[Sepuluh panggilan suara tak terjawab.]Pemberitahuan tersebut tepampang nyata di layar ponsel saat Gin mengetuknya dua kali. Nama “My Wife” dalam kontak yang tertera membuatnya segera meraih ponselnya dan memeriksa puluhan notifikasi yang masuk. Ada pesan dari Yura yang bertanya mengapa ia tak mengangkat panggilan. Tampaknya wanita itu kecewa karena Gin tidak memegang ponsel. Selain Yura ada beberapa pesan dari Arkatama yang setuju akan bertemu di apartemen dan menunggu kedatangannya ke sana. Benda pipih itu sempat ia tinggalkan berjam-jam lamanya di kamar karena menemani sang ibu yang mendadak tantrum dan baru sempat ia buka saat ia berada di dalam mobil ini. Sebenarnya Gin ingin pulang lebih awal. Setelah makan malam ia sudah pamit untuk kembali, tetapi sifat kekanakan Sarah menahannya untuk tetap berada di rumah sampai wanita itu tertidur lagi. Hingga saat ini, pukul dua belas malam, ia baru bisa melepaskan tautan lengan sang ibu dari tubuhnya kemudian cepat-cepat membawa mobil
Kantuk sudah menguasai Yura, menenggelamkannya ke dalam alam bawah sadar. Entah sudah berapa lama ia menyelami alam mimpi. Wanita itu sendiri tidak tahu kapan tepatnya tertidur pulas. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah mengirim pesan kepada sang suami, kemudian melemparkan gawainya ke sisi ranjang dengan sembarang, setelahnya berusaha melelapkan diri dengan perasaan dongkol. Saat bergerak, punggungnya membentur sesuatu yang terasa keras. Beberapa detik kemudian ia sadar jika ada beban di atas perutnya, juga embusan napas teratur yang menerpa tengkuknya. Wanita itu lalu melebarkan mata dan menoleh ke arah samping. Gin sedang tidur, memeluknya. Kamar ini remang, tetapi dengan jelas, Yura melihat gurat lelah di wajah suaminya. Dengkuran yang tak terlalu keras sudah cukup menandakan bahwa lelaki itu kurang istirahat. Kapan pria itu pulang? Dan, sebenarnya apa yang dia kerjakan sampai larut seperti itu?Yura lalu melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi leb
"Apa yang harus aku dengar? Alasan? Pembelaan? Atau kebohongan lagi?"Yura meletakkan satu liter susu segar yang baru dia keluarkan dari dalam kulkas dengan cukup keras. Kaca yang terbentur dengan lempengan marmer itu belum mengutarakan rasa kesalnya kepada sang suami. Sejak awal ia sudah mengatakan tidak menyukai ketidakjujuran. Sekarang, Gin mengulanginya lagi.Tatapan wanita itu masih memburu manik hitam milik Gin, mencari sebuah kebenaran. Yura hanya mendapati sebuah ketakutan dan ruang kelam di sana. Mungkin masalah pagi ini hanya hal kecil yang sebenarnya tidak perlu diributkan atau dibuat panjang. Yura memang terkesan melebih-lebihkan. Akan tetapi, bukankah kebohongan besar berawal dari kebohongan kecil? Apa susahnya untuk jujur? Sekalipun mungkin kejujuran itu akan melukai hatinya, itu lebih ia maklumi daripada harus menutup-nutupi. Sementara Gin yang ditatap sedemikian rupa menegang. Inikah sisi lain Yura yang tak ia ketahui?"Tenang dulu. Duduk, dan biarkan aku bicara, ki
“Hari ini aku mau ke rumah sakit, ada jadwal pemeriksaan dengan dokter obgyn, apa kau bisa antar?”Yura meletakkan gelas tinggi yang berisi air di samping piring sarapan suaminya. Selanjutnya, ia melipat tangan seraya memperhatikan ekspresi wajah Gin, menunggu jawaban darinya. Pria itu sedang berkutat ponsel. Entah apa yang sedang dikerjakan, sejak duduk di kursi meja makan, tampaknya benda pipih itu lebih menarik ketimbang sepiring nasi goreng udang yang Yura sajikan.Cukup lama Yura menghitung detik. Akan tetapi tidak ada respon sama sekali, suaminya itu sepertinya juga tidak mendengar apa yang ia katakan tadi. Sampai akhirnya, ia melirik jam dinding dan memberanikan diri untuk menepuk lengan Gin. “Sudah hampir jam tujuh,” katanya membuat Gin terkesiap. Berikutnya, barulah lelaki itu meletakkan ponsel dan memandang sarapannya. Yura membuang napas panjang, bahkan Gin tidak bertanya apa yang ia ucapkan beberapa saat yang lalu, itu artinya lelaki itu memang tidak memperhatikan sama se
“Apa ibu melakukan aktivitas berat beberapa hari terakhir?”Yura mengerutkan dahi ketika seorang dokter perempuan sedang mengoleskan sebuah gel bening ke permukaan perutnya. Sensasi dingin dan suhu ruangan rendah berkombinasi membuatnya terasa menggigil di bagian itu. Detik berikutnya sebuah alat medis ditempelkan pada kulitnya yang lembab. Yura lantas menggeleng menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.“Tidak, Dok, aktivitas saya normal saja.” Rasanya juga demikian. Yura tidak mengerjakan hal berat sama sekali. Gin selalu melarangnya melakukan pekerjaan rumah. Saat pindahan kemarin Yura hanya bertopang dagu saja. Sisanya, Arkatama dan Gin yang mengurus semuanya. Mendengar jawaban Yura, dokter spesialis obgyn itu hanya mengangguk lalu segera menganalisa seraya menjelaskan apa saja yang ada pada layar monitor. Janin sudah terlihat. Rangka tubuhnya sudah mulai mengeras. Ada kaki dan tangan yang sudah terbentuk. Jadi, dua kaki mungil itu yang memberikan rasa-rasa aneh dalam per
“Terima kasih sudah mengantar pulang. Mau makan malam dengan apa? Biar aku buatkan.” Mobil yang dikemudikan Gin sudah berhenti tepat di depan halaman rumah mereka. Sebelum turun, Yura menoleh ke arah sang suami yang berada di kursi kemudi. Hanya sekadar memastikan keinginannya saja ingin menutup hari dengan makanan apa. Hari ini Gin menepati janjinya untuk menjemput di rumah sakit saat jam istirahat. Mereka juga menghabiskan sisa waktu yang ada untuk makan siang di sebuah restoran masakan Jepang. Maka, kemungkinan lelaki itu juga akan pulang seperti yang ia katakan. Gin berdeham. Lalu berpikir sejenak seraya menggumam. “Apa, ya? Menurutmu aku harus makan malam dengan apa?” tanyanya kepada sang istri. Wanita itu masih berada di posisinya menatap Gin dengan tatapan sendu. Tidak ada yang tahu makna apa dibalik tatapan tersebut. Bahkan mungkin dirinya sendiri tidak menyadarinya. “Aku beli galantin kemarin. Mau makan steak galantin? Um, tunggu, orang lain sering menyebutnya selat so
Sebuah piring besar berisi potongan galantin, sebuah piring lain berukuran senada berisi sayuran pelengkap yang direbus, dan satu mangkuk sedang berisi saus berwarna cokelat telah tersaji dengan rapi di atas meja.Yura sudah mempersiapkan makan malam ini dengan sebuah harapan Gin akan pulang dan menyantap hidangan itu bersamanya. Meski ia tidak tahu jam berapa lelaki tersebut akan tiba di rumah.[Gin, kau pulang jam berapa?] Dia mengirim pesan dan terkirim. Akan tetapi, sepertinya Gin terlalu sibuk seharian ini. Pesan yang ia kirimkan tadi siang saja belum terbaca sama sekali.Detik berikutnya ia beralih ke nomor Arkatama untuk mengirimkan pesan yang sama. [Pak Arka, apakah Tuan Gin belum selesai bekerja?] Wanita itu kemudian melirik ke arah jam dinding yang tergantung di ruang tengah, sejajar dengan posisinya saat ini. Sudah hampir pukul delapan malam. Seraya menghempas napas panjang, Yura mengusap perutnya. Wanita itu kemudian menunduk. "Ibu tidak tahu kapan ayah pulang, tapi ki
"Ibu sudah tidur, Tuan."Seorang perempuan paruh baya yang kerap di sapa 'Bibi' keluar dari sebuah kamar. Wanita berpakaian seragam pelayan itu menundukkan kepala saat Gin menindasnya dengan tatapan tajam. Dari celah pintu Gin melihat sang ibu terbujur lemah di atas ranjang. Ada selang oksigen yang pasangkan pada dua lubang hidungnya.Gin baru saja tiba di rumah utama. Saat perjalanan ke rumah sakit ia mendapatkan kabar bahwa sang ibu telah dibawa pulang sehingga mau tidak mau ia harus memutar arah dan pergi ke rumah ini. Ada Yurika di sana, tetapi hanya diam mengamati dan menerka apa yang akan terjadi. "Bisa jelaskan semuanya, Bi? Ibu tidak mungkin sesak napas jika tidak ada kabar yang mengejutkannya. Kabar buruk apa yang didengar ibu malam ini?" "Arya!" peringat Rika seraya menahan lengan Gin yang mulai mengeras."Maaf, Tuan. Saya sendiri tidak tahu Ibu terkejut karena hal apa. Saya habis mencuci alat masak untuk makan malam, tiba-tiba saya mendengar ibu meminta tolong dan sudah