“Tamuku akan datang satu jam lagi. Hapus riasanmu lalu mandilah! Pastikan tubuhmu benar-benar bersih dan wangi! Aku tidak mau tamuku kecewa malam ini. Setelah kau siap, pakailah baju itu!”
Yura menelan ludahnya ketika Madam Lily menunjuk baju yang tergantung rapi pada sebuah besi alumunium. Entah baju mana yang dimaksud oleh sang mucikari. Dua indera penglihatannya hanya menangkap sebuah baju hitam kurang bahan tergantung tanpa teman di sana. Baju yang mungkin lebih pantas disebut dengan lingerie."Apakah aku akan menggunakan baju itu?" batinnya.Yura sendiri tak berani bertanya. Satu hal yang pasti, baju itu tak akan membuatnya nyaman. Bagian dada terbuka lebar dan paha yang terekspos bebas. Bahkan sepertinya tidak ada gunanya memakai baju tersebut.Melihat ekspresi Yura yang tampak tercengang, Madam Lily lantas menggelakkan tawanya. Wanita yang tengah mengenakan gaun hitam itu mendekat ke arah Yura. “Kenapa melamun? Pakaian seperti itu tidak tabu lagi di tempat ini. Sudah aku bilang sebelumnya. Jika kau ingin bekerja padaku maka kau harus buang jauh-jauh rasa malu juga harga dirimu.”Helaan napas panjang terdengar dari Yura. Wanita itu tahu apa yang akan terjadi setelah menyetujui tawaran Madam Lily, hanya tidak terbiasa menggenakan baju-baju seksi semacam ini. Sebelumnya ia selalu mengenakan pakaian tertutup. Dengan Rama pun ia tak pernah seberani itu.“So, ini pilihanmu dan kau harus melakukannya. Atau berubah pikiran? Jika iya, maka kau harus menerima kenyataan untuk menjadi janda besuk pagi. Ah, aku tidak membayangkan bagaimana dokter melepas alat-alat yang digunakan Rama, lalu kau harus menyaksikan suamimu meregang nyawa—”“Cukup, Madam!” teriak Yura seraya menutup kedua telinganya serentak. Ia tak ingin teman ibu mertuanya itu melanjutkan kalimatnya. Tak akan ia ijinkan doa buruk terucap untuk suaminya. Tidak akan pernah. Yura lantas menatap Madam Lily dengan sebuah keyakinan yang terpancar dari kedua manik hitamnya.“Aku akan melakukannya!”
Wanita bergincu tebal itu tersenyum miring.Dia kemudian menyerahkan sebuah kain hitam selebar sepuluh centimeter kepada Yura. "Pakai!" titahnya kemudian.
"Tapi—""Cepat pakai saja tidak usah banyak bertanya! Tutup matamu dengan kain itu!" Madam Lily berseru kembali dengan nada yang lebih tinggi. Yura pun langsung melaksanakan perintahnya. Dengan perlahan, membebat kedua matanya dengan kain hitam itu.Seketika, hanya gelap yang bisa ia lihat. Seakan semua lampu terang yang ada di hadapannya tadi serentak padam.Madam Lily lantas mengibas tangan di depan wajah Yura memastikan bahwa pekerja barunya itu benar-benqr tak bisa melihat. “Sebelum tamuku datang, kau akan aku kirim ke sebuah kamar. Setelah kau berada di sana kau harus tetap mengenakan penutup mata ini. Ingat, jangan sampai kau melepasnya, apalagi mengintip! Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup!” tegas Madam Lily lagi.Tenggorokan Yura semakin terasa kering. Otaknya mendadak buntu. Tidak ada hal yang ia lakukan selain diam dan menurut. Memangnya siapa orang yang akan menjadi tamu spesial itu? Apakah pejabat ternama? Apakah pria kaya raya? Atau siapa? Lalu, mengapa Yura harus menggunakan penutup mata seperti ini?“Yang datang kali ini adalah tamu spesial, juga donatur besar untuk club ini. Jadi, kau harus bisa kuandalkan! Atau kau akan tahu konsekuensinya jika melanggar!” ujar Madam Lily seolah tahu apa pertanyaan yang sedang berputar di kepala Yura.“Jika begitu, kenapa tidak mengambil yang lain? Maksudku, yang lebih handal saja? Aku bahkan belum berpengalaman sama sekali. Aku takut jika aku justru mengecewakanmu, Madam,” jawab Yura dengan terbata-bata.Madam Lily tertawa beberapa saat sebelum merespon pertanyaan dari Yura. “Tarif semalam hanya sekitar dua juta. Paling mahal sepuluh juta untuk pekerja baru dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Memangnya kau mau melayani empat puluh tamu dalam semalam, kalaupun aku memberikan harga mahal atas tubuhmu ini, hm?” “Tentu kau tidak mau, bukan? Aku sudah berbaik hati sebab kau adalah menantu Katrina, temanku. Seharusnya kau harus berterima kasih kepadaku, Manis! Malam ini aku punya tamu yang kemungkinan mau membelimu dengan harga empat ratus juta.”Yura menganggukkan kepala. Selanjutnya wanita itu menggerakkan tangannya meraba meja rias di hadapannya. Sekadar mencari pegangan ketika kepalanya mulai terasa berkunang-kunang di kegelapan. “Ka—kalau boleh tahu, siapakah tamu yang akan aku temui? Setidaknya agar aku tahu bagaimana cara bersikap kepadanya, Madam.”Madam Lily terdengar menghela napas panjang. Lalu berkata, “Namanya Tuan Gin, kau bisa memanggilnya begitu."Tuan Gin?Nama yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Meski begitu, Yura menganguk pelan mencatat baik-baik nama itu dalam kepalanya."Tuan Gin tidak suka jika badan wanita yang akan bertemu kotor, maka dari itu kau harus memastikan tubuhmu benar-benar bersih dan wangi. Untuk minuman, dia hanya mau Wine dengan merk tertentu, aku sudah siapkan di bar mini pada kamarnya. Jika kedepannya kau diminta untuk bertemu lagi, sediakan saja salah satu sebelum dia datang. Lalu, satu lagi yang harus kau ingat, Tuan Gin suka dengan wanita penurut. Apa kau paham semua kata-kataku tadi?”Sebuah anggukan pelan diberikan oleh Yura sebagai tanda mengerti.“Bagus!” Madam Lily mengurai dekapan tangannya. Wanita itu lantas berjalan ke arah sebuah kabinet dan mengambil segelas wine yang terletak di sana. Dicerupnya gelas itu beberapa kali dan menatap kembali ke arah Yura dengan seksama. Sementara Yura tak ingin berkomentar, masih menunggu penjelasan lanjutan dari Madam Lily.“Ruangan yang akan kau datangi itu dibuat khusus untuk Tuan Gin. Ada sebuah bel yang akan berbunyi tiga kali sebelum kedatangannya. Tidak peduli kau sedang apa, tetapi ketika mendengar tanda itu segeralah bersiap dan pastikan sudah gunakan penutup mata ini. kuharap kau bisa menyesuaikan. Begitu juga saat pergi, Tuan Gin akan membunyikan bel setelah beliau keluar ruangan. Jadi, kau boleh melepas penutup mata itu setelah mendengar bel berbunyi. Jika belum ada jangan sekali-sekali kau membukanya! Kau paham bagian ini?”Yura mengangguk lagi, meski dalam hatinya tersimpan banyak keraguan. Mengapa harus serumit itu untuk melayani Tuan Gin? Karena yang ia tahu bekerja sebagai wanita penghibur justru harus menggoda dan liar juga bertatap muka langsung dengan kliennya. Tetapi untuk kali ini Yura malah diminta untuk menutup mata dan menjadi wanita yang penurut.“Apakah ada lagi yang harus aku lakukan?” tanya Yura kemudian.Kekehan Madam Lily menguar lagi. Wanita itu nampaknya sangat gemar tertawa. “Tentu saja, Manis. Empat ratus juta dalam semalam itu tidak sedikit. Aku rasa tidak perlu aku jelaskan tentang apa yang harus kau lakukan sebagai wanita penghibur!”“Wine sudah siapkan di atas meja. Pelumas juga selalu aku sediakan di laci. Lalu obatmu bisa kau ambil di kotak kecil di samping bar. Jangan lupa diminum setelah berhubungan kalau kau tidak ingin mengandung!”
Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Madam Lily sebelum meninggalkan Yura sendirian di dalam kamar, menunggu kedatangan Tuan Gin.Hanya suara geming dan detakan jantungnya yang mengisi ruangan. Yura meremas kain di bawahnya sebagai pelampiasan atas rasa takut yang merayap di dalam dirinya.
Masih segar diingatan bagaimana intruksi Madam Lily beberapa waktu yang lalu. Tidak boleh melepas penutup mata sebelum melayani tamu spesialnya. Sementara ia tak tahu berapa lama ia akan diam di sana.Ceklek!
Suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mantap seketika memenuhi ruangan.
Yura tidak melihat siapa yang masuk, tetapi aroma parfum maskulin yang menyengat membuatnya yakin bahwa Tuan Gin sudah tiba.
Nyalinya bertambah semakin menciut, ketika dehaman suara berat terasa dekat.
“I'm here!” Suara bariton itu menyapa, begitu dekat di telinga dan seketika tubuhnya meremang. “Calm down! Tidak perlu gugup seperti itu.”Lelaki itu mengusap jemari milik Yura tanpa aba-aba meninggalkan desiran aneh yang bahkan tak pernah Yura rasakan dengan suaminya....!
“Sa—Saya baru pertama kali melakukan pekerjaan ini, Tuan. Maaf,” ucap Yura kala berhasil mengendalikan desiran aneh tersebut.Namun, dia kembali menegang saat merasakan tubuh pria itu mendekat dari belakang. Dua tangan lelaki itu menelusup di pinggang rampingnya, terasa berotot dan kekar saat kulit mereka bersentuhan. Pikiran Yura berkelana. Seperti apa lelaki berjuluk Tuan Gin itu? Sebelumnya, dalam bayangan Yura, pria itu begitu tua. Rambut putih, kulit keriput dan tubuhnya kurus kering, seperti kakeknya dahulu. Namun sepertinya dugaan itu terlalu jauh. Meski tak bisa melihatnya, Tuan Gin yang berada di belakangnya saat ini sepertinya jauh berbeda. Karena tak mungkin bila seorang pria tua memiliki postur tubuh kekar yang terasa masih bugar. Yura menebak saat dada bidang lelaki itu menempel pada punggungnya. Ah, siapapun orang itu ia hanya berharap bahwa kegiatan mereka ini akan usai secepatnya! “Siapa namamu?”“Saya .... Yura.”“Yura .... Perempuan bersuami yang ingin menjua
"A--apa?" Alih-alih menjawab, Yura justru merasakan Tuan Gin duduk di bibir ranjang dan menarik tubuhnya di atas pangkuan pria itu! Hal ini sontak membuat Yura menahan degup jantungnya. Dia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut. Ruang geraknya tak bebas dan kedua matanya masih tertutup rapat. “Tugasmu hanya satu, melayaniku setiap malam dan tinggal di apartemenku. Kau masih boleh bekerja dan melakukan aktivitasmu seperti biasanya. Tetapi setelah itu, kau harus kembali menungguku pulang. Yang terakhir, kau harus menggunakan penutup mata seperti ini ketika bertemu denganku.”Jantung Yura bagai terhenti sepersekian detik. Bibirnya hampir menganga mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan pria itu. Butuh keberanian untuk melakukannya sebab menjadi istri kontrak adalah berkhianat dengan Rama. Juga, mental dan hati sekuat baja karena tak boleh melibatkan perasaan selama berhubungan dengan sang Tuan. Yang lebih sulit harus mau dicampakkan kapanpun lelaki itu jenuh da
Sayangnya, Yura tak menemukan jawaban.Jadi, pagi-pagi buta, wanita itu bergegas menuju rumah sakit untuk menjernihkan pikiran. Dia juga ingin meminta keringanan dan tambahan waktu kepada pihak rumah sakit. Tawaran yang diberikan Tuan Gin dijadikan pilihan terakhir tatkala benar-benar tak punya kesempatan. Yura masih ingin mengusahakan membayar semua biaya sang suami dengan cara yang halal. “Mana uang yang kau dapatkan semalam? Kita harus segera membayarnya di kasir!” Deg!Katrina ternyata ada di ruangan sang suami. Mertuanya itu kini menyodorkan telapak tangan, menanti sang menantu memberikan segepok uang atau mungkin selembar cek bertuliskan angka empat ratus juta. Hal ini jelas membuat Yura menunduk. Katrina lantas mendecakkan bibirnya. “Malah menunduk! Cepat mana uangnya, Yura!” tuntutnya kembali dengan tangan yang masih terbuka dihadapannya. Sayang, nada keras itu hanya dihadiahi bungkaman bibir oleh menantunya. Kesabarannya mulai terkoyak hingga semakin naik pitam.“Jan
16A02 Sudah tiga kali Yura mencocokkan nomor yang tergantung pada papan pintu berwarna hitam itu dengan pesan text yang dikirimkan pada ponselnya. Tidak ada yang salah, semua angka dan hurufnya sama. Hanya saja, wanita itu tak memungkiri bahwa apartemen ini terlalu mewah untuknya. Mimpi apa ia sampai bisa menginjakkan kaki ke tempat ini? Sungguh, ia merasa bagai rakyat kecil yang sedang menginjak istana raja. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Tuan Gin bukanlah orang biasa sepertinya. “Dengan Ibu Yura?”Wanita berambut sebahu itu spontan membalikkan badan dan menemukan Seorang pria berstelan jas hitam tengah berdiri di hadapannya dengan sebuah senyum yang tersimpul tajam. Tangan kanannya membawa sebuah map kain berwarna hitam dengan bendelan kertas di atasnya. Seolah menyadari kebingungan Yura, pria itu mengulur tangan untuk dijabat. “Saya Arkatama, pengacara Tuan Gin,” ujarnya membuat Yura lantas menganggukkan kepala kemudian menjabat tangan pria itu. “Tuan Gin mengutus say
