apalagi dengan kita menghentikan pembiayaan Rumah Sakit Rama, tentu itu akan membuatnya pan
Tubuh Yura mematung kala pria kekar yang berdiri di hadapannya tiba-tiba menubruk. Entah apa yang terjadi Yura tidak mengerti. Dekapan Gin begitu erat seolah tak ingin dirinya pergi jauh. Dada mereka saling bersentuhan membuat Yura dengan jelas mendengar detak jantung Gin berdebar kencang juga naik turun tak karuan."Gin?" panggilnya, "kau kenapa?"Yura hendak melepaskan tautan tangan Gin di belakang tubuhnya. Namun, pelukan itu terlalu erat hingga Yura kesulitan bernapas dan meloloskan diri."Gin?" tanyanya lagi berusaha membuat lelaki itu rileks. "Bisakah bawa ponselmu setiap kali kau pergi? Kemana pun itu!" ujar Gin setelah berhasil mengurai dekapannya. Tatapannya lurus dan menghunus tajam. Yura sampai menelan ludahnya kasar melihat sorot mata yang terlihat mengancam itu. "I—iya, tapi tenanglah dulu, katakan ada apa? Aku baru saja tiba dan kau seperti ini aku mana tahu apa yang terjadi denganmu?""Apa yang terjadi denganku?" beo lelaki di hadapannya setelah mendengus kasar dan Yur
Mual telah membawa segumpal makanan naik ke tenggorokan. Yura yang sebenarnya masih berada di alam mimpi spontan membuka mata dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Meski yang keluar hanyalah cairan tak berwarna tetapi itu cukup menguras tenaganya, dan terkadang sampai harus mengambil napas berkali-kali untuk menstabilkan tubuhnya.Beberapa hari terakhir ia harus berteman dengan mual yang kadang menyerangnya secara tiba-tiba. Ini adalah sebuah rutinitas baru sejak julukan "ibu hamil" disematkan padanya. Anehnya, itu hanya terjadi saat pagi hari seperti ini saja. Sisanya hanya saat-saat tertentu, misal ia mencium bau yang menganggu. Usai membasuh mulut dan mukanya, wanita itu segera melirik ke arah jam dinding. Jarum panjangnya mengarah pada pukul enam. Sementara jarum pendeknya berada di pertengahan angka lima dan enam. Astaga! Ngapain saja sampai ia kesiangan?Lantas Yura buru-buru mengambil tissue dan mengeringkan mulutnya. Wanita itu membawa langkahny
Sepuluh detik pertama Yura menanti jawaban. Gin tak menampilkan ekspresi apa pun, tetapi bisa ia lihat dengan jelas bagaimana tenggorokan pria itu bergerak kasar. Pria yang tak mengenakan atasan itu segera menerbitkan sebuah sabit lalu mengusap puncak kepala Yura. "Tentu saja aku ingin hubungan kita terbuka. Aku juga mau semua orang, terutama mantan ibu mertua dan mantan suamimu itu tahu bahwa kau telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik bersamaku. Lalu, untuk kedua orang tuaku, sabar ya, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan mereka."Yura menatap resah ke arah Gin. "Bagaimana kalau Pak Wira tidak setuju dengan hubungan kita? Secara aku bukan dari golongan atas sepertimu. Pak Wira bahkan juga tahu kalau aku adalah karyawannya."Sekali lagi pria itu tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di ubun-ubun Yura. Dekapannya bertambah sedikit lebih erat. "Jangan buat status sosial kita menjadi beban. Lagipula, kenapa kau harus tidak percaya diri? Kau sudah menjalani karir
Arkatama sudah mengeluarkan sebagian bajunya dari dalam lemari. Kemeja-kemeja kerja baik lengan panjang atau pun pendek miliknya sudah bertebaran di atas kasur.Itu semua karena permintaan Gin yang tiba-tiba saja menelponnya dan meminjam baju. Ia sendiri pun bahkan terheran-heran mengapa seorang atasan seperti Gin mau merendahkan sedikit egonya untuk meminjam baju dari seorang bawahan. Lebih gilanya lagi, permintaan itu mendadak dan harus dipakai pagi ini. "Carikan aku kemeja warna pink. Atau kau punya? Aku mau pinjam, pagi ini aku harus memakainya." Begitulah kalimat yang terdengar di telinganya melalui sambungan telepon beberapa belas menit yang lalu.Lantas, pria yang telah lama menjadi ajudan di keluarga Satwika itu mencoba menggeledah isi lemari pakaiannya dan mencari kemeja dengan warna merah muda yang diinginkan sang tuan. Sempat frustasi karena warna yang sedang dicari tersebut juga bukanlah seleranya. Kebanyakan baju-baju Arkatama berwarna putih, hitam, kuning gading, atau pu