Sayangnya, Yura tak menemukan jawaban.
Jadi, pagi-pagi buta, wanita itu bergegas menuju rumah sakit untuk menjernihkan pikiran.
Dia juga ingin meminta keringanan dan tambahan waktu kepada pihak rumah sakit.
Tawaran yang diberikan Tuan Gin dijadikan pilihan terakhir tatkala benar-benar tak punya kesempatan.
Yura masih ingin mengusahakan membayar semua biaya sang suami dengan cara yang halal.
“Mana uang yang kau dapatkan semalam? Kita harus segera membayarnya di kasir!”
Deg!
Katrina ternyata ada di ruangan sang suami.
Mertuanya itu kini menyodorkan telapak tangan, menanti sang menantu memberikan segepok uang atau mungkin selembar cek bertuliskan angka empat ratus juta.
“Jangan bilang kau tak mendapatkan uang itu?”
“Aku .... Aku belum dapat uangnya, Bu,” jawab Yura dengan nada lemah.
“ASTAGA!” Katrina membuang napas kesal. Barisan giginya mulai bergemertak dan jari-jarinya kembali mengepal sempurna. Bola matanya menajam menghunus Yura begitu dalam. “Bagaimana bisa kau tidak mendapatkan uang itu, ha? Apa kau tidak berpikir, ini hari terakhir rumah sakit memberikan kesempatan?!”
“Rencananya, aku akan bicara dengan pihak rumah sakit dulu, Bu. Aku akan meminta keringanan dan tambahan waktu kepada mereka, lalu aku akan meminjam uang di bank lain dengan menjaminkan sertifikat rumah,” jelas Yura kembali berharap sang mertua memahami. Wanita itu masih belum berani beradu tatap dengan Katrina.
“Dasar tidak berguna!” Darah Katrina semakin mendidih. Wanita itu mendekat ke arah Yura lalu mencekal lengannya kuat-kuat. Dengan sekali dorongan ia berhasil membuat Yura terhuyung kehilangan keseimbangan. “Apa yang aku katakan kemarin kurang jelas?! Rumah sakit sudah mengatakan tidak ada toleransi dan kau masih saja ingin mengemis belas kasih mereka?”
“Bu aku—”
“Wanita bodoh!” potong Katrina seraya melemparkan sebuah tamparan keras. Wanita itu tak ingin mendengar penjelasan apapun dari Yura. Napasnya sudah memburu bersiap melakukan kekerasan apapun kepada sang menantu bila saja tak ingat keberadaan mereka di depan ICU. “Susah payah aku merayu Lily agar menerimamu, tapi kau justru menyia-nyiakan kesempatan!”
Sedangkan Yura pasrah menerima perlakuan Katrina. Air yang sejak tadi ia bendung kini pecah, beruraian membasahi wajah yang memerah. Tidakkah sang ibu mengerti bahwa dirinya terjebak di antara dua pilihan yang sulit?
“Aku hanya ingin menggunakan cara yang benar dan menjaga pernikahan kami, Bu. Biarkan aku bicara dulu dengan rumah sakit.”
Katrina kembali menyorot Yura dengan tatapan tajam. “Cara yang benar, katamu? Jika masih ada banyak waktu kuijinkan kau mencari uang dengan caramu sendiri! Tapi sedikit saja gunakan otakmu untuk berpikir, Yura! Sekarang ini malaikat maut sedang menunggu putraku! Dan kau .... Kau sama saja sengaja melemparnya kepada mereka!”
Katrina membuang napas kasar, frustasi dengan cara berpikir menantunya. Mengapa terlalu naif jadi wanita? Saat keadaan tak mungkin lagi untuk menolak Yura masih saja berpikir tentang kesetiaan! Selanjutnya, Katrina kembali menarik lengan Yura dan membawanya menjauh dari ICU sebelum petugas medis menegur mereka karena membuat keributan. “Kau yang menyebabkan putraku kecelakaan! Kau juga yang harus bertanggung jawab atas itu! Aku tidak mau tahu, kau harus kembali kepada Lily sekarang juga dan mendapatkan uang itu siang ini!”
Gelengan kepala diberikan oleh Yura. “Tidak, Bu. Aku tidak bisa! Orang itu memberikan syarat aku harus menikah kontrak dengannya sampai Mas Rama bangun, aku tidak mau, Bu!”
“Kau ini memang keras kepala!” Katrina lantas berjalan ke arah sebuah kursi. Wanita itu merogoh sesuatu dari dalam sebuah tas berwarna hitam, mengambil kumpulan lembar kertas yang terlipat. Selanjutnya melemparknya ke arah wajah Yura hingga sang menantu tersentak.
“Sekarang lihat! Kau masih punya mata, baca kalimat terakhirnya!” titah Katrina dan Yura segera segera mengambil kertas itu. Dicarinya paragraf terakhir dan mengeja kata demi kata yang tersusun pada paragraf terakhirnya.
Di sana tertulis, surat itu sebagai peringatan terakhir dan tindak lanjut dari peringatan pertama juga kedua yang sebelumnya telah dikirimkan kepada Yura. Jika setelah ini Yura tak kunjung memberikan uang, maka sesuai dengan perjanjian semua pengobatan Rama akan dihentikan. Dan melalui surat itu pula, pihak rumah sakit menegaskan tidak ada keringanan yang akan diberikan sebab Yura telah melanggar kesepakatan, yaitu mengulur waktu tanpa memberikan uang tagihan kepada rumah sakit. Mereka juga menuliskan akan meminta bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah ini.
Sontak, bahu Yura terasa lunglai begitu membaca barisan tinta pada lembaran kertas itu. Tidak ada lagi harapan untuk berdiskusi kepada pihak rumah sakit. Artinya mau tidak mau, Yura harus memilih opsi yang terakhir.
“Mau sampai mulutmu berbusa dan air matamu kering sekalipun, mereka tak akan pernah memberimu keringanan! Jadi sebaiknya turuti perintahku untuk mengambil tawaran itu, atau aku sendiri yang akan menyeretmu ke sana lagi!”
Usai berkata demikian, Katrina mengambil kembali surat yang dibaca oleh Yura. Selanjutnya melontarkan kalimat pedas kepadanya, “Dan camkan ini baik-baik! Aku tidak akan pernah mengampunimu bila terjadi sesuatu dengan putraku!”
Katrina melangkah pergi meninggalkan Yura yang kini kehilangan daya untuk menyangga tubuhnya. Wanita itu terduduk di lantai tak kuasa menahan air mata yang semakin meluncur deras. Sejenak, memandang tubuh sang suami yang terbaring lemah di ruangan bersuhu rendah itu dari balik dinding kaca. Berkali-kali meminta maaf dalam hati sebab harus merelakan pernikahan mereka demi menyelamatkan nyawanya.
Berikutnya, Yura mengambil ponsel dalam tas kecil, menyalakannya dan membuka sebuah aplikasi perpesanan, mencari nomor yang semalam telah ia simpan.
Tuan Gin.
[Saya menerima tawaran Tuan semalam, tetapi saya mohon segera kirimkan uangnya hari ini. Yura.] Begitulah kalimat yang ia tuliskan melalui pesan. Entahlah, ia tak ingin basa-basi. Lelaki itu pasti tahu bahwa Yura adalah wanita yang semalam bertemu dengannya. Kecuali jika Tuan Gin memberikan penawaran serupa pada wanita selain dirinya.
Pesan tersebut terkirim. Tanda centang dua membuktikan bahwa pesannya telah sampai pada pria misterius itu. Tak berselang lama, tanda centangnya berubah warna, lalu Tuan Gin memberikan sebuah balasan.
[Segera datang ke apartemenku setelah makan siang!]
[Lokasi]
16A02 Sudah tiga kali Yura mencocokkan nomor yang tergantung pada papan pintu berwarna hitam itu dengan pesan text yang dikirimkan pada ponselnya. Tidak ada yang salah, semua angka dan hurufnya sama. Hanya saja, wanita itu tak memungkiri bahwa apartemen ini terlalu mewah untuknya. Mimpi apa ia sampai bisa menginjakkan kaki ke tempat ini? Sungguh, ia merasa bagai rakyat kecil yang sedang menginjak istana raja. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Tuan Gin bukanlah orang biasa sepertinya. “Dengan Ibu Yura?”Wanita berambut sebahu itu spontan membalikkan badan dan menemukan Seorang pria berstelan jas hitam tengah berdiri di hadapannya dengan sebuah senyum yang tersimpul tajam. Tangan kanannya membawa sebuah map kain berwarna hitam dengan bendelan kertas di atasnya. Seolah menyadari kebingungan Yura, pria itu mengulur tangan untuk dijabat. “Saya Arkatama, pengacara Tuan Gin,” ujarnya membuat Yura lantas menganggukkan kepala kemudian menjabat tangan pria itu. “Tuan Gin mengutus say
Drrt!Nada ponsel menyadarkan Yura yang baru saja mandi dari lamunan. Ternyata itu telepon dari Ibu mertuanya.Namun baru saja panggilan itu tersambung, wanita tua itu langsung berteriak, [Ini sudah hampir petang! Mana uangnya kenapa juga tak kau berikan padaku?] “Masalah uang sudah diurus Tuan Gin dan langsung dibayarkan ke rumah sakit,” jawab Yura sesuai dengan isi perjanjian kontraknya dengan Tuan Gin yang menyebutkan pembayaran sesuai dengan tagihan dan melalui rekening rumah sakit.["Apa? Mereka yang membayar?"] Katrina berdecak kesal. ["Kau ini bagaimana? Kenapa bukan kau saja yang memegang uangnya dan menyerahkan padaku? Jika mereka tak membayar pada rumah sakit, kau harus bertanggung jawab!"] "Tapi kesepakatanya dalam kontraknya begitu, Bu, uangnya akan langsung masuk ke rekening rumah sakit setiap bulan dan rumah sakit akan menagihnya kepada Tuan Gin. Jadi, aku tidak memegang uang sama sekali dan kita tidak perlu memikirkan biaya lagi. Mungkin ibu bisa bertanya ke bagian a
"Ahh .... Gin!” Entah bagaimana ciuman tadi memanas. Sentuhan keduanya juga semakin liar, hingga erangan mulai bersahutan menggema ke seluruh ruangan. "Shit! Kau begitu sempit!” umpat pria itu sembari terus bergerak di atas Yura.Hal ini membuat Yira memeluk erat Gin. Jemarinya bahkan mencengkram punggung kekar itu sekuat tenaga kala merasakan gelombang kenikmatan bertubi-tubi. Namun, Tuan Gin tak menegurnya. Pria itu malah mengungkung tubuh di bawahnya begitu rapat, hingga akhirnya bergabung dengan pelepasan yang lebih dulu dilakukan oleh Yura. Deru napas terengah-engah menjadi satu-satunya irama yang terdengar selain detak jam yang tergantung pada dinding. Dua insan yang terikat perjanjian itu saling mendekap, sembari fokus mengatur napas tak beraturan, menyurut keringat yang bercucuran. “Kau tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik dari ini,” bisik lelaki itu dengan suara berat. Dada bidangnya terasa lebih dekat. Daging kenyal dan dingin itu menempel sesaat pada b
“Maaf, Bu Yura, tetapi ibu sudah terlambat lebih dari tiga kali, ibu harus meminta izin kepada personalia agar saya bisa mempersilakan ibu masuk. Silakan melapor dahulu, bila sudah berikan kepada saya keterangannya.” Yura menghela napas kasar mendengar ucapan satpam kantornya. Dia akui, setelah malam bersama Gin dan overthinking, dirinya telat bangun. “Tapi, Pak. Ini masih kurang lima menit dan saya seharusnya masih bisa masuk ke kantor!” “Saya juga sudah menghubungi mereka, tapi tidak direspon, Pak. Sementara pagi ini saya harus meeting dengan manajer dan saya harus menyiapkan materi meetingnya. Tolong, bantu saya sekali saja," mohonnya lagi.“Tidak bisa, Bu, jika saya mengijinkan ibu masuk, maka saya yang akan kena marah. Silakan melapor dahulu dan saya bukakan gerbangnya.” Alih-alih hatinya luluh, kepala satpam itu tetap teguh dengan pendiriannya. Yura lantas kembali menghubungi rekan satu divisinya, juga orang-orang bagian personalia. Sayang, semua nomor yang ia hubungi tid
“Tapi, dia sering terlambat, Pak.” Yura yang baru tiba di ruangan kebesaran Arya tak sengaja mendengar percakapan kedua atasannya. Meski tak tahu detailnya, Yura yakin bahwa itu pasti berkaitan dengan dirinya. Cemas, resah, gelisah, semuanya kini bercampur menjadi satu! Tidak biasanya ia dipanggil ke ruang sang Presdir. Apakah yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah ia akan dipecat seperti sekretaris sebelumnya? “Sesuai dengan data, Yura empat kali terlambat di jam yang sama, dua diantaranya lebih dari pukul delapan, dan dua kali ijin setengah hari. Menurut saya, ini bisa mempengaruhi kinerja rekan dan divisi yang lain.” Yura menunduk ketika sang manajer personalia terang-terangan mengadu kepada pimpinan utama mereka. Memangnya ia bisa berkata apa? Semua data yang disajikan benar adanya. “Hari ini saya juga mendapatkan laporan, Saudara Yura terlambat lagi. Ini sudah kesekian kalinya saya menegur, Pak. Tetapi tidak diindahkan,” sambung manajer itu lagi. Yura tidak menyan
Yura memijit kepalanya pening. Tadi, dia akhirnya memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai sekretaris Tuan Arya. Hanya saja, ada masalah baru yang dia hadapi. Ini pertama kalinya Yura absen ke rumah sakit sejak Rama dirawat. Pihak rumah sakit juga tidak memberi kabar apapun.[Ada apa?]Yura tersentak. Panggilannya dan ibu mertuanya akhirnya terhubung setelah puluhan kali ditolak. “Bagaimana dengan kabar Mas Rama, Bu? Apa sudah ada perkembangan?” [“Masih stabil,”] ujar Katrina dingin.Meski bukan jawaban seperti ini yang Yura inginkan, tetapi dua kata itu sudah cukup membuat rasa khawatir dalam benaknya berkurang. “Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Ibu bagaimana? Ibu juga baik, kan?”Saat itu juga dari sebrang sana Katrina menghempas dengus kasar. Wanita paruh baya itu lantas menjawab dengan nada ketus. [“Masih bertanya? Aku berjaga sendirian dan melakukan semuanya tanpa teman, menurutmu aku baik?”] Yura diam beberapa saat, sudah menduga jika Katrina akan
"Sshh!"Yura meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Wanita itu meringkuk di pinggir ranjang dengan kedua tangan gemetaran. Sekujur tubuhnya nyeri bagai terlempar dari ketinggian. Remuk redam akibat tamparan keras yang sampai saat ini masih terasa panas. Entah sudah berapa lama ia menangis. Kain hitam yang membelit kepala telah basah, terguyur derasnya air mata, tetapi wanita itu belum berani melepasnya. Tidak ingin melakukan kesalahan. Yura tidak mendengar bunyi bel dan kemungkinan besar Tuan Gin belum meninggalkan apartemen. Setelah melampiaskan amarah, Gin langsung beranjak meninggalkan kamar, membiarkan Yura menangis sendirian. "Pria tak punya perasaan!" Kalimat itu terucap dalam hati. Ingin marah tetapi tidak bisa. Hendak membalas semua perbuatannya tetapi ia sadar, dia tak bisa melakukannya. Pada akhirnya hanya berujung menyumpahi diri sendiri. "Bodoh!""Apakah semua pria sebrengsek ini? Bertindak sesuka hati, tidak punya empati!"Sebelumnya, tidak pernah membayangkan
Tak terasa, fajar sudah merangkak naik. Sayangnya, Yura masih bergelung nyaman di bawah selimut. Terlalu lelah setelah semalam menghabiskan tenaga untuk melayani Tuan Gin. Entah apa merasukinya, pria itu selalu tak cukup bermain satu kali. TRING!Mata wanita itu mengerjap pelan karena bunyi ponsel yang berdering nyaring. Perlahan mulai menyadari ketika suaranya terdengar asing. Bukan seperti alarm yang biasanya ia nyalakan. Dahinya spontan berkerut ketika mendapati bahwa ponsel itu benar bukan miliknya. “Ini bukan punyaku.” Yura bangkit dan duduk di atas ranjang. Sejenak menguap dan mengamati sekitar. Tidak ada orang, hanya ia sendirian, terbaring tanpa busana. Sorot netranya kemudian merambat ke arah nakas. Yura panik tatkala benda pipih hitam yang biasanya diletakkan di sana menghilang entah kemana. Sesaat kemudian menghempas napas panjang ketika teringat dengan ucapan Tuan Gin semalam. “Jadi pria itu sungguh mengganti ponselku? Astaga! Lalu bagaimana aku bekerja, Gin?
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth