Yura menguap ketika dua matanya terbuka. Pantulan sinar matahari dari dinding kaca di hadapannya menandakan bahwa hari sudah siang. Namun, Kelopak matanya memberat setiap kali ia mencoba membukanya lebih lebar. Sejak hamil, ia lebih sering seperti ini. Tubuhnya terasa malas untuk mengerjakan apa pun di pagi hari meski ia sudah tidur lebih awal di malam hari. Dokter mengatakan bahwa hal itu wajar terjadi pada bisa terjadi pada ibu hamil. Terutama di trimester awal. Dan kali ini, Yura berniat untuk tidur lagi barang beberapa menit setidaknya sampai kantuk ini hilang. Namun, matanya kembali melebar ketika merasakan kehadiran seseorang di pinggir ranjang. Ada suara-suara semacam ketukan jari pada papan ketik.Yura segera menoleh dan membalikkan badan. Saat itu juga ia mendapatkan sosok pria sedang duduk di belakangnya dengan sebuah laptop kerja yang bertengger di atas paha.Gin.Entah sejak kapan lelaki itu ada di kamarnya ini, ia sendiri tak menyadari ada seseorang yang datang. Semalam
"Rama, sarapan dulu, Nak. Ibu sudah buatkan tumis jamur kesukaanmu."Rama baru saja tiba di meja makan. Hari ini ia harus pergi bekerja ke kantor Sherina. Ia memelankan gerakan menggeser kursi saat mendapatkan isi meja makan yang terlihat ramai. Ada banyak menu di sana. Mulai dari daging, ayam, ikan yang dimasak dengan berbagai macam bumbu. Lalu beberapa sayur tumis dan juga buah potong. "Kenapa makanannya banyak sekali, Bu? Ada acara apa sampai ibu membuat beragam makanan ini?" tanyanya setelah mendaratkan tubuhnya di kursi. Pria berkemeja biru muda itu lantas mengambil piring kosong dan sendok makan bersih yang telah disediakan di meja."Ibu tidak memasak, Nak, ibu beli di rumah makan tadi." Katrina menjawab seraya menata beberapa piring berisi lauk berbumbu santan.Beli? Mendengar itu Rama lantas menghitung dalam hati. Berapa harga satu porsi jika semua ini di jadikan dalam bentuk uang. Terlebih sekarang semua kebutuhan melonjak naik dan mahal. Mungkin sekitar tiga ratus ribu lebi
"Sebenarnya saya menyayangkan keputusan kamu untuk resign. Saya melihat beberapa bulan terakhir kinerja kamu semakin baik dari sebelumnya. Kamu masih punya banyak kesempatan untuk berkembang di perusahaan ini."Yura tersenyum tipis. Wanita itu menunduk sekilas setelah Bu Rika memberikan kalimat sanjungan padanya. Seperti yang dikatakan oleh sang presdir saat baru bangun tidur tadi, ia menemui Bu Rika untuk melakukan exit interview. Semacam wawancara sebelum seorang pegawai keluar dari perusahaan. Biasanya terkait dengan alasan mengapa berhenti bekerja hingga pesan juga kritik dan saran untuk perusahaan. Ini jarang dilakukan oleh perusahaan. Namun, Satwika Group selalu melakukan hal itu dari tahun ke tahun.Sekitar sepuluh menit yang lalu, Yura tiba di ruangan sang manajer personalia. Tidak banyak pertanyaan yang diberikan oleh wanita itu. Bu Rika hanya bertanya bagaimana kabarnya dan apakah Yura baik-baik saja setelah perceraian yang terjadi antara ia dan suaminya beberapa bulan lalu
Kabar kedatangan pria asing yang membuat keributan dan mencari Yura sampai di telinga Gin. Usai menerima panggilan dari salah satu satpam di telepon meja kerja Yura. Pria itu langsung memastikan kebenaranya melalui dinding kaca yang terbentang luas di lantai lima. Bahkan, sampai mengabaikan video call yang tersambung dengan sang ayah.Dari sana ia bisa melihat jelas tiga orang satpam sedang berusaha keras menghalangi Rama yang mencoba menerobos masuk dan meneriakkan sesuatu. Beberapa karyawan yang bekerja tak jauh dari pos satpam berhamburan ke luar ruangan hanya untuk mencari tahu keributan apa yang sedang terjadi. Sama halnya dengan Yura, pria berusia paruh baya itu geram dengan pemandangan yang ia lihat saat ini. Untuk apa Rama datang ke sini dan ingin menemui wanitanya? Akhir-akhir ini ia kehilangan informasi pria itu sejak Arkatama mengurus Prastaga—anak perusahaannya. Sehingga ia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Katrina, Sherina, dan Rama. Ia bahkan tidak menyangka jika
Erna baru saja keluar dari ruangan atasannya di lantai dua. Ia bergegas menuruni tangga dan kembali ke ruangannya sebelum Yura menghampirinya ke kantin untuk membeli makan siang. Mereka telah berjanji sebelumnya. Jika hari ini akan ke kantin bersama. Entah apa yang akan diobrolkan oleh teman dekatnya itu, ia hanya mengatakan bahwa ada hal penting yang akan mereka bicarakan.Dari kejauhan ibu anak dua itu telah melihat beberapa orang sedang ramai di lantai satu, begitu juga dengan lobby kantor ini. Ada banyak orang yang berkerumun sembari berbisik-bisik dan melihat ke arah luar, entah apa yang sedang mereka bicarakan Erna hanya mendengar sekilas beberapa kalimat percakapan. "Ada apa, sih?" "Biasalah artis sinetron kita berulah lagi.""Mengganggu ketenangan saja! Seharusnya kalau masalah pribadi jangan di bawa ke kantor lah," keluh salah satu pegawai perempuan yang berjalan keluar dari lobby.Erna mengira memang sudah waktunya istirahat dan para pegawai itu hanya sedang menggosip bi
Seorang pria berjas rapi berdiri di depan pintu berdiri tanpa menampilkan ekspresi apa pun. Wajahnya datar dan tangan kanannya membawa sebuah paper bag berwarna cokelat. Ukurannya cukup besar dan sepertinya banyak sekali kotak makanan di sana. Sementara satu tangannya lagi memegang sebuah ponsel pintar.Kalau bisa saat ini Erna akan memukul mulutnya sendiri, sebab yang datang bukanlah satpam ataupun ojek online yang mengantar makanan mereka. Sosok itu adalah Gin atau yang kerap dipanggilnya Arya, presiden direktur perusahaan ini. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di depan pintu, Erna hanya berharap percakapannya dengan Yura tak terdengar sepenuhnya.Astaga!"Ah, Pak Arya, maaf, saya kira tadi satpam yang mengantar pesanan makan siang." Erna lantas membuka pintunya lebar-lebar, ia salah tingkah sebab yang lawan bicaranya saat ini adalah atasannya sendiri. Tak hanya dirinya, Yura pun turut menoleh ke arahnya."Saya memang mengantar makan siang. Pak Gamma tadi datang mengirimkan bany
Malam telah datang. Waktunya Yura pergi bersama Gin untuk makan malam di rumah orang tuanya. Kini mereka berada di dalam sebuah mobil yang sedang melaju pelan membelah jalanan kota yang padat karena hujan.Sejak kendaraan mereka meninggalkan basement apartemen Yura lebih banyak diam dan menikmati pemandangan di luar jendela. Tidak ada obrolan yang berarti. Gin sendiri fokus pada jalanan di depannya. Merenungkan setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya. Hingga akhirnya ia berada di titik ini, akan menikah untuk kedua kalinya dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Pria yang lingkup kehidupannya jauh lebih berada dari suami sebelumnya. Semesta memiliki cara luar biasa untuk mempertemukan mereka, bahkan Yura tidak menduga bahwa Gin—atasannya sendiri—yang mengejar dirinya selama ini.Ketakutan untuk membangun kembali hubungan dengan pria lain sebenarnya masih ada. Jujur, ia takut gagal kembali. Namun, jika Yura tidak segera melangsungkan pernikahan bagaimana dengan anak dalam rahimny
Bunda Martha. Yura mencatat baik-baik nama cantik itu di kepalanya. Sesuai dengan namanya, calon mertuanya kali ini tidak terlihat seperti wanita yang sempurna. Wibawanya kalem dan tenang, tidak garang seperti Katrina.Wajahnya cantik. Penampilannya simple dan sederhana. Gaun hitam selutut itu nampak anggun di badannya yang ramping. Rambutnya masih sangat indah untuk diurai ke belakang. Meski sudah berumur wanita itu masih nampak segar dan awet muda. Kulit kuning langsatnya bersih dan sehat. Bagaimana Yura bisa percaya diri?Mertuanya yang sudah berusia lanjut saja telaten merawat diri. Sementara dirinya tak rajin seperti itu."Ayo, kita ke sana," ajak Gin seraya menarik tangan Yura. Wanita itu lantas menurut dan mengekor saja. Sayangnya, baru beberapa langkah mereka berjalan, Yura melepaskan gandengan tangan."Kenapa?" tanya pria itu lalu berbalik menghadap ke arah Yura yang kini menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat memucat, bahkan Gin bisa melihat dengan jelas Yura telah men
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth