Rama mengangkat handbrake setelah mobilnya berhenti di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu besar – kantor Sherina, tempatnya bekerja paruh waktu. Tanpa membuat janji temu, ia sudah tahu bahwa wanita yang berstatus sebagai calon istrinya berada di tempat ini. Rama sangat memahami jadwal Sherina, termasuk kapan wanita itu ada di kantor dan kapan pergi keluar bersama klien. Wanita itu memiliki jadwal yang tetap sehingga mudah baginya untuk menghafal.Tak ingin membuang waktu, pria itu segera turun dari mobilnya dan melangkah dengan mantap menapaki lempengan batu andesit yang terbentang di halaman kantor. Meskipun Rama tidak terlalu memperhatikan penampilannya kali ini – mengenakan baju biasa daripada pakaian formal, juga kondisi wajahnya yang kacau– sorotan beberapa orang tetap mengarah padanya. Para karyawan tetap mengenali Rama dan memberikan penghormatan. Mereka tentu tahu bahwa lelaki itu adalah calon suami sang pemilik perusahaan. Walaupun setelahnya saling bertanya satu sama l
Rama merogoh ponselnya dalam saku celana. Selanjutnya membuka sebuah aplikasi dan mencari sebuah gambar di sana. Berikut menunjukkan gambar tersebut kepada Sherina. Selembar hasil tes yang diberikan Yura beberapa hari lalu, kemudian satu lembar hasil tes baru yang ia dapatkan dari rumah sakit berbeda. Keduanya sama-sama sudah divalidasi oleh ahlinya. Dokter yang menangani Rama juga mengatakan semua itu terjadi karena pola hidup yang kurang baik.Memang dulu Rama memiliki gaya hidup yang tergolong tidak sehat. Alkohol menjadi teman setiap waktu, sepanjang bekerja ia mengandalkan wine untuk menemaninya begadang. Tingkat toleransi membuatnya mampu menenggak cukup banyak minuman fermentasi itu. Jika tidak ada wine, maka bir dan soda menjadi penggantinya.Ia tak menyangka jika itu semua tidak berpengaruh pada tubuhnya terutama pada reproduksinya sendiri.Tangan lemas Sherina menerima benda pipih tersebut. Wanita itu mencermatinya setiap detailnya dengan seksama. “Jika ini masalahnya ... a
Suara mesin blender yang lamat terdengar membuat Gin terpaksa membuka mata. Sejenak mengerjap-ngerjapkan kelopak yang terasa berat. Kantuk masih menyerangnya sebab baru tidur beberapa jam saja. Beberapa hari setelah pernikahan Gin dan Yura tidak menghabiskan waktu di Bali. Mereka justru pulang dan menggunakan waktu mereka untuk memindahkan barang-barang dari apartemen ke rumah baru. Dan, semalam, tak perlu ditanya apa yang pria itu lakukan hingga tidur di waktu subuh. Tentu saja melampiaskan sebuah hasrat yang selama berbulan-bulan ini ia tahan. Entahlah, bukannya jenuh atau bosan, Gin justru selalu menemukan rasa baru setiap melakukannya hingga membuat lelaki itu candu. Juga Yura yang lebih berani mengekspresikan diri membuatnya semakin ingin dan ingin.Gin menoleh ke arah samping dan menyadari bahwa istrinya sudah tidak ada di ranjang ini. Saat itu juga Gin menyadari bahwa hari sudah pagi. Pria itu lantas menyambar ponsel yang di atas nakas untuk memeriksa waktu. Dan benar saja, su
Yura tak dapat menyembunyikan kepanikannya saat ini. Dahinya dipenuhi oleh keringat dingin dan bayangan mengerikan mengenai peristiwa buruk—meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi—terus menghantui kepalanya. Sepanjang perjalanan perasaannya tak dapat tenang. Ia hanya ingin segera bertemu dengan sahabatnya dan melayangkan ribuan pertanyaan yang tak sempat dia sampaikan saat panggilan tadi.Ketika tiba di rumah sakit, wanita itu langsung menuju unit gawat darurat. Kakinya setengah berlari, seolah tidak menyadari bahwa sedang membawa sebuah nyawa dalam perutnya. Tentu saja itu membuat Gin was-was. Pria itu berjalan di belakangnya, berusaha mengimbangi sambil memastikan istrinya berjalan dengan baik dan tidak kehilangan keseimbangan.Dalam jarak empat meter dari pintu masuk, Yura telah menemukan Erna berdiri seraya mendekatkan ponsel di telinganya, seperti sedang berusaha menghubungi seseorang. Namun, saat menyadari bahwa Yura telah berada di rumah sakit, wanita itu segera menjauhkan p
“Kenapa makanannya hanya diaduk seperti itu? Kalau tidak mau makan untuk apa dipesan?” Gin menatap lurus ke arah istrinya. Bukan tanpa sebab ia menegur. Lelaki itu sudah memperhatikan cukup lama. Sejak menu pesanan mereka disajikan di meja, Yura hanya mengaduk-aduk kuah bakso tanpa berniat menyantapnya. Perubahan raut wajah juga sudah ia sadari sejak Gin mengambil keputusan untuk mengeluarkan kartu debitnya dan melunasi semua biaya keperluan Katrina, mantan mertua Yura. Sejak saat itu, wanitanya ini lebih banyak diam.Pria berkaos hitam itu mengerti jika Yura tidak bisa menerimanya. Perbuatan Katrina terlalu jahat di masa lalu, rasanya tak perlu dibalas sedemikian baiknya. Pun sebenarnya Gin sendiri pernah dimanfaatkan. Namun, apakah membantu itu salah? Toh uang yang dikeluarkan oleh Gin sepadan dengan uang belanja Yura yang ia berikan setiap bulan. Entah apa yang membuat wanita itu berbeda. Hormon, kah? Bawaan bayi, kah? Atau memang Yura berubah karena sudah terlalu banyak menerima
["Kau sedang ada dimana, Gin? Kenapa terdengar riuh sekali?"] Gin menarik napas dalam-dalam saat mendengar pertanyaan sang ibu dari panggilan yang baru saja tersambung. Haruskah ia jujur sedang berada di rumah sakit? "Aku sedang di luar, Bu, bertemu dengan beberapa teman lama, ada apa?" tanyanya seraya beralih ke tempat yang lebih lengang. Lelaki itu memilih untuk keluar dari kafe tetapi masih bisa mengamati Yura dari balik pintu kaca. Pada akhirnya, berbohong adalah pilihan lelaki itu. Mungkin, jika ada malaikat yang sedang mencatat setiap dosanya, membohongi ibu adalah kesalahan yang paling banyak ia lakukan selama bertahun-tahun.["Apa sekarang kau bisa datang? Badanku rasanya tidak enak dan ... aku tidak punya teman. Bibi sedang pulang ke kampung halaman tiga hari. Tersisa aku dan beberapa satpam saja."]Gin menutup mata. Sebuah gulungan perih menyelinap masuk dalam rongga dadanya. Dia baru saja menyadari bahwa telah meninggalkan Sarah begitu lama. Sejak tinggal bersama Yura, i
“Bagaimana perutmu? Apakah masih mual?”Gin meletakkan tas kerjanya di atas kursi kosong—sebelum mendaratkan tubuhnya— berikut dengan ponsel pintar yang dipegangnya. Pria itu baru saja selesai bersiap untuk pergi bekerja. Sementara wanita yang ia ajak bicara sedang menyibukkan diri di depan penggorengan.Yura lantas menoleh sekilas ke arah Gin, kini pria itu sedang mengenakan jam tangannya. Bibir mungil wanita itu menguntai senyum saat melihat sang suami nampak gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam kebanggaannya. Juga dasi merah tak bermotif yang ia belikan beberapa waktu yang lalu.“Kalau aku tidak baik-baik saja tentu aku tidak akan berada di dapur ini,” jawab Yura seraya berjalan ke arah meja makan. Berikut menyajikan sepiring avocado toast dengan telur setengah matang di atasnya—menu sarapan favorit Gin. “Syukurlah kalau kau sudah membaik. Lalu, apa rencanamu hari ini? Mau pergi jalan-jalan?” Pria itu mengambil alat makannya dan mulai memotong roti. “Aku sedang malas p
Pukul dua belas siang, Yura telah sampai di rumah sakit. Sepertinya janjinya kepada Sherina tadi, ia menunggu di cafe. Yura memilih tempat yang sama saat ia makan bersama suaminya kemarin. Hanya saja, yang berbeda kali ini adalah menu yang ia pesan. Segelas lychee tea, sepiring kentang goreng sebagai camilan, dan satu porsi steak ayam sebagai menu makan beratnya. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin makan masakan italia itu meski ia tahu berbumbu lokal indonesia. Mungkinkah anak dalam perutnya itu juga menginginkan hal yang sama?Sampai saat ini Yura tidak tahu bedanya mengidam dan bukan. Pun ia jarang menginginkan sesuatu. Jika beberapa teman—termasuk Erna—pernah bercerita pengalaman mereka tentang ngidam, ia merasa tak ada kesamaan sama sekali. Mereka bilang biasanya ingin makan yang asam-asam, pedas, dan asin. Lalu ingin selalu manja dengan suami, disayang dipeluk, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, sejauh ini, Yura belum sampai di tahap tersebut. Ya, positif thingking saja belum.
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth