Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
“Jangan, Bu! Aku tidak mau!”Yura meronta sekuat tenaga ketika pergelangan tangannya ditarik paksa oleh sang mertua.Lima tahun setelah suaminya koma, berkali-kali ia menolak paksaan Katrina untuk menjadi wanita penghibur di sebuah club malam milik salah seorang temannya. Namun, perlawanan itu tampaknya berakhir sia-sia hari ini.Mertua Yura sudah habis kesabaran, hingga tubuh ramping wanita cantik itu kini tak mampu menandingi kekuatannya. “Jangan buang-buang waktu!” bentak Katrina, "anggap saja ini bukti tanggung jawabmu sebagai istri, Yura."Tanpa peduli tangan Yura yang telah memerah, Katrina memaksa untuk melewati kerumunan, Kehadiran mereka yang begitu ricuh tentu menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Hanya saja, lebih banyak orang yang tidak ingin tahu dan lebih memilih asik berjoget di bawah kerlip lampu yang menyilaukan mata. “Aku tidak mau, Bu! Aku janji akan cari uangnya secepat mungkin! Tapi aku mohon jangan paksa aku bekerja di sini!” Yura kembali berusaha melawa
“Tamuku akan datang satu jam lagi. Hapus riasanmu lalu mandilah! Pastikan tubuhmu benar-benar bersih dan wangi! Aku tidak mau tamuku kecewa malam ini. Setelah kau siap, pakailah baju itu!” Yura menelan ludahnya ketika Madam Lily menunjuk baju yang tergantung rapi pada sebuah besi alumunium. Entah baju mana yang dimaksud oleh sang mucikari. Dua indera penglihatannya hanya menangkap sebuah baju hitam kurang bahan tergantung tanpa teman di sana. Baju yang mungkin lebih pantas disebut dengan lingerie."Apakah aku akan menggunakan baju itu?" batinnya.Yura sendiri tak berani bertanya. Satu hal yang pasti, baju itu tak akan membuatnya nyaman. Bagian dada terbuka lebar dan paha yang terekspos bebas. Bahkan sepertinya tidak ada gunanya memakai baju tersebut. Melihat ekspresi Yura yang tampak tercengang, Madam Lily lantas menggelakkan tawanya. Wanita yang tengah mengenakan gaun hitam itu mendekat ke arah Yura. “Kenapa melamun? Pakaian seperti itu tidak tabu lagi di tempat ini. Sudah aku bila
“Sa—Saya baru pertama kali melakukan pekerjaan ini, Tuan. Maaf,” ucap Yura kala berhasil mengendalikan desiran aneh tersebut.Namun, dia kembali menegang saat merasakan tubuh pria itu mendekat dari belakang. Dua tangan lelaki itu menelusup di pinggang rampingnya, terasa berotot dan kekar saat kulit mereka bersentuhan. Pikiran Yura berkelana. Seperti apa lelaki berjuluk Tuan Gin itu? Sebelumnya, dalam bayangan Yura, pria itu begitu tua. Rambut putih, kulit keriput dan tubuhnya kurus kering, seperti kakeknya dahulu. Namun sepertinya dugaan itu terlalu jauh. Meski tak bisa melihatnya, Tuan Gin yang berada di belakangnya saat ini sepertinya jauh berbeda. Karena tak mungkin bila seorang pria tua memiliki postur tubuh kekar yang terasa masih bugar. Yura menebak saat dada bidang lelaki itu menempel pada punggungnya. Ah, siapapun orang itu ia hanya berharap bahwa kegiatan mereka ini akan usai secepatnya! “Siapa namamu?”“Saya .... Yura.”“Yura .... Perempuan bersuami yang ingin menjua