“Bagaimana perutmu? Apakah masih mual?”Gin meletakkan tas kerjanya di atas kursi kosong—sebelum mendaratkan tubuhnya— berikut dengan ponsel pintar yang dipegangnya. Pria itu baru saja selesai bersiap untuk pergi bekerja. Sementara wanita yang ia ajak bicara sedang menyibukkan diri di depan penggorengan.Yura lantas menoleh sekilas ke arah Gin, kini pria itu sedang mengenakan jam tangannya. Bibir mungil wanita itu menguntai senyum saat melihat sang suami nampak gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam kebanggaannya. Juga dasi merah tak bermotif yang ia belikan beberapa waktu yang lalu.“Kalau aku tidak baik-baik saja tentu aku tidak akan berada di dapur ini,” jawab Yura seraya berjalan ke arah meja makan. Berikut menyajikan sepiring avocado toast dengan telur setengah matang di atasnya—menu sarapan favorit Gin. “Syukurlah kalau kau sudah membaik. Lalu, apa rencanamu hari ini? Mau pergi jalan-jalan?” Pria itu mengambil alat makannya dan mulai memotong roti. “Aku sedang malas p
Pukul dua belas siang, Yura telah sampai di rumah sakit. Sepertinya janjinya kepada Sherina tadi, ia menunggu di cafe. Yura memilih tempat yang sama saat ia makan bersama suaminya kemarin. Hanya saja, yang berbeda kali ini adalah menu yang ia pesan. Segelas lychee tea, sepiring kentang goreng sebagai camilan, dan satu porsi steak ayam sebagai menu makan beratnya. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin makan masakan italia itu meski ia tahu berbumbu lokal indonesia. Mungkinkah anak dalam perutnya itu juga menginginkan hal yang sama?Sampai saat ini Yura tidak tahu bedanya mengidam dan bukan. Pun ia jarang menginginkan sesuatu. Jika beberapa teman—termasuk Erna—pernah bercerita pengalaman mereka tentang ngidam, ia merasa tak ada kesamaan sama sekali. Mereka bilang biasanya ingin makan yang asam-asam, pedas, dan asin. Lalu ingin selalu manja dengan suami, disayang dipeluk, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, sejauh ini, Yura belum sampai di tahap tersebut. Ya, positif thingking saja belum.
Di ambang pintu berbahan kayu jati Gin menghentikan langkah. Dua tangan di saku celana kini keluar dari persembunyiannya seiring dengan helaan napas yang meluncur bebas. Dulu, pintu utama ini menjadi tempat favorit untuk mengambil foto keluarga. Ayah, ibu, adik, dan dirinya sendiri, terkadang bersama opa dan omanya. Namun, sekarang bagai tempat terbengkalai yang tak pernah di sambangi. Perlahan, satu demi satu di antara mereka pergi, meninggalkan kenangan.Rumah ini besar, tetapi tak ada artinya. Rumah ini masih sangat kokoh. Bila dijual mencapai harga setengah triliun. Setiap fasad bangunannya dirancang tahan gempa dan digarap oleh puluhan arsitek berpengalaman. Sayang, percuma karena tak banyak penghuni. Hanya ibunya seorang diri yang masih setia berada di tempat ini, juga beberapa orang yang membantunya.Terkadang, ia merindukan kebersamaan itu. Jika bisa memutar waktu, Gin ingin kembali ke masa lalu. Saat semuanya masih bersama, saat semuanya masih baik-baik saja. Namun, itu h
“Gin? Kenapa diam saja?”Sarah menepuk pundak putranya yang kini mendadak pucat pasi. Wanita itu menatap dalam manik hitam milik Gin lekat-lekat. Sementara Gin masih mencoba mencari kalimat yang tepat untuk menjawab semua rentetan pertanyaan yang ditodongkan padanya.Apa yang harus ia katakan sekarang? Apakah ia harus jujur dengan sang ibu jika sekarang ia telah menikah dengan seorang wanita pilihannya? Belum! Gin Belum bisa jujur akan hal itu saat ini. Ia belum siap dengan kehancuran yang akan terjadi lebih parah dari sebelumnya.“Son?” Sarah bicara kembali. Wanita renta itu masih belum melepaskan pandangannya dari sang putra. Sebisa mungkin ia mengamati perubahan pada ekspresi wajah datanya “Apa ada yang kau tutupi dariku? Kenapa kau tidak jawab pertanyaan ibu?”Mendengar tuntutan itu, Gin segera menegakkan badan dan menyunggingkan sebuah senyum. Diraihnya tangan sang ibu dan digenggamnya lagi. “Tidak, ibu jangan menduga yang tidak-tidak. Oke, Gin jelaskan biar ibu tidak curiga teru
[Sepuluh panggilan suara tak terjawab.]Pemberitahuan tersebut tepampang nyata di layar ponsel saat Gin mengetuknya dua kali. Nama “My Wife” dalam kontak yang tertera membuatnya segera meraih ponselnya dan memeriksa puluhan notifikasi yang masuk. Ada pesan dari Yura yang bertanya mengapa ia tak mengangkat panggilan. Tampaknya wanita itu kecewa karena Gin tidak memegang ponsel. Selain Yura ada beberapa pesan dari Arkatama yang setuju akan bertemu di apartemen dan menunggu kedatangannya ke sana. Benda pipih itu sempat ia tinggalkan berjam-jam lamanya di kamar karena menemani sang ibu yang mendadak tantrum dan baru sempat ia buka saat ia berada di dalam mobil ini. Sebenarnya Gin ingin pulang lebih awal. Setelah makan malam ia sudah pamit untuk kembali, tetapi sifat kekanakan Sarah menahannya untuk tetap berada di rumah sampai wanita itu tertidur lagi. Hingga saat ini, pukul dua belas malam, ia baru bisa melepaskan tautan lengan sang ibu dari tubuhnya kemudian cepat-cepat membawa mobil
Kantuk sudah menguasai Yura, menenggelamkannya ke dalam alam bawah sadar. Entah sudah berapa lama ia menyelami alam mimpi. Wanita itu sendiri tidak tahu kapan tepatnya tertidur pulas. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah mengirim pesan kepada sang suami, kemudian melemparkan gawainya ke sisi ranjang dengan sembarang, setelahnya berusaha melelapkan diri dengan perasaan dongkol. Saat bergerak, punggungnya membentur sesuatu yang terasa keras. Beberapa detik kemudian ia sadar jika ada beban di atas perutnya, juga embusan napas teratur yang menerpa tengkuknya. Wanita itu lalu melebarkan mata dan menoleh ke arah samping. Gin sedang tidur, memeluknya. Kamar ini remang, tetapi dengan jelas, Yura melihat gurat lelah di wajah suaminya. Dengkuran yang tak terlalu keras sudah cukup menandakan bahwa lelaki itu kurang istirahat. Kapan pria itu pulang? Dan, sebenarnya apa yang dia kerjakan sampai larut seperti itu?Yura lalu melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi leb
"Apa yang harus aku dengar? Alasan? Pembelaan? Atau kebohongan lagi?"Yura meletakkan satu liter susu segar yang baru dia keluarkan dari dalam kulkas dengan cukup keras. Kaca yang terbentur dengan lempengan marmer itu belum mengutarakan rasa kesalnya kepada sang suami. Sejak awal ia sudah mengatakan tidak menyukai ketidakjujuran. Sekarang, Gin mengulanginya lagi.Tatapan wanita itu masih memburu manik hitam milik Gin, mencari sebuah kebenaran. Yura hanya mendapati sebuah ketakutan dan ruang kelam di sana. Mungkin masalah pagi ini hanya hal kecil yang sebenarnya tidak perlu diributkan atau dibuat panjang. Yura memang terkesan melebih-lebihkan. Akan tetapi, bukankah kebohongan besar berawal dari kebohongan kecil? Apa susahnya untuk jujur? Sekalipun mungkin kejujuran itu akan melukai hatinya, itu lebih ia maklumi daripada harus menutup-nutupi. Sementara Gin yang ditatap sedemikian rupa menegang. Inikah sisi lain Yura yang tak ia ketahui?"Tenang dulu. Duduk, dan biarkan aku bicara, ki
“Hari ini aku mau ke rumah sakit, ada jadwal pemeriksaan dengan dokter obgyn, apa kau bisa antar?”Yura meletakkan gelas tinggi yang berisi air di samping piring sarapan suaminya. Selanjutnya, ia melipat tangan seraya memperhatikan ekspresi wajah Gin, menunggu jawaban darinya. Pria itu sedang berkutat ponsel. Entah apa yang sedang dikerjakan, sejak duduk di kursi meja makan, tampaknya benda pipih itu lebih menarik ketimbang sepiring nasi goreng udang yang Yura sajikan.Cukup lama Yura menghitung detik. Akan tetapi tidak ada respon sama sekali, suaminya itu sepertinya juga tidak mendengar apa yang ia katakan tadi. Sampai akhirnya, ia melirik jam dinding dan memberanikan diri untuk menepuk lengan Gin. “Sudah hampir jam tujuh,” katanya membuat Gin terkesiap. Berikutnya, barulah lelaki itu meletakkan ponsel dan memandang sarapannya. Yura membuang napas panjang, bahkan Gin tidak bertanya apa yang ia ucapkan beberapa saat yang lalu, itu artinya lelaki itu memang tidak memperhatikan sama se