Tak terasa, fajar sudah merangkak naik. Sayangnya, Yura masih bergelung nyaman di bawah selimut. Terlalu lelah setelah semalam menghabiskan tenaga untuk melayani Tuan Gin. Entah apa merasukinya, pria itu selalu tak cukup bermain satu kali. TRING!Mata wanita itu mengerjap pelan karena bunyi ponsel yang berdering nyaring. Perlahan mulai menyadari ketika suaranya terdengar asing. Bukan seperti alarm yang biasanya ia nyalakan. Dahinya spontan berkerut ketika mendapati bahwa ponsel itu benar bukan miliknya. “Ini bukan punyaku.” Yura bangkit dan duduk di atas ranjang. Sejenak menguap dan mengamati sekitar. Tidak ada orang, hanya ia sendirian, terbaring tanpa busana. Sorot netranya kemudian merambat ke arah nakas. Yura panik tatkala benda pipih hitam yang biasanya diletakkan di sana menghilang entah kemana. Sesaat kemudian menghempas napas panjang ketika teringat dengan ucapan Tuan Gin semalam. “Jadi pria itu sungguh mengganti ponselku? Astaga! Lalu bagaimana aku bekerja, Gin?
"Yura! Astaga, kenapa malah melamun! Cepat bersiap, Pak Arya sebentar lagi datang!”Seketika itu juga lamunan Yura terhenti. "Baik, Bu.""Ingat! Jangan ada kesalahan," ucap Bu Rika lalu beranjak pergi.Setelahnya, Yura menghela napas. Dicobanya mengingat segala informasi yang baru diterima.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dan derap pentofel mahal yang terdengar membuat Yura seketika membungkukkan badan seperti training singkat Bu Rika. “Selamat pagi, Pak!"Seramah mungkin wanita itu menguntai senyum. Telah bersiap bila mendapatkan balasan serupa tetapi nyatanya hanya harap semata. Arya bahkan tak menarik sudut bibirnya barang satu mili pun. Pria berpostur tinggi itu hanya menghentikan langkah di depan meja Yura tanpa membalas sapa sebelum meletakkan amplop cokelat berukuran besar di meja wanita itu. “Tolong berikan ini ke Bu Rika dan katakan setelah jam sembilan segera ke ruangan saya,” pintanya.Meski bingung, Yura memberikan anggukan sebagai tanda mengerti. “Baik, Pak. Akan segera
“Bapak ingin makan siang di kantor atau di luar?” Sebenarnya rasa malu dan canggung setelah peristiwa peluk-memeluk yang tidak diprediksi pagi tadi belum hilang. Namun, harapan itu musnah ketika Bu Rika mengingatkan untuk bertanya makan siang.Berkas dan pulpen yang dipegang diturunkan. Sesaat kemudian pria berkulit sawo matang itu mengambil ponsel dan memeriksanya. “Nanti saja, saya tanya rumah dulu mau kirim makanan atau tidak,” jawabnya tanpa mendongak sedikitpun ke arah Yura.“Baik, Pak. Mohon beritahu saya jika ada kiriman makanan dari rumah, terima kasih,” pamitnya. Wanita itu berbalik badan, hendak kembali ke meja kerja, tetapi baru tiga kali kakinya menapak lantai, Arya membalas kalimatnya.“Saya belum mengijinkan kamu pergi!” Seketika langkahnya terhenti. Dua tangan yang masing-masing memegang pulpen dan catatan kecil kini mengepal lebih erat dari sebelumnya. Apa lagi? Jika belum mengijinkan pergi kenapa tidak memintanya untuk menunggu? Dengan berat hati Yura memutar tubuh
Entah mengapa sejak bertemu Tuan Gin dan jadi sekretaris Pak Arya, hari-hari Yura tidak tenang.Baik di kantor ataupun tempat tidur.Maka, Yura memutuskan tidur meski masih memakai penutup mata.Hanya saja, tidur nyenyak Yura terusik saat menyadari sesuatu yang berat tengah menindih perutnya. Dan juga ... desir napas teratur di belakang tengkuknya. Yura lantas mencoba beringsut. Sayangnya, pelukan yang terkesan posesif itu sulit untuk diurai. Tak ingin menyerah, ia berusaha mengangkat lengan Gin agar berpindah. Sayang, terlalu berat untuk diangkat dengan satu tangan.“Gin?” Yura memanggil dengan suara sepelan mungkin, takut bila mengejutkannya. Satu kali panggilan, tak menimbulkan reaksi apapun. Baru dipanggilan ketiga pelukan Gin perlahan merenggang seiring dengan tarikan napas panjang yang terdengar begitu dekat telinganya. “Hm?” “Maaf ..., aku ketiduran. Aku pikir kau tidak jadi datang,” ujarnya seraya membalikkan badan menghadap dada Gin yang bidang. Indra penciumannya mulai
"Jangan-jangan dia ada skandal dengan Pak Arya?"“Oh, my God! Benar juga. Itu bisa jadi! Tidak mungkin dia bisa sampai di tahap ini jika tidak memiliki hubungan dengan Pak Arya.” Langkah kaki Yura terhenti persis di depan kamar mandi kantor. Keinginan untuk masuk ke dalam bilik diurungkan setelah mendengar kalimat yang bergema hingga luar ruangan. Telinganya lantas menajam, penasaran dengan topik yang sedang dibicarakan. Siapa yang memiliki skandal dengan bosnya? Jika saat ini memutuskan untuk bertemu dengan Erna dan bertanya padanya, mungkin wanita itu sudah tahu lebih dulu. Tetapi sudah satu minggu Yura bekerja terpisah dengannya, sehingga jarang sekali bisa bertemu dengan sahabatnya itu. Erna bekerja di lantai bawah, sementara dirinya di lantai tiga. Itu semakin menciptakan jarak antar keduanya. "Iya, kan? Awalnya aku tidak percaya. Apa sih kehebatan dia sampai bos besar mau dengannya? Secara, fisiknya saja tak menarik! Tubuhnya kurus macam orang penyakitan, mukanya kucal sepe
"Dari mana?" Arya menyambut dingin Yura yang baru saja menapaki lantai ruangannya/ Pria itu duduk di atas sofa sembari memeriksa beberapa dokumen tanpa melihat ke arahnya. Seperti biasa, tidak menjual ekspresi apa-apa. . "Maaf, Pak Arya, tadi saya ke kamar mandi sebentar,” jawab Yura setelah sampai di hadapannya. “Ke kamar mandi atau pacaran. Saya melihat kamu bermesraan dengan pria lain?” todongnya tanpa basa-basi. Sementara Yura menahan napasnya beberapa detik. "Kamu tidak ingat jabatan ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki kesalahan?" Sepuluh menit yang lalu lelaki itu tiba di kantor. Yura bahkan tahu seluruh agendanya, mulai dari pukul berapa dia datang, dan apa saja yang akan Arya lakukan. Namun, bukannya melihat Yura berdiri menyambutnya di depan ruangan, ia malah mendapati sekretaris barunya itu sedang asik bermesraan dengan Narendra di lantai dua? “Sepertinya Bapak salah paham dengan kejadian ini, saya hanya menyapa Pak Narendra sebentar karena kebetulan ka
"Berapa kali saya ingatkan kamu untuk stand by sepuluh menit sebelum Bapak datang? Hari ini saya kena tegur karena dianggap tidak bisa memberi arahan!" Alih-alih mengonfirmasi pengacara Tuan Gin itu, Yura kini malah diomeli Bu Rika. Tampaknya, wanita itu tak terima sebab nama baik yang dijaga selama ini turut terseret dengan kesalahan yang dibuat oleh sekretaris baru pimpinannya. Padahal, ini hanya perkara datang lebih awal dari biasanya saja, bukan pekerjaan berat semacam angkut galon dari lantai satu ke lantai lima atau menagih piutang yang berbulan-bulan tak kunjung dilunasi!Lagi-lagi, Yura menundukkan kepala seraya meremas jemari. Toh, bukankah semua atasan tidak suka dibantah?Mereka hanya mau bawahannya mengaku salah sekalipun tak melakukannya—terkadang. Namun, sepertinya respon Yura tidak sesuai dengan keinginan Bu Rika..... "Yura kamu ini kalau diajak bicara bisa tidak merespon sedikit? Jangan hanya diam saja!" tuntutnya lagi setelah meremas udara di samping tubuhnya.
"Sebenarnya siapakah Tuan Gin? Mengapa pria itu seperti berada dekat dengannya?" Yura bertanya dalam hati. Begitulah pertanyaan yang sejak tadi berlarian di kepala Yura, lebih tepatnya setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Gin. Ucapan selamat makan saat Yura menyantap makanannya membuatnya kembali membuat hipotesa yang sama. Mungkinkah Gin juga bekerja di perusahaan ini? Atau mungkin saja mata-mata di sekitarnya? Entah apa yang dimau, ia sendiri sampai saat ini belum bisa mengerti. Posesif yang terlalu besar juga sikap yang terkadang tak bisa ditebak membuat Yura harus ekstra sabar menghadapinya. Kendati saat Gin berlaku demikian tak dipungkiri ia merasa diperhatikan, dicintai, dan dianggap layaknya seorang istri. “Ra! Yura!” Teriakan itu membuat Yura tersadar. Gumpalan nasi yang telah dikunyahnya, langsung ditelan begitu mendapati seorang wanita berkemeja putih berdiri di hadapannya membawa sebuah bendelan kertas dan pouch kecil berwarna hitam. "Erna?" Entah sejak kapan
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth