Arkatama sudah mengeluarkan sebagian bajunya dari dalam lemari. Kemeja-kemeja kerja baik lengan panjang atau pun pendek miliknya sudah bertebaran di atas kasur.Itu semua karena permintaan Gin yang tiba-tiba saja menelponnya dan meminjam baju. Ia sendiri pun bahkan terheran-heran mengapa seorang atasan seperti Gin mau merendahkan sedikit egonya untuk meminjam baju dari seorang bawahan. Lebih gilanya lagi, permintaan itu mendadak dan harus dipakai pagi ini. "Carikan aku kemeja warna pink. Atau kau punya? Aku mau pinjam, pagi ini aku harus memakainya." Begitulah kalimat yang terdengar di telinganya melalui sambungan telepon beberapa belas menit yang lalu.Lantas, pria yang telah lama menjadi ajudan di keluarga Satwika itu mencoba menggeledah isi lemari pakaiannya dan mencari kemeja dengan warna merah muda yang diinginkan sang tuan. Sempat frustasi karena warna yang sedang dicari tersebut juga bukanlah seleranya. Kebanyakan baju-baju Arkatama berwarna putih, hitam, kuning gading, atau pu
Sebuah getar halus membuyarkan konsentrasi Yura yang sedang menonton sebuah drama. Wanita yang sedang bersantai menikmati segelas susu dingin di ruang tengah itu segera menoleh ke arah meja.[Aku tidak melihatmu di kantor, apa kau tidak bekerja?] Itu pesan dari Erna.[Tadinya mau berangkat, tapi gara-gara morning sickness jadi Gin melarang aku pergi,] balas Yura.Tak lama setelah itu balasan dari Erna masuk kembali ke dalam notifikasi. [Ahhh, sweet. Aku bertemu Pak Arya di depan tadi, penampilannya hari ini memang agak berbeda ya? Apakah hari ini adalah hari spesial?]Entah apa yang dimaksud oleh Erna, ia belum mengerti. Gelas yang sedang dipegangnya kini diletakkan di atas meja dan wanita itu segera memberikan jawaban kepada Erna.[Berbeda bagaimana maksudmu? Setahuku tidak ada apa-apa hari ini.][Foto] Erna lantas melampirkan sebuah foto dimana Arya sedang berjalan menuju lift sambil membawa tas dan tab kerjanya.[Lihatlah, bertahun-tahun aku bekerja, baru kali ini aku melihat Pak Ary
Sementara di kantor ....Usai menutup panggilan, Gin segera menyimpan gawainya. Benda pipih itu ia letakkan jauh-jauh dari jangkauan. Dalam diam berusaha mengatur pernapasan yang sebenarnya sedang berantakan. Dua matanya kini berfokus mengamati wanita berambut uban yang melangkah ke arahnya. Sarah, sang ibu kandung. Entah apa yang membawa wanita itu ke sini. Gin masih tidak menyangka jika ibunya akan datang ke kantor hari ini. Percakapan terakhirnya dengan Yura tidak mungkin jika tidak di dengar oleh sang ibu. Oleh sebab itu, Gin hanya bisa merapal doa: semoga saja ibunya tidak mendengar banyak. "Kenapa harus dimatikan? Dengan siapa kau bertelepon, hm? Apa kau punya kekasih baru, Nak?" Dengan langkah anggun, Sarah berjalan mendekati meja kerja milik Gin. Senyum mengembang lebar di wajah keriputnya."Jika benar, coba katakan padaku, siapa kekasih barumu? Di perusahaan mana dia bekerja? Apa prestasinya? Dan kenapa tidak dikenalkan padaku?" tuntut Sarah kembali saat tiba di hadapan Gi
"Menurutmu, anak ini nanti akan jadi laki-laki atau perempuan?"Gin menoleh ke arah samping kanan tempat dimana wanita bertubuh ramping sedang memilih buah alpukat. Yura, bertanya demikian seraya membanding jenis buah yang berbeda di kedua tangannya. Seperti yang mereka bahas di percakapan telepon tadi, Gin berjanji menemani calon istrinya berbelanja setelah pulang dari rumah sakit. Pria yang kini mengenakan putih itu sedang berdiri seraya menyembunyikan kedua tangannya di saku celana. Tubuhnya sengaja disandarkan pada sebuah tiang beton. Sebelumnya Gin tak melempar pembicaraan apa-apa, tetapi entah kenapa tiba-tiba wanitanya ini bertanya demikian."Apa pun itu akan tetap aku sayang," jawab Gin pada akhirnya. "Kalau itu aku tahu. Semua orang tua akan begitu, tapi jujur dari hatimu yang paling dalam kau mau anak laki-laki atau perempuan?" Yura bertanya lagi, masih sibuk dengan dua buah alpukat yang sedang ia pelajari. Dokter menyarankannya untuk mengkonsumsi buah itu setiap pagi g
Sejak kejadian di supermarket hari itu entah kenapa Yura selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tak pernah ia ketahui tentang sang calon suami. Seperti ada hal yang disembunyikan, tetapi Yura tak bisa menggali lebih dalam. Ada saja Argumen berlogika yang diberikan untuknya sehingga ia berspekulasi bahwa mungkin yang terjadi tidaklah seperti yang ia bayangkan. Atau mungkin saja, itu hanya bagian dari pikiran negatifnya. Tak tahu mana yang benar. Pada akhirnya ia memilih menyerahkan semua ke dalam tangan sang pencipta. Apa pun yang terjadi nanti, ia telah pasrah. Dan, selama dua bulan ini mereka masih baik-baik saja. Gin juga tidak berubah. Masih tetap menjadi pria yang posesif dengannya. Tak peduli dimana pun mereka berada lelaki itu selalu mencuri kesempatan di dalam kesempitan. Seperti pagi ini, saat Yura menyiapkan secangkir kopi di pantry, lelaki itu menyusulnya. Selama ini, saat berangkat kerja memang mereka tidak bersama, sengaja menghindari kecurigaan para karyawan dan menghind
Rama duduk menunggu di depan ruangan kecil berlabel kasir. Pria itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan kesehatan. Meski dua bulan telah berlalu tetap saja keadaannya belum pulih benar. Masih ada obat jalan yang harus ia konsumsi dan terapi ringan yang harus ia lakukan beberapa kali.Kepalanya masih sering pusing, terutama ketika potongan peristiwa masa lalu muncul tiba-tiba. Momen-momen saat ia bekerja, kuliah, dan hubungannya dengan Yura yang sering datang secara acak bagai kaset yang rusak. Semua bercampur menjadi satu. Entah apa sebabnya, semua kenangan tentang Yura tak bisa ia kendalikan. Seminggu terakhir hanya ingatan tentang wanita itu yang sering melintas. Seratus kali ia mencoba menahan, tetapi seribu kali pula kilas balik itu berdatangan.Ada apa?Mengapa setelah bercerai, ia malah dapat mengingat semua kenangan bahagia bersama Yura? Saat pacaran dulu, walau sepenggal-sepenggal ia dapat menyimpulkan bahwa hubungannya dengan Yura bahagia dan baik-baik saja. Dadanya ba
"Maaf, aku terlambat."Sherina baru saja tiba di hadapan Rama. Dua bola mata wanita itu tertuju pada dua cangkir teh yang telah tersaji di meja. Setelahnya merasakan sebuah hangat menjalar di kedua pipinya, sebab tanpa diminta Rama sendiri hanya menanggapi dengan sebuah senyuman dan anggukan singkat. Lalu mempersilakan wanita berambut panjang itu untuk duduk. "Apa sudah lama menungguku?" tanya Sherina setelah mendaratkan tubuhnya pada kursi di hadapan Rama. Seperti biasa wajahnya selalu ceria dengan sabit di bibirnya."Tidak juga, teh ini bahkan baru saja diantar." Rama menggeser satu camgkir minuman ke hadapan Sherina. Sementara wanita itu meletakkan tasnya jinjingnya pada kursi kosong di sebelahnya."So .... Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin bertemu. Bagaimana dengan meeting-mu hari ini? Mereka jadi membantumu untuk launching produk baru?" Tujuan utama Rama sebenarnya bukan itu. Kalau bisa, ia akan bertanya pada intinya, bagaimana
Ting!Denting ponsel di hadapannya merenggut perhatian Gin yang sedang menikmati gelapnya malam tanpa bintang. Pria itu lantas mengulur tangan dan memeriksa pesan yang masuk sebelum kembali menghisap rokoknya. Pesan dari Yura. [Iya, tidak apa-apa. Aku tidur dulu.] Dengan cepat Gin membalas. [Nice dream, Sweetheart.]Usai mengirim jawaban, gawai seharga ratusan juta itu diletakkan kembali ke posisinya. Gin melanjutkan aktivitasnya merokok.Malam ini ia memang sengaja meninggalkan Yura karena ia harus pulang ke rumah orang tuanya. Selain memang rutinitas setiap bulannya, ada beberapa hal yang ingin ia selesaikan bersama sang ayah. Malam yang dingin tak membuat Gin mengurungkan niatnya untuk duduk bersantai di balkon kamar. Hari sudah hampir larut tetapi pria itu tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya terus berkelana dengan banyak hal. Bukan karena pekerjaan, Melainkan karena kehidupan pribadinya. Waktu tidak terasa sudah berjalan dua bulan sejak Gin mengatakan bahwa ia akan menika
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth