Bunda Martha. Yura mencatat baik-baik nama cantik itu di kepalanya. Sesuai dengan namanya, calon mertuanya kali ini tidak terlihat seperti wanita yang sempurna. Wibawanya kalem dan tenang, tidak garang seperti Katrina.Wajahnya cantik. Penampilannya simple dan sederhana. Gaun hitam selutut itu nampak anggun di badannya yang ramping. Rambutnya masih sangat indah untuk diurai ke belakang. Meski sudah berumur wanita itu masih nampak segar dan awet muda. Kulit kuning langsatnya bersih dan sehat. Bagaimana Yura bisa percaya diri?Mertuanya yang sudah berusia lanjut saja telaten merawat diri. Sementara dirinya tak rajin seperti itu."Ayo, kita ke sana," ajak Gin seraya menarik tangan Yura. Wanita itu lantas menurut dan mengekor saja. Sayangnya, baru beberapa langkah mereka berjalan, Yura melepaskan gandengan tangan."Kenapa?" tanya pria itu lalu berbalik menghadap ke arah Yura yang kini menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat memucat, bahkan Gin bisa melihat dengan jelas Yura telah men
Tidak ada obrolan serius dalam makan malam itu. Topik yang sedang mereka bahas bukanlah hal berat. Hanya seputar masakan Martha yang mampu memadamkan rasa lapar mereka. Lalu obrolan mereka berganti menjadi diskusi tentang pernikahan, tetapi tidak mendalam, sebatas rekomendasi wedding gown designer kenalan sang bunda yang bisa dijadikan referensi dan permintaan Wira untuk pergi ke tempat acara lima hari lebih awal.Sepanjang makan malam, Yura telah mendengar beberapa hal penting yang akan terjadi seminggu ke depan. Termasuk rencana pernikahan mereka akan digelar secara privat di Bali. Hanya keluarga Gin dan perwakilan dari keluarga Yura—yang akan diwakili oleh Erna dan suaminya—saja. Itu sebabnya Gin mengundang sahabatnya berserta suami untuk bertemu dengannya besuk siang.Yura sendiri bagai manusia linglung yang tidak tahu menahu tentang rencana-rencana itu. Biasanya para pengantinlah yang sibuk menjelang pernikahan dan mereka lah yang paling tahu tentang acara pernikahan mereka sendi
Rasanya belum genap satu hari Yura berada di rumah. Jika biasanya hari berjalan cepat, sekarang justru terasa berputar lebih lambat. Menit pertama ketika Gin meninggalkan bekas kecupan di bibirnya sebelum berangkat kerja, Yura telah memikirkan sebuah aktivitas, membereskan rumah. Namun, ternyata pekerjaan itu tak cukup untuk mengisi waktunya selama beberapa jam ke depan. Ia sudah mencuci baju dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya tetapi semua itu hanya membutuhkan waktu selama 30 menit saja. Lantai satu ini hanya sedikit pekerjaan saja. Ia lantas beranjak ke kamar Gin. Sayangnya, Yura tetap tak menemukan sesuatu yang bisa ia lakukan. Semuanya sudah rapi. Bahkan sepertinya debu pun tak ada di tempat ini. Gin memang pria langka yang seharusnya ia syukuri. Selama menikah dengan Rama, pria itu tak pernah mau merapikan tempat tidur atau mengerjakan pekerjaan rumah barang hanya menyapu. Selimut yang berantakan, bantal yang tidak berada di tempatnya, atau handuk basah yang tergelet
Yura mematut dirinya di cermin besar pada meja riasnya. Dua tangannya bekerjasama untuk menyapukan sebuah pelembab bibir. Entah dandanan ini akan baik atau tidak Yura sudah memaksimalkan upayanya untuk mengganti baju rumahan dengan dress pendek berwarna pastel dan menaruh sedikit taburan bedak pada wajahnya. Begitu selesai, Yura lantas meraih ponsel yang tak jauh dari jangkauannya. Waktu di sudut kiri layar menunjukkan sepuluh menit telah berlalu. Wanita itu lantas mengambil satu botol parfume beraroma vanila untuk ia semprotkan pergelangan tangan dan belakang telinga. Tak lupa memasukkan botol kaca tersebut ke dalam tas selempangnya. Detik berikutnya ia segera beranjak ke luar kamar karena telah mendengar suara langkah seseorang yang sedang menuruni tangga.Benar saja. Saat pintu terbuka, ia telah mendapati Gin telah berada di lantai satu. Pria itu sedang mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas. Baju formalnya telah tanggal dan telah berganti dengan pakaian casual. Ka
Hampir setengah jam kendaraan beroda empat itu menggilas jalanan aspal. Selama itu juga Yura dan Gin bercengkrama satu sama lain. Entah menceritakan pekerjaan atau hanya sekadar membahas rencana-rencana kecil yang akan mereka buat di kemudian hari. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa bangunan yang terlihat baru dibangun. Terlihat juga beberapa tukang sedang memindahkan interior ke dalam rumah. Sisanya masih berupa tanah merah yang berhias rumput liar. Sejenak Yura bergidik ngeri ketika mengamati suasana ini. Namun, ketika mereka berhenti kawasan yang cukup padat bangunan barulah wanita itu cukup tenang.Gin lantas memelankan laju kendaraannya, selanjutnya memasuki halaman rumah megah yang telah dijaga oleh dua orang satpam.Bangunan megah dengan gaya modern itu dibangun setinggi tiga lantai. Nuansanya hitam tetapi tetap terkesan mewah dengan lampu-lampu warm terpancar di dalam setiap ruangannya. Kebanyakan fasad luar bangunan i
Gin berusaha setenang mungkin walau dadanya sedang bergemuruh hebat akibat pertanyaan Yura barusan.Ah! Rasanya ingin menampar bibirnya sendiri saat ini. Mengapa harus salah bicara? Mengapa dia juga bisa hampir kelepasan menyebut nama Anjani? Sebenarnya tidak masalah, tapi belum waktunya. Jangan! Ia tidak mau membukanya sekarang. "Gin?" tanya Yura seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di hadapan wajah kekasihnya. Bukan tanpa alasan. Yura melakukan itu karena Gin tak kunjung menjawab pertanyannya. Pria itu hanya menerbitkan senyum ke arah Yura. "Ya—ya! Seperti yang kau lihat," jawabnya kemudian memeriksa arloji yang melingkar di tangan kirinya, "Ayo, Sayang, kita berkeliling lagi. Kita lihat taman dan kolam ikan koi yang ada di sana, kau pasti senang!" Gin lantas bangkit berdiri, setelahnya meraih lengan Yura dan membantu wanita itu berdiri. "Kolam ikan koi?" tanya wanita itu kemudian. "Apa ikan yang sama dengan di rumah Ayah dan Bunda kemarin?"Sebuah anggukan diberikan ole
"Percuma aku beritahu kebenarannya kalau kau masih percaya orang lain dari pada aku! Jadi, pergilah saja dari membuang energiku untuk bicara denganmu!" Yura mengibaskan tangan Rama hingga terlepas. Wanita itu berniat meninggalkan Rama di luar unit. Akan tetapi, lagi-lagi gerakan tangannya lebih lambat dari Rama. Pria berkemeja hijau tua itu meraih tangan Yura kembali. Dia mencengkeram lebih kuat hingga Yura hanya menyakiti dirinya sendiri jika bergerak dengan brutal."Aku tahu itu kesalahan terbesarku, Yura. Maka itu sebabnya aku ingin bicara denganmu. Percayalah, aku ke sini karena tidak kesengajaan. Aku datang ke sini mencari apartemen baru untuk studio Sherina, tapi saat aku ingin pulang, aku melihatmu berjalan sendirian di ujung lorong. Apalagi kalau bukan takdir yang mempertemukan kita di sini!"Takdir? Mendengar kata itu, Yura ingin tertawa keras-keras. Jelas-jelas ini hanya sebuah momentum yang kebetulan saja. Sebab nyatanya, takdir telah membawa mereka berpisah."Takdir kit
"Aku akan tunggu di atas, kalian bicaralah."Gin bangkit berdiri saat Yura telah keluar dari kamarnya. Ia hendak melangkah pergi bermaksud meninggalkan kedua mantan suami istri itu untuk bicara empat mata karena di sini Gin hanyalah orang ketiga yang tidak seharusnya ikut campur. Walau sebenarnya ia adalah orang yang turut terlibat dalam masalah ini.Pria itu merasa bukan kapasitasnya untuk bicara. Seperti yang dikatakan sang ayah, dia tidak boleh mengintervensi apa pun. Namun, saat hendak menjauh dari ruang tamu, Yura menahan lengannya hingga gerakan lelaki itu terhenti. Yura menggeleng memberi tanda bahwa ia tak bisa bicara sendiri. "Ini masalahmu dengan mantan suamimu. Aku tidak bisa mengintervensi apa pun, tetapi aku mengawasi kalian dari atas. Kalau dia macam-macam padamu teriakkan namaku," ujar Gin setelahnya memberikan kecupan di pelipis Yura. Akhirnya, pria itu meninggalkan mereka untuk menyelesaikan urusan.Sementara di ruang tamu itu, kepergian Gin menyisakan sebuah henin