"Sebenarnya saya menyayangkan keputusan kamu untuk resign. Saya melihat beberapa bulan terakhir kinerja kamu semakin baik dari sebelumnya. Kamu masih punya banyak kesempatan untuk berkembang di perusahaan ini."Yura tersenyum tipis. Wanita itu menunduk sekilas setelah Bu Rika memberikan kalimat sanjungan padanya. Seperti yang dikatakan oleh sang presdir saat baru bangun tidur tadi, ia menemui Bu Rika untuk melakukan exit interview. Semacam wawancara sebelum seorang pegawai keluar dari perusahaan. Biasanya terkait dengan alasan mengapa berhenti bekerja hingga pesan juga kritik dan saran untuk perusahaan. Ini jarang dilakukan oleh perusahaan. Namun, Satwika Group selalu melakukan hal itu dari tahun ke tahun.Sekitar sepuluh menit yang lalu, Yura tiba di ruangan sang manajer personalia. Tidak banyak pertanyaan yang diberikan oleh wanita itu. Bu Rika hanya bertanya bagaimana kabarnya dan apakah Yura baik-baik saja setelah perceraian yang terjadi antara ia dan suaminya beberapa bulan lalu
Kabar kedatangan pria asing yang membuat keributan dan mencari Yura sampai di telinga Gin. Usai menerima panggilan dari salah satu satpam di telepon meja kerja Yura. Pria itu langsung memastikan kebenaranya melalui dinding kaca yang terbentang luas di lantai lima. Bahkan, sampai mengabaikan video call yang tersambung dengan sang ayah.Dari sana ia bisa melihat jelas tiga orang satpam sedang berusaha keras menghalangi Rama yang mencoba menerobos masuk dan meneriakkan sesuatu. Beberapa karyawan yang bekerja tak jauh dari pos satpam berhamburan ke luar ruangan hanya untuk mencari tahu keributan apa yang sedang terjadi. Sama halnya dengan Yura, pria berusia paruh baya itu geram dengan pemandangan yang ia lihat saat ini. Untuk apa Rama datang ke sini dan ingin menemui wanitanya? Akhir-akhir ini ia kehilangan informasi pria itu sejak Arkatama mengurus Prastaga—anak perusahaannya. Sehingga ia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Katrina, Sherina, dan Rama. Ia bahkan tidak menyangka jika
Erna baru saja keluar dari ruangan atasannya di lantai dua. Ia bergegas menuruni tangga dan kembali ke ruangannya sebelum Yura menghampirinya ke kantin untuk membeli makan siang. Mereka telah berjanji sebelumnya. Jika hari ini akan ke kantin bersama. Entah apa yang akan diobrolkan oleh teman dekatnya itu, ia hanya mengatakan bahwa ada hal penting yang akan mereka bicarakan.Dari kejauhan ibu anak dua itu telah melihat beberapa orang sedang ramai di lantai satu, begitu juga dengan lobby kantor ini. Ada banyak orang yang berkerumun sembari berbisik-bisik dan melihat ke arah luar, entah apa yang sedang mereka bicarakan Erna hanya mendengar sekilas beberapa kalimat percakapan. "Ada apa, sih?" "Biasalah artis sinetron kita berulah lagi.""Mengganggu ketenangan saja! Seharusnya kalau masalah pribadi jangan di bawa ke kantor lah," keluh salah satu pegawai perempuan yang berjalan keluar dari lobby.Erna mengira memang sudah waktunya istirahat dan para pegawai itu hanya sedang menggosip bi
Seorang pria berjas rapi berdiri di depan pintu berdiri tanpa menampilkan ekspresi apa pun. Wajahnya datar dan tangan kanannya membawa sebuah paper bag berwarna cokelat. Ukurannya cukup besar dan sepertinya banyak sekali kotak makanan di sana. Sementara satu tangannya lagi memegang sebuah ponsel pintar.Kalau bisa saat ini Erna akan memukul mulutnya sendiri, sebab yang datang bukanlah satpam ataupun ojek online yang mengantar makanan mereka. Sosok itu adalah Gin atau yang kerap dipanggilnya Arya, presiden direktur perusahaan ini. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di depan pintu, Erna hanya berharap percakapannya dengan Yura tak terdengar sepenuhnya.Astaga!"Ah, Pak Arya, maaf, saya kira tadi satpam yang mengantar pesanan makan siang." Erna lantas membuka pintunya lebar-lebar, ia salah tingkah sebab yang lawan bicaranya saat ini adalah atasannya sendiri. Tak hanya dirinya, Yura pun turut menoleh ke arahnya."Saya memang mengantar makan siang. Pak Gamma tadi datang mengirimkan bany
