Hampir setengah jam kendaraan beroda empat itu menggilas jalanan aspal. Selama itu juga Yura dan Gin bercengkrama satu sama lain. Entah menceritakan pekerjaan atau hanya sekadar membahas rencana-rencana kecil yang akan mereka buat di kemudian hari. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa bangunan yang terlihat baru dibangun. Terlihat juga beberapa tukang sedang memindahkan interior ke dalam rumah. Sisanya masih berupa tanah merah yang berhias rumput liar. Sejenak Yura bergidik ngeri ketika mengamati suasana ini. Namun, ketika mereka berhenti kawasan yang cukup padat bangunan barulah wanita itu cukup tenang.Gin lantas memelankan laju kendaraannya, selanjutnya memasuki halaman rumah megah yang telah dijaga oleh dua orang satpam.Bangunan megah dengan gaya modern itu dibangun setinggi tiga lantai. Nuansanya hitam tetapi tetap terkesan mewah dengan lampu-lampu warm terpancar di dalam setiap ruangannya. Kebanyakan fasad luar bangunan i
Gin berusaha setenang mungkin walau dadanya sedang bergemuruh hebat akibat pertanyaan Yura barusan.Ah! Rasanya ingin menampar bibirnya sendiri saat ini. Mengapa harus salah bicara? Mengapa dia juga bisa hampir kelepasan menyebut nama Anjani? Sebenarnya tidak masalah, tapi belum waktunya. Jangan! Ia tidak mau membukanya sekarang. "Gin?" tanya Yura seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di hadapan wajah kekasihnya. Bukan tanpa alasan. Yura melakukan itu karena Gin tak kunjung menjawab pertanyannya. Pria itu hanya menerbitkan senyum ke arah Yura. "Ya—ya! Seperti yang kau lihat," jawabnya kemudian memeriksa arloji yang melingkar di tangan kirinya, "Ayo, Sayang, kita berkeliling lagi. Kita lihat taman dan kolam ikan koi yang ada di sana, kau pasti senang!" Gin lantas bangkit berdiri, setelahnya meraih lengan Yura dan membantu wanita itu berdiri. "Kolam ikan koi?" tanya wanita itu kemudian. "Apa ikan yang sama dengan di rumah Ayah dan Bunda kemarin?"Sebuah anggukan diberikan ole
"Percuma aku beritahu kebenarannya kalau kau masih percaya orang lain dari pada aku! Jadi, pergilah saja dari membuang energiku untuk bicara denganmu!" Yura mengibaskan tangan Rama hingga terlepas. Wanita itu berniat meninggalkan Rama di luar unit. Akan tetapi, lagi-lagi gerakan tangannya lebih lambat dari Rama. Pria berkemeja hijau tua itu meraih tangan Yura kembali. Dia mencengkeram lebih kuat hingga Yura hanya menyakiti dirinya sendiri jika bergerak dengan brutal."Aku tahu itu kesalahan terbesarku, Yura. Maka itu sebabnya aku ingin bicara denganmu. Percayalah, aku ke sini karena tidak kesengajaan. Aku datang ke sini mencari apartemen baru untuk studio Sherina, tapi saat aku ingin pulang, aku melihatmu berjalan sendirian di ujung lorong. Apalagi kalau bukan takdir yang mempertemukan kita di sini!"Takdir? Mendengar kata itu, Yura ingin tertawa keras-keras. Jelas-jelas ini hanya sebuah momentum yang kebetulan saja. Sebab nyatanya, takdir telah membawa mereka berpisah."Takdir kit
"Aku akan tunggu di atas, kalian bicaralah."Gin bangkit berdiri saat Yura telah keluar dari kamarnya. Ia hendak melangkah pergi bermaksud meninggalkan kedua mantan suami istri itu untuk bicara empat mata karena di sini Gin hanyalah orang ketiga yang tidak seharusnya ikut campur. Walau sebenarnya ia adalah orang yang turut terlibat dalam masalah ini.Pria itu merasa bukan kapasitasnya untuk bicara. Seperti yang dikatakan sang ayah, dia tidak boleh mengintervensi apa pun. Namun, saat hendak menjauh dari ruang tamu, Yura menahan lengannya hingga gerakan lelaki itu terhenti. Yura menggeleng memberi tanda bahwa ia tak bisa bicara sendiri. "Ini masalahmu dengan mantan suamimu. Aku tidak bisa mengintervensi apa pun, tetapi aku mengawasi kalian dari atas. Kalau dia macam-macam padamu teriakkan namaku," ujar Gin setelahnya memberikan kecupan di pelipis Yura. Akhirnya, pria itu meninggalkan mereka untuk menyelesaikan urusan.Sementara di ruang tamu itu, kepergian Gin menyisakan sebuah henin
Posisi mereka belum berubah. Yura masih tetap duduk di sofa sementara Rama berlutut di hadapan sang mantan istri. Sesekali pria itu mendesis menahan sakit.Sejenak Yura mengamati raut wajah Rama yang memerah karena tamparannya. Juga darah segar yang terus keluar di sudut bibir. Itu membuat bibirnya terlihat bengkak. Sebenarnya ia masih bimbang dengan kalimat yang ingin ia ucapkan ini. Memandang Rama kesakitan seperti itu membuatnya menimbang. Apakah ia terlalu kejam atau tidak jika membuka sebuah rahasia yang disimpan rapat-rapat darinya selama bertahun-tahun? Cukupkah tamparan yang ia berikan padanya tadi? Atau masih perlu kenyataan ini agar semakin menusuk ulu hati?Apakah ia akan menjadi wanita yang jahat setelah ini?Yura masih mengutamakan manusiawi di sini. Namun, bukankah ibu mertuanya bahkan lelaki itu tak pernah mempedulikan apa pun saat menyakitinya? Bukankah mereka juga seenaknya saja saat melakukan kejahatan padanya? Memaki, menuduh sembarangan tanpa mengerti perasaan
Ketika Yura membenamkan kepala di dadanya, Gin hanya bisa terdiam. Semuanya telah ia saksikan dari lantai atas, termasuk percakapan antara Yura dan mantan suaminya, bahkan tamparan keras yang baru saja terjadi. Kehidupan mereka ternyata dipenuhi oleh kebohongan, dengan pihak tertentu yang tidak merestui hubungan mereka. Fakta-fakta pun diputarbalikkan, dan Yura sendiri hanya menerima segala tuduhan itu tanpa menuntut balas.Kisah mereka semakin rumit ketika Yura memutuskan untuk mengorbankan segalanya, menjadikan kesetiaannya sebagai taruhan. Kini, semuanya telah berantakan.Apa yang terjadi hari ini memberikan Gin kepuasan, semua kesakitan Yura selama ini telah terbayar dengan penyesalan Rama—yang sebelumnya sempat menyia-nyiakan ketulusan istrinya. Namun, peristiwa tadi juga membuatnya merenungkan beberapa hal. Bisakah ia menjamin kebahagiaan Yura selama bersamanya? Secara, Gin sendiri banyak menyembunyikan fakta-fakta penting dalam hidupnya dari calon istrinya itu. Hari ini, ia te
"Selamat, ya!"Dua kata yang mampu mengangkat sudut bibir Yura ke atas sejak ia selesai mengucapkan sebuah janji di depan pastur dan saksi yang hadir. Hari ini, pada sebuah villa di Bali telah digelar sebuah pernikahan kecil untuknya.Akhirnya, semua keinginannya sudah terlaksana. Kini hubungannya dengan sudah sah secara agama dan negara. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Tidak ada lagi ketakutan untuk menunjukkan kehamilan ini.Acara pernikahannya dengan Gin sudah selesai sejak siang. Hanya tinggal perayaan kecil dengan konsep makan malam. Diiringi dengan live music bergenre acoustic. Sederhana tetapi mewah. Itulah yang terbesit di benak Yura untuk menggambarkan acara pernikahannya malam ini, bahkan jauh lebih sederhana dari pernikahan pertamanya bersama Rama karena hanya dihadiri empat keluarga dan beberapa tamu pilihan. Erna dan suaminya, juga dua buah hati mereka. Arkatama mengajak istrinya beserta ayah dan ibunya. Lalu keluarga Wira, yang hanya terdiri dari Wira sendiri
Jika Yura dan Gin sedang berbahagia merayakan pernikahan mereka, maka keadaan yang berbanding terbalik sedang terjadi kepada Katrina dan putra sulungnya. Hubungan mereka menjadi berjarak beberapa hari ini. Bahkan sebenarnya sejak Rama mendapatkan selembar kertas berisi rincian biaya pengobatannya selama koma, pria itu telah acuh kepada ibu kandungnya sendiri. Lalu Katrina mendadak frustasi karena Rama telah mengetahui sebuah rahasia yang selama ini ia tutupi. Sekarang bagaimana caranya untuk membalikkan keadaan? Rama yang dulu begitu percaya kepadanya kini mulai berontak. Bahkan terakhit kali mereka bertengkar besar soal kebenaran itu. Rama menuntut penjelasan tetapi Katrina masih saja melempar alasan dan menyudutkan Yura. Sudah hampir empat hari lamanya Rama tak pulang ke rumahnya. Entah kemana perginya, Katrina hanya bisa berusaha mencari tahu ke beberapa orang dia kenal dan menelpon sang putra setiap waktu.Namun, tak ada usaha yang membuahkan hasil. Katrina tak mendapatkan sat
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth