Tubuh Yura mematung kala pria kekar yang berdiri di hadapannya tiba-tiba menubruk. Entah apa yang terjadi Yura tidak mengerti. Dekapan Gin begitu erat seolah tak ingin dirinya pergi jauh. Dada mereka saling bersentuhan membuat Yura dengan jelas mendengar detak jantung Gin berdebar kencang juga naik turun tak karuan."Gin?" panggilnya, "kau kenapa?"Yura hendak melepaskan tautan tangan Gin di belakang tubuhnya. Namun, pelukan itu terlalu erat hingga Yura kesulitan bernapas dan meloloskan diri."Gin?" tanyanya lagi berusaha membuat lelaki itu rileks. "Bisakah bawa ponselmu setiap kali kau pergi? Kemana pun itu!" ujar Gin setelah berhasil mengurai dekapannya. Tatapannya lurus dan menghunus tajam. Yura sampai menelan ludahnya kasar melihat sorot mata yang terlihat mengancam itu. "I—iya, tapi tenanglah dulu, katakan ada apa? Aku baru saja tiba dan kau seperti ini aku mana tahu apa yang terjadi denganmu?""Apa yang terjadi denganku?" beo lelaki di hadapannya setelah mendengus kasar dan Yur
Mual telah membawa segumpal makanan naik ke tenggorokan. Yura yang sebenarnya masih berada di alam mimpi spontan membuka mata dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Meski yang keluar hanyalah cairan tak berwarna tetapi itu cukup menguras tenaganya, dan terkadang sampai harus mengambil napas berkali-kali untuk menstabilkan tubuhnya.Beberapa hari terakhir ia harus berteman dengan mual yang kadang menyerangnya secara tiba-tiba. Ini adalah sebuah rutinitas baru sejak julukan "ibu hamil" disematkan padanya. Anehnya, itu hanya terjadi saat pagi hari seperti ini saja. Sisanya hanya saat-saat tertentu, misal ia mencium bau yang menganggu. Usai membasuh mulut dan mukanya, wanita itu segera melirik ke arah jam dinding. Jarum panjangnya mengarah pada pukul enam. Sementara jarum pendeknya berada di pertengahan angka lima dan enam. Astaga! Ngapain saja sampai ia kesiangan?Lantas Yura buru-buru mengambil tissue dan mengeringkan mulutnya. Wanita itu membawa langkahny
Sepuluh detik pertama Yura menanti jawaban. Gin tak menampilkan ekspresi apa pun, tetapi bisa ia lihat dengan jelas bagaimana tenggorokan pria itu bergerak kasar. Pria yang tak mengenakan atasan itu segera menerbitkan sebuah sabit lalu mengusap puncak kepala Yura. "Tentu saja aku ingin hubungan kita terbuka. Aku juga mau semua orang, terutama mantan ibu mertua dan mantan suamimu itu tahu bahwa kau telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik bersamaku. Lalu, untuk kedua orang tuaku, sabar ya, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan mereka."Yura menatap resah ke arah Gin. "Bagaimana kalau Pak Wira tidak setuju dengan hubungan kita? Secara aku bukan dari golongan atas sepertimu. Pak Wira bahkan juga tahu kalau aku adalah karyawannya."Sekali lagi pria itu tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di ubun-ubun Yura. Dekapannya bertambah sedikit lebih erat. "Jangan buat status sosial kita menjadi beban. Lagipula, kenapa kau harus tidak percaya diri? Kau sudah menjalani karir
Arkatama sudah mengeluarkan sebagian bajunya dari dalam lemari. Kemeja-kemeja kerja baik lengan panjang atau pun pendek miliknya sudah bertebaran di atas kasur.Itu semua karena permintaan Gin yang tiba-tiba saja menelponnya dan meminjam baju. Ia sendiri pun bahkan terheran-heran mengapa seorang atasan seperti Gin mau merendahkan sedikit egonya untuk meminjam baju dari seorang bawahan. Lebih gilanya lagi, permintaan itu mendadak dan harus dipakai pagi ini. "Carikan aku kemeja warna pink. Atau kau punya? Aku mau pinjam, pagi ini aku harus memakainya." Begitulah kalimat yang terdengar di telinganya melalui sambungan telepon beberapa belas menit yang lalu.Lantas, pria yang telah lama menjadi ajudan di keluarga Satwika itu mencoba menggeledah isi lemari pakaiannya dan mencari kemeja dengan warna merah muda yang diinginkan sang tuan. Sempat frustasi karena warna yang sedang dicari tersebut juga bukanlah seleranya. Kebanyakan baju-baju Arkatama berwarna putih, hitam, kuning gading, atau pu
Sebuah getar halus membuyarkan konsentrasi Yura yang sedang menonton sebuah drama. Wanita yang sedang bersantai menikmati segelas susu dingin di ruang tengah itu segera menoleh ke arah meja.[Aku tidak melihatmu di kantor, apa kau tidak bekerja?] Itu pesan dari Erna.[Tadinya mau berangkat, tapi gara-gara morning sickness jadi Gin melarang aku pergi,] balas Yura.Tak lama setelah itu balasan dari Erna masuk kembali ke dalam notifikasi. [Ahhh, sweet. Aku bertemu Pak Arya di depan tadi, penampilannya hari ini memang agak berbeda ya? Apakah hari ini adalah hari spesial?]Entah apa yang dimaksud oleh Erna, ia belum mengerti. Gelas yang sedang dipegangnya kini diletakkan di atas meja dan wanita itu segera memberikan jawaban kepada Erna.[Berbeda bagaimana maksudmu? Setahuku tidak ada apa-apa hari ini.][Foto] Erna lantas melampirkan sebuah foto dimana Arya sedang berjalan menuju lift sambil membawa tas dan tab kerjanya.[Lihatlah, bertahun-tahun aku bekerja, baru kali ini aku melihat Pak Ary
Sementara di kantor ....Usai menutup panggilan, Gin segera menyimpan gawainya. Benda pipih itu ia letakkan jauh-jauh dari jangkauan. Dalam diam berusaha mengatur pernapasan yang sebenarnya sedang berantakan. Dua matanya kini berfokus mengamati wanita berambut uban yang melangkah ke arahnya. Sarah, sang ibu kandung. Entah apa yang membawa wanita itu ke sini. Gin masih tidak menyangka jika ibunya akan datang ke kantor hari ini. Percakapan terakhirnya dengan Yura tidak mungkin jika tidak di dengar oleh sang ibu. Oleh sebab itu, Gin hanya bisa merapal doa: semoga saja ibunya tidak mendengar banyak. "Kenapa harus dimatikan? Dengan siapa kau bertelepon, hm? Apa kau punya kekasih baru, Nak?" Dengan langkah anggun, Sarah berjalan mendekati meja kerja milik Gin. Senyum mengembang lebar di wajah keriputnya."Jika benar, coba katakan padaku, siapa kekasih barumu? Di perusahaan mana dia bekerja? Apa prestasinya? Dan kenapa tidak dikenalkan padaku?" tuntut Sarah kembali saat tiba di hadapan Gi
"Menurutmu, anak ini nanti akan jadi laki-laki atau perempuan?"Gin menoleh ke arah samping kanan tempat dimana wanita bertubuh ramping sedang memilih buah alpukat. Yura, bertanya demikian seraya membanding jenis buah yang berbeda di kedua tangannya. Seperti yang mereka bahas di percakapan telepon tadi, Gin berjanji menemani calon istrinya berbelanja setelah pulang dari rumah sakit. Pria yang kini mengenakan putih itu sedang berdiri seraya menyembunyikan kedua tangannya di saku celana. Tubuhnya sengaja disandarkan pada sebuah tiang beton. Sebelumnya Gin tak melempar pembicaraan apa-apa, tetapi entah kenapa tiba-tiba wanitanya ini bertanya demikian."Apa pun itu akan tetap aku sayang," jawab Gin pada akhirnya. "Kalau itu aku tahu. Semua orang tua akan begitu, tapi jujur dari hatimu yang paling dalam kau mau anak laki-laki atau perempuan?" Yura bertanya lagi, masih sibuk dengan dua buah alpukat yang sedang ia pelajari. Dokter menyarankannya untuk mengkonsumsi buah itu setiap pagi g
Sejak kejadian di supermarket hari itu entah kenapa Yura selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tak pernah ia ketahui tentang sang calon suami. Seperti ada hal yang disembunyikan, tetapi Yura tak bisa menggali lebih dalam. Ada saja Argumen berlogika yang diberikan untuknya sehingga ia berspekulasi bahwa mungkin yang terjadi tidaklah seperti yang ia bayangkan. Atau mungkin saja, itu hanya bagian dari pikiran negatifnya. Tak tahu mana yang benar. Pada akhirnya ia memilih menyerahkan semua ke dalam tangan sang pencipta. Apa pun yang terjadi nanti, ia telah pasrah. Dan, selama dua bulan ini mereka masih baik-baik saja. Gin juga tidak berubah. Masih tetap menjadi pria yang posesif dengannya. Tak peduli dimana pun mereka berada lelaki itu selalu mencuri kesempatan di dalam kesempitan. Seperti pagi ini, saat Yura menyiapkan secangkir kopi di pantry, lelaki itu menyusulnya. Selama ini, saat berangkat kerja memang mereka tidak bersama, sengaja menghindari kecurigaan para karyawan dan menghind