Malam telah datang. Waktunya Yura pergi bersama Gin untuk makan malam di rumah orang tuanya. Kini mereka berada di dalam sebuah mobil yang sedang melaju pelan membelah jalanan kota yang padat karena hujan.Sejak kendaraan mereka meninggalkan basement apartemen Yura lebih banyak diam dan menikmati pemandangan di luar jendela. Tidak ada obrolan yang berarti. Gin sendiri fokus pada jalanan di depannya. Merenungkan setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya. Hingga akhirnya ia berada di titik ini, akan menikah untuk kedua kalinya dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Pria yang lingkup kehidupannya jauh lebih berada dari suami sebelumnya. Semesta memiliki cara luar biasa untuk mempertemukan mereka, bahkan Yura tidak menduga bahwa Gin—atasannya sendiri—yang mengejar dirinya selama ini.Ketakutan untuk membangun kembali hubungan dengan pria lain sebenarnya masih ada. Jujur, ia takut gagal kembali. Namun, jika Yura tidak segera melangsungkan pernikahan bagaimana dengan anak dalam rahimny
Bunda Martha. Yura mencatat baik-baik nama cantik itu di kepalanya. Sesuai dengan namanya, calon mertuanya kali ini tidak terlihat seperti wanita yang sempurna. Wibawanya kalem dan tenang, tidak garang seperti Katrina.Wajahnya cantik. Penampilannya simple dan sederhana. Gaun hitam selutut itu nampak anggun di badannya yang ramping. Rambutnya masih sangat indah untuk diurai ke belakang. Meski sudah berumur wanita itu masih nampak segar dan awet muda. Kulit kuning langsatnya bersih dan sehat. Bagaimana Yura bisa percaya diri?Mertuanya yang sudah berusia lanjut saja telaten merawat diri. Sementara dirinya tak rajin seperti itu."Ayo, kita ke sana," ajak Gin seraya menarik tangan Yura. Wanita itu lantas menurut dan mengekor saja. Sayangnya, baru beberapa langkah mereka berjalan, Yura melepaskan gandengan tangan."Kenapa?" tanya pria itu lalu berbalik menghadap ke arah Yura yang kini menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat memucat, bahkan Gin bisa melihat dengan jelas Yura telah men
Tidak ada obrolan serius dalam makan malam itu. Topik yang sedang mereka bahas bukanlah hal berat. Hanya seputar masakan Martha yang mampu memadamkan rasa lapar mereka. Lalu obrolan mereka berganti menjadi diskusi tentang pernikahan, tetapi tidak mendalam, sebatas rekomendasi wedding gown designer kenalan sang bunda yang bisa dijadikan referensi dan permintaan Wira untuk pergi ke tempat acara lima hari lebih awal.Sepanjang makan malam, Yura telah mendengar beberapa hal penting yang akan terjadi seminggu ke depan. Termasuk rencana pernikahan mereka akan digelar secara privat di Bali. Hanya keluarga Gin dan perwakilan dari keluarga Yura—yang akan diwakili oleh Erna dan suaminya—saja. Itu sebabnya Gin mengundang sahabatnya berserta suami untuk bertemu dengannya besuk siang.Yura sendiri bagai manusia linglung yang tidak tahu menahu tentang rencana-rencana itu. Biasanya para pengantinlah yang sibuk menjelang pernikahan dan mereka lah yang paling tahu tentang acara pernikahan mereka sendi
Rasanya belum genap satu hari Yura berada di rumah. Jika biasanya hari berjalan cepat, sekarang justru terasa berputar lebih lambat. Menit pertama ketika Gin meninggalkan bekas kecupan di bibirnya sebelum berangkat kerja, Yura telah memikirkan sebuah aktivitas, membereskan rumah. Namun, ternyata pekerjaan itu tak cukup untuk mengisi waktunya selama beberapa jam ke depan. Ia sudah mencuci baju dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya tetapi semua itu hanya membutuhkan waktu selama 30 menit saja. Lantai satu ini hanya sedikit pekerjaan saja. Ia lantas beranjak ke kamar Gin. Sayangnya, Yura tetap tak menemukan sesuatu yang bisa ia lakukan. Semuanya sudah rapi. Bahkan sepertinya debu pun tak ada di tempat ini. Gin memang pria langka yang seharusnya ia syukuri. Selama menikah dengan Rama, pria itu tak pernah mau merapikan tempat tidur atau mengerjakan pekerjaan rumah barang hanya menyapu. Selimut yang berantakan, bantal yang tidak berada di tempatnya, atau handuk basah yang tergelet