Drrt!Nada ponsel menyadarkan Yura yang baru saja mandi dari lamunan. Ternyata itu telepon dari Ibu mertuanya.Namun baru saja panggilan itu tersambung, wanita tua itu langsung berteriak, [Ini sudah hampir petang! Mana uangnya kenapa juga tak kau berikan padaku?] “Masalah uang sudah diurus Tuan Gin dan langsung dibayarkan ke rumah sakit,” jawab Yura sesuai dengan isi perjanjian kontraknya dengan Tuan Gin yang menyebutkan pembayaran sesuai dengan tagihan dan melalui rekening rumah sakit.["Apa? Mereka yang membayar?"] Katrina berdecak kesal. ["Kau ini bagaimana? Kenapa bukan kau saja yang memegang uangnya dan menyerahkan padaku? Jika mereka tak membayar pada rumah sakit, kau harus bertanggung jawab!"] "Tapi kesepakatanya dalam kontraknya begitu, Bu, uangnya akan langsung masuk ke rekening rumah sakit setiap bulan dan rumah sakit akan menagihnya kepada Tuan Gin. Jadi, aku tidak memegang uang sama sekali dan kita tidak perlu memikirkan biaya lagi. Mungkin ibu bisa bertanya ke bagian a
"Ahh .... Gin!” Entah bagaimana ciuman tadi memanas. Sentuhan keduanya juga semakin liar, hingga erangan mulai bersahutan menggema ke seluruh ruangan. "Shit! Kau begitu sempit!” umpat pria itu sembari terus bergerak di atas Yura.Hal ini membuat Yira memeluk erat Gin. Jemarinya bahkan mencengkram punggung kekar itu sekuat tenaga kala merasakan gelombang kenikmatan bertubi-tubi. Namun, Tuan Gin tak menegurnya. Pria itu malah mengungkung tubuh di bawahnya begitu rapat, hingga akhirnya bergabung dengan pelepasan yang lebih dulu dilakukan oleh Yura. Deru napas terengah-engah menjadi satu-satunya irama yang terdengar selain detak jam yang tergantung pada dinding. Dua insan yang terikat perjanjian itu saling mendekap, sembari fokus mengatur napas tak beraturan, menyurut keringat yang bercucuran. “Kau tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik dari ini,” bisik lelaki itu dengan suara berat. Dada bidangnya terasa lebih dekat. Daging kenyal dan dingin itu menempel sesaat pada b
“Maaf, Bu Yura, tetapi ibu sudah terlambat lebih dari tiga kali, ibu harus meminta izin kepada personalia agar saya bisa mempersilakan ibu masuk. Silakan melapor dahulu, bila sudah berikan kepada saya keterangannya.” Yura menghela napas kasar mendengar ucapan satpam kantornya. Dia akui, setelah malam bersama Gin dan overthinking, dirinya telat bangun. “Tapi, Pak. Ini masih kurang lima menit dan saya seharusnya masih bisa masuk ke kantor!” “Saya juga sudah menghubungi mereka, tapi tidak direspon, Pak. Sementara pagi ini saya harus meeting dengan manajer dan saya harus menyiapkan materi meetingnya. Tolong, bantu saya sekali saja," mohonnya lagi.“Tidak bisa, Bu, jika saya mengijinkan ibu masuk, maka saya yang akan kena marah. Silakan melapor dahulu dan saya bukakan gerbangnya.” Alih-alih hatinya luluh, kepala satpam itu tetap teguh dengan pendiriannya. Yura lantas kembali menghubungi rekan satu divisinya, juga orang-orang bagian personalia. Sayang, semua nomor yang ia hubungi tid
“Tapi, dia sering terlambat, Pak.” Yura yang baru tiba di ruangan kebesaran Arya tak sengaja mendengar percakapan kedua atasannya. Meski tak tahu detailnya, Yura yakin bahwa itu pasti berkaitan dengan dirinya. Cemas, resah, gelisah, semuanya kini bercampur menjadi satu! Tidak biasanya ia dipanggil ke ruang sang Presdir. Apakah yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah ia akan dipecat seperti sekretaris sebelumnya? “Sesuai dengan data, Yura empat kali terlambat di jam yang sama, dua diantaranya lebih dari pukul delapan, dan dua kali ijin setengah hari. Menurut saya, ini bisa mempengaruhi kinerja rekan dan divisi yang lain.” Yura menunduk ketika sang manajer personalia terang-terangan mengadu kepada pimpinan utama mereka. Memangnya ia bisa berkata apa? Semua data yang disajikan benar adanya. “Hari ini saya juga mendapatkan laporan, Saudara Yura terlambat lagi. Ini sudah kesekian kalinya saya menegur, Pak. Tetapi tidak diindahkan,” sambung manajer itu lagi. Yura tidak menyan
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth