Sejak malam itu, senyum Yura rasanya tidak lagi sama. Ia sedang mencoba bersikap biasa saja meski hatinya masih kecewa. Gin paham itu. Namun, apa yang harus ia lakukan jika setiap kali membuka pembicaraan dan meminta maaf, wanita itu selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja? Seperti pagi ini, Gin sudah berusaha mengajaknya berdialog, akan tetapi Yura tetap mengatakan bahwa dirinya tidak marah dan sudah memaafkan Gin. Asal benar begitu adanya maka tak apa, sayangnya yang menjadi masalah adalah wanita itu tidak kembali ceria seperti biasanya. Ketika sarapan Yura selalu melayaninya, menawarkan dan mengambilkan menu yang Gin minta. Kali ini tidak demikian. Yura hanya menyiapkan sepiring nasi dan membiarkan Gin memilih sendiri makanan yang dimau. Bekal makan siang pun hanya diletakkan di atas meja makan. Istrinya itu lebih memilih sibuk di ruang cuci pakaian—padahal biasanya mencuci adalah pekerjaan yang tidak mendesak. Bahkan sampai dirinya berpamitan kerja pun Yura masih terpaksa
“Pak Arya, kita perlu bicara.” Seorang wanita muda keluar dari sebuah kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Dokter Arum, spesialis yang menangani penyakit ibunya. Wanita itu lantas berjalan menghampiri Gin yang tengah menyandarkan punggungnya pada sebuah dinding. Lelaki itu membuang napas dengan bibirnya bersamaan dengan jarinya yang mengutak-atik layar ponsel, entah apa sebabnya. Saat dokter tersebut sudah hampir tiba di hadapannya, Gin segera menghentikan aktivitas dan menyimpan ponsel. “Sudah selesai?” Dokter Arum menganggukkan kepala, dua netranya menatap lelaki itu dengan lekat, kemudian memberikan kode kepada Gin mereka harus membiarakan masalah ini empat mata dan jauh dari kamar ibunya. Gin yang paham dengan tatapan itu lantas membuat jarak dengan sandarannya selanjutnya berjalan ke arah sebuah ruangan di lantai bawah. “Jadi, apa yang terjadi dengan ibu?” tanya lelaki itu setelah mereka sama-sama mendaratkan tubuh di sofa berbahan kulit lembu itu. Dokter Arum menghela
Usai menikah, Yura berpikir hidupnya akan indah, seperti pasangan suami istri yang sewajarnya. Setelah mereka meresmikan hubungan ia pikir hidupnya akan penuh cinta, seperti yang pernah dijanjikan kepadanya. Namun, apakah ekspektasinya terlalu tinggi? Empat hari ini komunikasinya dengan Gin berantakan. Lelaki itu pulang saat Yura sudah lelap dan pergi sebelum Yura selesai menyajikan sarapan. Mereka saling bertukar geming. Percakapan mereka hanya seputar air panas untuk mandi, dasi yang tak ditemukan, dan kata pamit untuk bekerja di pagi hari. Ingin mencoba mengerti dan memahami keadaan suaminya yang mungkin sedang serius menangani suatu hal berat. Akan tetapi, apakah tidak bisa menyisihkan waktu sedikit saja untuknya? Mungkinkah lelaki itu lupa bahwa ada seseorang yang menunggunya setiap malam? Ada seseorang yang menunggu kepulangannya, selalu.Sampai saat ini, ia sendiri tidak tahu yang perasaan yang sedang bermukim di dadanya ini adalah kecewa, ataukah hanya rindu belaka. Atau jus
Pintu kamar utama sudah tertutup rapat. Usai percakapan mereka di kolam ikan tadi, Yura telah menyiapkan setelan pakaian di ruang setrika lengkap dengan baju kerja yang akan dikenakan Gin esok hari. “Yura?”Gin —yang baru saja mandi—lantas mencoba mengetuk pintu tetapi tidak ada respon. Detik berikutnya ia mencoba menekan gagang metal dan mendorong papan berbahan kayu jati itu. Ia pikir akan terkunci, akan tetapi pintu itu terbuka lebar dengan mudahnya. Hal itu membuat Gin mengerutkan dahi, apa maksudnya? Yura mengatakan bahwa ia tak ingin tidur sekamar dengannya malam ini tetapi mengapa kamar mereka tidak dikunci? Saat melihat ke arah ranjang, dua netranya menangkap tubuh seorang perempuan sedang meringkuk nyaman. Posisinya memunggungi pintu dan tak bergerak sedikit pun. Daru kejauhan ia melihat pergerakan tubuh wanita itu dengan teratur. Sepertinya sudah lelap.Setelah berulang kali membuang napas panjang dan mengumpulkan niat, pada akhirnya Gin melangkah dan menghampiri ranjang.
Yura meletakkan secangkir teh mawar yang baru saja ia cerup di meja. Wanita itu sedang menyibukkan diri untuk membaca dan belajar di ruang tengah. Ilmu parenting dalam mengurus anak yang ternyata selama ini banyak kekeliruan dan metode-metode yang belum banyak diterapkan oleh kebanyakan masyarakat umum. Seperti pentingnya sleep training atau melatih bayi untuk tidur sendiri ketika berusia 4-6 bulan. Hal ini untuk meningkatkan kualitas tidur bayi dan juga orang tua. Ya. Ya. Yura pernah mendengar semua rekan kerja—yang sudah memilki anak— bercerita tentang pengalaman mengurus bayi yang baru lahir. Kebanyakan dari mereka memiliki jadwal tidur yang berantakan setelah melahirkan. Bahkan ada yang sampai mengalami stress ringan. Sleep training adalah salah satu cara mengatasinya. Menarik. Pengetahuan baru tersebut semakin membuatnya sadar betapa banyak ilmu tak ia miliki selama ini. Mungkin itu juga sebabnya mengapa Yura belum bisa memiliki anak bersama Rama—dahulu. Selain belum siap akan
“Kau tahu proyek Saint Martha Hospital?” Yura mengangguk cepat ketika Erna memberikan pertanyaan itu. Jelas dirinya tahu, itu salah satu usaha properti rumah sakit yang dibangun oleh Satwika Group. Sebelum naik jabatan menjadi sekretaris, Yura dan Erna mengurus masalah pembiayaan banyak proyek, termasuk Saint Martha Hospital tersebut. Lalu, setelah dekat dengan Gin dan menikah dengannya ia baru menyadari bahwa Saint Martha diambil dari nama bundanya. “Proyek itu seharusnya selesai tahun ini, tetapi pengerjaannya di lapangan selalu terlambat. Pak Arya akhirnya kunjungan ke sana tanpa penjadwalan, tanpa memberitahu siapa pun, lalu menemukan para pekerja di sana tidak melakukan apa-apa. Lalu ini berkembang menjadi kecurigaan dan kita menemukan akar masalahnya, Bu Dina, Vice Presdir, terbukti korupsi hingga belasan milyar.”Tentu saja kabar ini membuat Yura terkejut, sangat. Dia juga ingat ketika suaminya mengatakan akan melakukan kunjungan proyek usai menjemputnya dari rumah sakit beb
“Erna?” Yura bertanya lagi ketika wanita di hadapannya hanya menunduk dan tidak menjawab pertanyaan, sementara di kepalanya telah berkembang banyak pikiran negatif yang tak bisa ia benarkan sendiri. Apa yang terjadi sebenarnya? Masalah apa lagi yang dihadapi suaminya? Mengapa ia tak tahu apa pun tentang segala kesulitan yang dialami oleh Gin?Erna menggigit bibirnya, meremas jemarinya seolah mengumpulkan sebuah tenaga, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Yura. “Yura, aku harus menyampaikan ini karena mungkin kedepannya aku tak akan selalu di dekatmu. Mas Ardi naik jabatan lagi, dia diangkat menjadi Direktur Cabang tapi harus dipindah tugaskan di luar kota.”“Tunggu,” ujar Yura seraya mengangkat tangan sebatas dada, selanjutnya menggelengkan kepalanya, “maksudnya kau akan pindah? Hah?”“Ya, begitu.” Erna menganggukkan kepala sebelum membuang napas panjang. Wanita itu berusaha mempertahankan bola matanya agar tak meluncurkan serangan air mata.“Kemana?”“Jogja.”“Jadi, sebenarnya kau
Tepat pukul empat sore, sebuah mobil SUV hitam masuk ke halaman rumah dan terparkir di depan sebuah garasi. Usai mesinnya mati, sang pengendara lantas turun dari sana seraya menenteng sebuah tas kerja dan juga satu buket bunga mawar merah yang dipesan tadi siang. Gin menerbitkan sebuah senyum, mengamati kelopak mawar yang segar itu sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah.Entah mengapa suasana hatinya sedang baik kali ini. Seharian penuh ia mencoba sabar dan menahan amarah, juga sedikit mengesampingkan masalah yang seminggu ini memusingkan pikirannya. Walau itu tak sepenuhnya membuat pekerjaannya kembali seperti semula tetapi ia rasa cukup efektif untuk menjauhkan energi negatif dari tubuhnya sementara.Saat membuka pintu utama, Gin sudah melihat istrinya berada di ruang tengah. Wanita yang tengah berbadan dua itu sedang duduk di sebuah sofa sembari menonton sebuah serial drama yang kebetulan juga sering di tonton sang ibu. Sarah menonton satu episode setiap malam sebelum tidur. Se